Cari Blog Ini

Rabu, 04 Agustus 2010

Memulai Shaum Ramadhan Berdasarkan Ru'yatul Hillal

Memulai Shaum Ramadhan Berdasarkan Ru’yatul Hilal
Ahad, 31 Agustus 2008 - 08:08:01 :: kategori Fiqh
Penulis: Redaksi Ma'had As Salafy

Sudah seharusnya bagi kaum muslimin untuk membiasakan diri menghitung bulan Sya’ban dalam rangka mempersiapkan masuknya bulan Ramadhan, karena hitungan hari dalam sebulan dari bulan-bulan hijriyyah 29 hari atau 30 hari.

Hal ini sesuai dengan hadits-hadits yang shahih, diantaranya :

1. Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha :

كَانَ رَسُولُ اللهِ r يَتَحَفَّظُ مِنْ هِلاَلِ شَعْبَانَ مَا لاَ يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ. (رواه أبو داوود وصححه الألباني في صحيح سنن أبي داود)

Artinya :

“Bahwasannya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersungguh-sungguh menghitung bulan Sya’ban dalam rangka persiapan Shaum Ramadhan ([1]) melebihi kesungguhannya dari selain Sya’ban. Kemudian beliau shaum setelah melihat hilal Ramadhan. Jika hilal Ramadhan terhalangi oleh mendung maka beliau menyempurnakan hitungan Sya’ban menjadi 30 hari kemudiaan shaum.” ([2])

2. Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, berkata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam :

أَحْصُوا هِلاَلَ شَعْبَانَ لِرَمَضَانَ (رواه الترمذي، و الحاكم)

Artinya :

“Hitunglah hilal (bulan) Sya’ban untuk (mempersiapkan) bulan Ramadhan.” [HR. At-Tirmidzi dan Al-Hakim] ([3])

Wajib atas kaum muslimin untuk melaksanakan shaum Ramadhan berdasarkan ru`yatul hilal. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut :

1. hadits riwayat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، اَلشَّهْرُ هَكَذَا وَ هَكَذَا وَ هَكَذَا (وَعَقَدَ اْلإِبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ)، وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَ هَكَذَا وَ هَكَذَا (يَعْنِي تَمَامَ ثَلاَثِينَ ) - [متفق عليه]

Artinya :

“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiy, tidak bisa menulis dan tidak bisa menghitung ([4]). Ketahuilah bahwa jumlah hari dalam satu bulan adalah sekian (sambil berisyarat dengan sepuluh jarinya - pen), sekian, dan sekian (dengan menekuk ibu jari tangannya pada kali yang ketiga) Dan jumlah hari dalam satu bulan adalah sekian, sekian, dan sekian (yakni genap 30 hari).” [Muttafaq ‘alaih].([5])

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan ummatnya untuk memulai shaum Ramadhan dengan berdasarkan ru’yatul hilal. Bila terhalangi oleh mendung atau yang semisalnya, maka dengan melengkapkan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari. Hal ini sesuai dengan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ [متفق عليه]

Artinya :

“Bershaumlah berdasarkan ru’yatul hilal dan berharirayalah berdasarkan ru’yatul hilal. Jika terhalangi oleh mendung (atau semisalnya) maka genapkanlah bilangannya menjadi 30 hari.” [HR.Bukhari]([6])

Adapun sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dari riwayat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma:

لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوهُ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ [متفق عليه]

Artinya :

“Janganlah kalian bershaum kecuali setelah melihat hilal (Ramadhan) dan jangan pula berhari raya kecuali setelah melihat hilal (Syawwal). Jika terhalangi, ‘perkirakanlah’ “ [Muttafaq ‘alaihi]([7]),

Maka lafadh ( فَاقْدِرُوا لَهُ ) yang secara lughowy artinya ‘perkirakanlah’, telah ditafsirkan oleh riwayat sebelumnya dengan lafadh (فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْن) atau (فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ ) yang artinya: “Maka lengkapilah bilangannya menjadi 30 hari”([8]) atau “lengkapi bilangan Sya’ban menjadi 30 hari”. ([9])

Bukanlah makna (فَاقْدِرُوا لَه) adalah (ضَيِّقُوا ), “persingkat (bulan Sya’ban menjadi 29 hari saja)” atau penafsiran lainnya. Sebab sebaik-baik tafsir terhadap suatu hadits adalah hadits yang lain. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar :

أَوْلَى مَا فُسِّرَ الْحَدِيْثُ بالْحَدِيْثِ

Artinya :

“sebaik-baik penafsiran hadits adalah dengan hadits yang lain.“([10])

Dan demikianlah pendapat jumhur ‘ulama. Sebagaimana dikatakan oleh Al Maaziri :

“Jumhur ulama mengartikan makna (فَاقْدِرُوا لَه) adalah dengan melengkapi hitungan menjadi 30 hari berdasarkan hadits yang lainnya. Mereka menyatakan : ‘Dan tidak diartikan dengan perhitungan ahli hisab (astronomi) karena jika manusia dibebani untuk itu justru mempersulit mereka disebabkan ilmu tersebut tidak diketahui kecuali oleh orang-orang tertentu. Sedangkan syari’at mengajarkan kepada manusia sesuai dengan yang dipahami oleh kebanyakan mereka.” ([11])

Footnote :
[1] Lihat ‘Aunul Ma’bud Kitabush Shiyaam, bab 6, hadits no. 2322, makna lafadz (يَتَحَفَّظُ )

[2] HR. Abu Dawud. 2325 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud hadits no. 2325, dan dalam Misykatul Mashabih 1980 [12],

[3] Sunan At-Tirmidzi Abwaabush Shaum bab 4 hadits no. 682 dan Al-Mustadrak hadits no. 1548

[4] Disebut Ummiy karena tidak bisa menulis dan menghitung (hisab). Dan yang dimaksud dengan hisab adalah ilmu perbintangan (lihat Fathul Baari Kitabush Shaum hadits no. 1913).

[5] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1913 , Muslim Kitabush Shiyaam hadits no. 15-[1080].

[6] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no.1909

[7] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1906, Muslim Kitabush Shiyaam hadits no. 3 - [1080]

[8] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1907

[9] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1909

[10] Fathul Bari Kitabush Shaum hadits no. 1906

[11] Lihat Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim karya Al-Imam An-Nawawi v Kitabush Shiyam hadits no. 3 - [1080].

(Dikutip dari tulisan "Wajibnya Shaum Ramadhan Berdasarkan Ru’yatul Hilal". Url sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=223)

DAKWAH SALLAF ADALAH DAKWAH TAUHID

Dakwah Salaf adalah Dakwah Tauhid
Selasa, 15 Juni 2004 - 20:16:53 :: kategori Manhaj
Penulis: Ustadz Muhammad Umar As Sewed

Sesungguhnya istilah salaf atau dakwah salaf bukanlah istilah baru. Istilah ini sudah dikenal sejak masa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam sebagaimana yang telah disinggung pada edisi perdana Risalah Dakwah ini. Yaitu ucapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam kepada Fathimah:
فَاتَّقِى اللهَ وَاصْبِرِيْ فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ. (رواه مسلم، فضائل فاطمة 2/245حديث 98)

Aku adalah sebaik-baik salaf (pendahulu) bagimu. (HR. Muslim)

Para shahabatpun sering menggunakan istilah salaf untuk menyebutkan tentang mereka-mereka yang sudah mendahuluinya. Seperti ucapan Anas bin Malik -seorang shahabat yang paling akhir meninggal. Tatkala beliau melihat kerusakan-kerusakan kaum muslimin ketika itu, beliau berkata: “Kalau saja ada seseorang dari kalangan salaf yang pertama dibangkitkan hari ini, maka dia tidak akan mengenali Islam sekarang sedikitpun kecuali shalat ini”. (al-I’tisham, Imam asy-Syathibi, juz 1 hal 34)

Demikian pula para ulama sepeninggal beliau. Mereka pun sering menyebut istilah salaf untuk menerangkan bahwa jalan yang benar adalah jalan salaf, yakni jalannya para shahabat. Berkata Maimun bin Mahram meri-wayatkan dari ayahnya: “Kalau saja ada sese-orang dari kalangan salaf dibangkitkan di antara kalian niscaya dia tidak mengenali keislaman kecuali kiblat ini (al-I’tisham, Imam asy-Syathibi, Juz 1 hal 34).

Oleh karena itu istilah salaf dikenal oleh para ulama untuk menunjukkan generasi per-tama dan utama dari umat ini seperti yang pernah diucapkan oleh Imam Bukhari, Ibnu Hajar al-Atsqalani dan selainnya. Simaklah apa yang dinasehatkan oleh Abu Amr al-Auza’i: “Sabarkanlah dirimu di atas jalan sunnah. Berhentilah kamu di mana kaum itu berhenti. Ucapkanlah apa yang mereka ucap-kan. Tinggalkanlah apa yang telah mereka tinggalkan dan jalanilah jalan salafmu yang shalih.” Beliau juga berkata: “Wajib bagi kali-an untuk berpegang dengan jejak-jejak sa-laf walaupun manusia menolakmu. Dan hati-hatilah kalian dari pendapat-pendapat ma-nusia walaupun mereka mengindahkan uca-pannya untukmu.” Dan masih banyak ucapan ulama yang lainnya.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam telah berpesan kepada kita untuk tetap berpegang dengan sunnahnya dan sunnah para shahabatnya:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ. (أخرجه الترمذي وحسنه الشيخ الألباني)
Wajib atas kalian berpegang dengan sun-nahku dan sunnahnya para khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi gerahammu. (HR. Tirmidzi dan diha-sankan oleh Al-Albani)

Dengan demikian dakwah salaf adalah dakwah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabatnya. Sedangkan dakwah beliau adalah dakwah yang menyeru manusia kepada Tauhdi serta tegak di atas sunnah Nabi-Nya. Dengan sendirinya dakwah ini tidak memberikan tempat bagi kemusyrikan dan kebid’ahan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ هَذِهِ سَبِيْلِيْ أَدْعُوْا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيْرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِيْ وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَآ أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. ]يوسف: 108[
Katakanlah (Muhammad): “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha suci Allah dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik. (Yusuf: 108)

Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir ath-Thabari ketika menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa Allah Ta’ala telah memerintahkan nabi-Nya untuk menyatakan inilah dakwah dan jalan yang aku menyeru dan berpijak di atas-nya, yaitu menyeru manusia untuk berTauhdi, dan beribadah hanya kepada-Nya semata, yang berujung pada ketaatan kepadaNya dan tidak bermaksiat kepadaNya. Aku dan orang-orang yag mengikutiku menyeru hanya kepada Allah dengan hujjah yang dibimbing di atas ilmu dan keyakinan.

Berkata imam Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimy: “Dalam ayat ini terdapat beberapa faedah yang dapat kita ambil di antaranya:
1. Adanya peringatan untuk mengikhlaskan diri dalam beramal, karena kebanyakan da’i walaupun (seakan-akan) dia mendakwahkan pada kebenaran, akan tetapi pada hakekatnya ia mendakwahkan kepada dirinya sendiri.
2. Memiliki بَصِيْرَةٍ “ilmu” adalah kewajiban bagi seorang da’i.
3. Termasuk dari bukti kebenaran Tauhdi adalah adanya pensucian bagi Allah Ta’ala dari sifat-sifat tercela.
4. Termasuk dari bukti kejelekan syirik ialah bahwa syirik itu merupakan celaan bagi Allah Ta’ala.
5. Seorang muslim tidak termasuk dari kaum musyrikin manakala ia tidak bergabung dengan kaum musyrikin walaupun tidak berbuat syirik.

Inilah perbedaan dakwah salaf dengan dakwah-dakwah lainnya yang memiliki kecenderungan mengesampingkan Tauhdi dengan berbagai macam alasan.
Sebagian di antaranya menganggap Tauhdi dan Sunnah merupakan ilmu masa’il yang akan membikin ikhtilaf (perselisihan) dan perpecahan umat. Mereka hanya mau berbi-cara tentang ilmu fadhail (tentang keuta-maan-keutamaan ibadah).

Sebagian lagi mencela dakwah Tauhid ini dengan alasan menyeru umat kepada Tauhid hanya buang-buang waktu saja, tidak memahami fenomena yang sedang terjadi. Bukan-kah musuh-musuh Islam kini telah siap untuk menerkam umat dari segenap penjuru dan dari segala bidang?

Semua alasan yang diusung untuk menolak dakwah Tauhid menjadi cukup bagi kita untuk menilai dakwah model apa yang mereka kehendaki. Semua tidak bergeser dari ke-pentingan politik dan duniawi semata.

Mengapa mereka menjadi heran tatkala didahulukannya permasalahan Tauhid dalam dakwah salaf? Bukankah hak Allah Ta’ala untuk di-Esa-kan dalam segala peribadatan kepada-Nya adalah lebih utama dan lebih berhak untuk didahulukan?!

Perhatikan wasiat Nabi kepada Mu’ad bin Jabbal tatkala beliau mengutusnya ke negeri Yaman:
إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ، فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُوْهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ. (رواه البخاري ومسلم)
Wahai Mu’adz, sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan ahlul kitab. Jika engkau telah datang kepada mereka, ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (HR. Bukhari Muslim).

Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka hendaklah yang pertama kali engkau dakwahkan kepada mereka ialah عِبَادَةِ الله “beribadah kepada Allah (semata)”. Dan dalam riwayat lainnya disebutkan: أَنْ يُوَحِّدُوْا اللهَ “agar mengesakan Allah”

Mengapa para juru dakwah sekarang justru meremehkan hak Allah ini?! Bukankah hak Allah lebih utama untuk didahulukan? Bukankah dakwah Tauhid merupakan kunci dakwahnya para rasul sebagaimana yang telah Allah abadikan dalam banyak ayat-Nya?.
Kita bisa perhatikan bagaimana nabi Nuh berdakwah kepada kaumnya, nabi Hud kepada kaum ‘Ad, nabi Shalih kepada kaum Tsamud, demikian pula nabi Syuaib berdak-wah kepada kaum Madyan. Mereka –seluruh-nya- mendakwahkan Tauhid dengan menga-takan kepada kaumnya:
يَا قَوْمِ اعْبُدُوا للهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرِهِ.
Wahai kaumku, beribadahlah (hanya) ke-pada Allah yang mana tidak ada satu dzat pun yang berhak diibadahi kecuali Dia.

Demikian halnya pada diri Nabi Ibrahin –kekasih Allah, bapaknya para Nabi dan sekaligus sebagai imam bagi orang-orang yang berTauhid-. Beliau mengkhawatirkan kesyirikan akan menimpa pada dirinya dan keturunannya, sehingga beliau beliau berdoa kepada Allah dengan menyatakan:
رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ ءَامِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ اْلأَصْنَامَ رَبِّ إِنَّهُنَّ أَ ضْلَلْنَ كَثِيْرًا مِنَ النَاسِ... ]ابراهيم: 35-36[
Wahai Rabb-ku, jadikanlah negeri ini (Me-kah) negeri yang aman dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. Wahai Rabb-ku, sesungguh-nya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia (Ibrahim: 35-36).

Jika nabi Ibrahim mengkhawatirkan dirinya dan keturunannya dari tertimpa kemusyrikan, maka siapakah orangnya yang bisa menjamin dirinya terlepas dari bahaya kesyirikan? Dan siapakah orangnya yang me-rasa lebih baik wasiatnya daripada wasiatnya para nabi yang telah disampaikan kepada kaumnya?
Demikianlah mereka –para nabi- dalam berdakwah! Meskipun mereka menghadapi budaya yang beraneka ragam dan problem yang bermacam-macam, akan tetapi dakwah mereka yang utama adalah dakwah kepada Tauhid.

Walaupun problem yang mereka hadapi adalah masalah perekonomian –sebagaimana yang terjadi pada kaum Madyan- ataupun problemnya adalah masalah politik, sosial, akhlaq dan lain-lain. Mereka tetap memulainya dengan mendakwahkan Tauhid kepada kaumnya.

Yang demikian itu karena perbaikan Tauhid dalam masalah agama ini adalah seperti memperbaiki jantung pada badan manusia. Tidak akan bermanfaat mengobati anggota badan, jika jantungnya telah berhenti berdetak. Demikian pula tidak akan diterima amalan ibadah apapun jika Tauhid telah rusak dengan perbuatan syirik-syirik besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ.
]الزمر: 65[
Jika kamu mempersekutukan (Rabb-mu), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. (az-Zumar: 65)

Dalam sebuah hadits riwayat Nu’man bin Basyir Radiyallahu ‘anhu , Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
أَلاَ إِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ. (رواه البخاري ومسلم)
Ketahuilah bahwasanya dalam tubuh ini ada segumpal daging. Jika baik segumpal daging itu, maka baik pula seluruh tubuhnya. Dan jika rusak segumpal daging segumpal daging tersebut, maka rusak pula seluruh tu-buhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati. (HR. Bukhari Muslim). Hadits ini merupakan hujjah, bahwa perbaikan hati dalam arti perbaikan aqidah dan keyakinan memiliki prioritas utama.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang ingin meninggikan bangunan, maka hendaklah ia memantapkan fondasinya, menguatkan dan harus lebih memperhatikannya. Karena sesungguhnya tingginya bangunan itu sesuai dengan kuatnya fondasi dan kemantapannya. (Lihat Sittu Durari, karya Abdul Malik Rhamadhani, hal 13).

Selanjutnya Ibnul Qayyim berkata: “Orang yang bijaksana akan lebih memperhatikan perbaikan fondasinya. Sedangkan orang-orang yang bodoh akan meninggikan bangunan tanpa memperhatikan kondisi pondasinya, sehingga tidak berapa lama lagi bangunan itu akan runtuh”. (Lihat Sittu Durari, karya Abdul Malik Rhamadhani, hal 14)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِى نَارِ جَهَنَّمَ... [التوبة: 109]
Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-Nya itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunan-nya itu jatuh bersama-sama dengannya ke dalam neraka Jahannam? (At-Taubah: 109).

Ayat ini berkenaan dengan perbuatan kaum munafiqin ketika membangun masjid dalam keadaan hati mereka tidak memiliki aqidah dan keimanan yang benar. Apa yang dikerjakannya merupakan pekerjaan sia-sia. Adapun yang membangun di atas fondasi Tauhid dan ketaqwaan, maka bangunannya akan kokoh.
Tauhid bagaikan akar pada sebuah pohon. Jika akar itu menghunjam ke bumi dengan mantap, maka pohon itu akan tegak berdiri menjulang ke langit.

Berkata Ibnul Qayyim: “Tahun adalah ibarat sebuah pohon, bulan adalah cabang-cabangnya, hari adalah ranting-rantingnya, saat demi saat adalah daun-daunnya dan nafas merupakan buahnya. Barangsiapa yang memakai waktunya dalam ketaatan kepada Allah, maka buahnya manis. Dan barangsiapa yang menggunakannya dalam kemaksiatan, maka buahnya pahit dan hasil buahnya kelak akan dipanen pada hari kiamat. Manusia akan mendapatkan manisnya hasil amalannya di dunia atau pahitnya buah yang dia rasakan.

Tauhid adalah pohon yang tumbuh dalam hati dan cabangnya adalah amalan, ada pun buahnya adalah kebahagiaan hidup di dunia dan kenikmatan yang kekal di akhirat. Sedangkan kesyirikan, kekufuran dan riya’ juga merupakan pohon yang tumbuh dalam hati, buahnya di dunia berupa ketakutan, gundah gulana, sempit dada dan kegelapan hati. Sedangkan buahnya di akhirat berupa Zaqum yang tidak mengenyangkan dan tidak pula menghilangkan rasa haus. Buah ini bahkan akan merobek tenggorokan dan menghancurkan seluruh tubuhnya, dan buahnya adalah kekekalan adzab di akhirat.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِى السَّمَآءِ.... وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيْثَةٍ كَشَجَرَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ اْلأَرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ. [ابراهيم: 24-26]
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik (kalimat Tauhid) seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabb-nya………. Dan perumpamaan kalimat yang buruk (kalimat kufur, syirik) adalah seperti pohon yang buruk,yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. (Ibrahim: 24-25). Wallahu a’lam.

(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf, penulis Ustadz Muhammad Umar As Sewed, judul asli "Dakwah Salaf Dakwah Tauhid". Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Infaq Rp. 100,-/exp. Pesanan min. 50 exp di bayar di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Redaksi: Muhammad Sholehuddin, Dedi Supriyadi, Eri Ziyad; Sekretaris: Ahmad Fauzan; Sirkulasi: Arief Subekti, Agus Rudiyanto, Zaenal Arifin; Keuangan: Kusnendi. Pemesanan hubungi: Arif Subekti telp. (0231) 481215.)
Cetak

MELURUSKAN PEMAHAMAN KELIRU TENTANG SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB

Meluruskan Pemahaman Keliru Tentang Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab
Rabu, 12-Agustus-2009, Penulis: Asy Syaikh Shalih bin Abdul Aziz As Sindi

Semenjak berlalunya tahun-tahun yang panjang, dalam kurun waktu yang lama, kontroversi tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dan dakwahnya masih terus berjalan. Antara yang mendukung dan yang menentang, atau yang menuduh dan yang membela.
Yang perlu diperhatikan mengenai ucapan orang-orang yang menentang Syaikh yang melontarkan kepada beliau dengan bebagai tuduhan, bahwa perkataan mereka tak disertai dengan bukti. Apa yang mereka tuduhkan tidak mempunyai bukti dari perkataan Syaikh, atau didasarkan pada apa yang telah ditulis dalam kitabnya, tapi hanya sekedar tuduhan yang dilontarkan oleh pendahulu, kemudian diikuti oleh orang setelahnya.
Saya yakin tak ada seorangpun yang berfikir objektif kecuali dia mengakui bahwa cara terbaik untuk mengetahui fakta yang sebenarnya adalah dengan melihat kepada yang bersangkutan, kemudian mengambil informasi langsung dari apa yang telah disampaikannya.

Kitab-kitab Syaikh dapat kita temui, perkataan-perkataannya pun juga masih terjaga. Dengan mengacu kepada itu semua akan terbukti apakah isu-isu tersebut benar atau salah. Adapun tuduhan-tuduhan yang tidak disertai dengan bukti hanyalah fatamorgana yang tak ada kenyataanya.
Dalam lembaran-lembaran ini, berisi catatan-catatan ringan perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dengan amanah dinukil dari kitab-kitabnya yang valid. Saya telah mengumpulkannya dan yang dapat saya lakukan hanyalah sekedar menyusun.
Catatan berisi jawaban-jawaban langsung dari Syaikh terhadap tuduhan-tuduhan kepada beliau yang dilancarkan oleh para penentangnya. Dengan jelas ditepisnya segala apa yang dituduhkan. Saya yakin –dengan taufiq dari Allah .- hal itu cukup untuk menjelaskan kebenaran bagi siapa yang benar-benar mencarinya.
Adapun yang membangkang terhadap Syaikh dan dakwahnya, senang menyebarkan kedustaaan dan kebohongan, perlu saya katakan kepada mereka : kasihanilah dirimu sesungguhnya kebenaran akan jelas, agama Allah akan menang dan matahari yang bersinar terang tak akan bisa ditutupi dengan telapak tangan.

Inilah perkataan Syaikh menjawab tuduhan-tuduhan tersebut, kalau Anda mendapatkan perkataan Syaikh yang mendustakannya maka tampakkan dan datangkanlah jangan Anda sembunyikan…..! Namun kalau tidak –dan Anda tidak akan mendapatkannya- maka saya menasehati Anda dengan satu hal : hendaklah Anda menghadapkan diri kepada Allah dengan menanggalkan segala hawa nafsu dan fanatisme, meminta kepada-Nya untuk memperlihatkan al haq dan membimbingmu kepadanya, kemudian Anda fikirkan apa yang telah dikatakan oleh orang ini (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab), apakah dia membawa sesuatu yang bukan dari firman Allah dan sabda Rasul-Nya Sholallahu ‘Alaihi Wasallam.

Lalu fikirkan sekali lagi: apakah ada jalan keselamatan selain perkataan yang benar dan membenarkan al haq. Bila telah tampak bagi Anda kebenaran maka kembalilah kepada akal sehat, menujulah kepada al haq, sesungguhnya hal itu lebih baik dari pada terus menerus berada dalam kebatilan, hanya kepada Allah saja segala perkara dikembalikan.

HAKEKAT DAKWAH SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB

Sebagai permulaan pembahasan kita akan lebih baik kalau kita menukil beberapa perkataan ringkas Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam menjelaskan apa yang beliau dakwahkan, jauh dari awan gelap propaganda yang dilancarkan para penentangnya yang mereka menghalangi kebanyakan manusia agar jauh dari dakwah tersebut. Beliau mengatakan :
"Aku katakan –hanya bagi Allah segala puji dan karunia dan dengan Allah segala kekuatan- : sesungguhnya Tuhanku telah menunjukkanku ke jalan yang lurus, agama lurus agama Ibrahim yang hanif dan dia tidak termasuk orang-orang musyrik. Dan aku –Alhamdulillah-, tidak mengajak kepada madzhab salah seorang sufi, ahli fikih, filosof, atau salah satu imam-imam yang aku muliakan…..
Aku hanya mengajak kepada Allah Yang tiada sekutu bagi-Nya, aku mengajak kepada sunnah Rasulullah . yang beliau menasehatkan ummatnya dari yang awal sampai yang akhir untuk selalu mengikutinya. Aku berharap semoga aku tidak menolak segala kebenaran bila telah sampai kepadaku, bahkan aku persaksikan kepada Allah, para malaikat dan semua makhluk-Nya, siapapun diantara kalian yang menyampaikan kebenaran kepadaku, pasti akan aku terima dengan sepenuh hati, dan aku akan memukulkan ke tembok setiap perkataan para imamku yang bertentangan dengan kebenaran, kecuali Rasulullah . karena beliau tidak mengatakan kecuali kebenaran". (Ad Durarus Saniyyah: jilid 1, hal: 37,38).
"Dan aku –segala puji hanya milik Allah-, hanyalah mengikuti, bukan mengada-ada". (Mu’allafat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, jilid 5, hal: 36).

"Gambaran mengenai permasalahan yang sebenarnya adalah aku katakan : tidak ada yang boleh didoai kecuali Allah saja tiada sekutu bagi-Nya, sebagaimana Allah berfirman (yang artinya): "maka janganlah kamu berdoa kepada seorangpun bersamaan dengan Allah" (Q.S. Al Jin : 18).
Allah juga berfirman berkaitan dengan hak Nabi-Nya (yang artinya): Katakanlah : "Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan-pun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfaatan" (Q.S. Al Jin : 21)
Demikianlah firman Allah dan apa yang disampaikan dan diwasiatkan Rasulullah kepada kita, ….. inilah antaraku denganmu, kalau ada yang menyebutkan tentangku di luar daripada itu, maka itu adalah dusta dan kebohongan". (Ad Durarus Saniyyah : 1/90-91).

Masalah Pertama : I’TIQAD BELIAU TENTANG NABI

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab difitnah para musuhnya dengan berbagai tuduhan keji berkaitan dengan i’tiqadnya terhadap Nabi, tuduhan itu berupa :

Pertama : beliau tidak menyakini bahwa Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam adalah nabi penutup.
Dikatakan demikian, padahal semua kitab-kitab beliau penuh berisi tentang bantahan terhadap syubhat itu. Berikut ini menunjukkan kebohongan tuduhan tersebut, diantaranya dalam perkataan beliau :

"Aku beriman bahwa Nabi kita Muhammad . adalah penutup para nabi dan rasul. Tidak akan sah iman seorang hamba pun sampai dia beriman dengan diutusnya beliau serta bersaksi akan kenabiannya". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal 32)
"Makhluk paling beruntung, paling agung kenikmatannya dan paling tinggi derajatnya adalah yang paling tinggi dalam mengikuti dan mencocoki beliau (Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam) dalam ilmu dan amalannya". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 2, hal:32)

Kedua : Dia telah menghancurkan hak Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, tidak meletakkan beliau pada kedudukannya yang pantas.
Untuk melihat hakikat beliau sebagai tertuduh, saya nukilkan sebagian perkataan yang telah beliau tegaskan berkaitan dengan apa yang diyakini tentang hak Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau berkata:
"Tatkala Allah berkehendak menampakkan tauhid dan kesempurnaan agama-Nya, agar kalimat-Nya adalah tinggi dan seruan orang-orang kafir adalah rendah, Allah mengutus Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai penutup para nabi dan kekasih Tuhan semesta alam. Beliau terus menerus dikenal dalam setiap generasi, bahkan dalam Taurat dan Injil telah disebutkan, sampai akhirnya Allah mengeluarkan mutiara itu, antara Bani Kinanah dengan Bani Zuhrah. Maka Allah mengutusnya pada saat terhentinya pengutusan para rasul, lalu menunjukkannya kepada jalan yang lurus. Beliau mempunyai tanda-tanda dan petunjuk tentang kebenaran kenabian sebelum diangkat menjadi nabi, yang tanda-tanda tersebut tidak terkalahkan oleh orang-orang yang hidup pada masanya. Allah membesarkan beliau dengan baik, mempunyai kehormatan tertinggi pada kaumnya, paling bagus akhlaknya, paling mulia, paling lembut dan paling benar dalam berucap, akhirnya kaumnya memberikan julukan dengan Al Amin, karena Allah telah menciptakan pada beliau keadaan-keadaan bagus dan budi pekerti yang diridhai-Nya". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 2, hal: 90-91).

"Dan beliau adalah pemimpin para pemberi syafa’at, pemilik Al Maqamul Mahmud (kedudukan hamba yang paling mulia di hari kiamat), sedang Nabi Adam . dan orang-orang sesudahnya akan berada di bawah panjinya". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal: 86).

"Utusan yang pertama adalah Nabi Nuh Alaihis Salam dan yang paling akhir serta paling mulia adalah Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wasallam". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:143)
"Beliau telah menyampaikan penjelasan dengan cara terbaik dan paling sempurna, manusia yang paling menginginkan kebaikan bagi hamba-hamba Allah, belas kasih terhadap orang-orang yang beriman, telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad dan terus menerus menyembah Allah sampai beliau wafat. (Ad Durarus Saniyyah, jilid 2, hal:21).

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah juga mengambil kesimpulan dari sabda Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang artinya): Tidaklah sempurna iman salah seorang diantara kamu sampai aku lebih dia cintai daripada bapaknya, anaknya dan semua manusia. Beliau mengatakan : "Kewajiban mencintai Rasulullah . melebihi cinta terhadap diri sendiri, keluarga maupun harta". (Kitabut Tauhid, hal : 108).

Ketiga : mengingkari syafaat Rasululullah Sholallahu Alaihi Wasallam.
Syaikh berkenan menjawab syubhat ini, beliau mengatakan : "Mereka menyangka bahwa kami mengingkari syafaat Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Maha suci Engkau Allah, ini adalah tuduhan yang besar. Kami mempersaksikan kepada Allah . bahwa Rasulullah . adalah pemberi syafaat dan diberi kekuasaan oleh Allah untuk memberi syafaat, pemilik Al Maqamul Mahmud. Kita meminta kepada Allah Yang Maha Mulia, Tuhan Arsy yang agung untuk memberikan syafaat kepada beliau untuk kita, dan mengumpulkan kita di bawah panjinya". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal: 63-64)

Syaikh telah menjelaskan sebab penyebaran propaganda dusta ini, beliau berkata: "Mereka itu ketika aku sebutkan apa yang telah disebutkan Allah dan Rasul-Nya . serta semua ulama dari segala golongan, tentang perintah untuk ikhlas beribadah kepada Allah, melarang dari menyerupakan diri dengan Ahlul Kitab sebelum kita yang mereka itu menjadikan ulama dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, mereka mengatakan : kamu merendahkan para nabi, orang-orang shalih dan para wali!". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 2, hal: 50)

Masalah Kedua : TENTANG AHLUL BAIT

Termasuk tuduhan yang diarahkan kepada Syaikh : beliau tidak mencintai Ahlul Bait Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dan menghancurkan hak mereka. Jawaban atas pernyataan ini : Apa yang dikatakan itu bertentangan dengan kenyataan, bahkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengakui akan hak mereka untuk dicintai dan dimuliakan. Beliau konsisten dengan hal ini bahkan mengingkari orang yang tidak seperti itu. Beliau rahimahullah berkata :
"Allah telah mewajibkan kepada manusia berkaitan dengan hak hak terhadap ahlul bait. Tidak boleh bagi seorang muslim menjatuhkan hak-hak mereka dengan mengira ini adalah termasuk tauhid, padahal hal itu adalah perbuatan yang berlebih-lebihan. Kita tidak mengingkari kecuali apa yang mereka lakukan berupa penghormatan terhadap ahlul bait disertai dengan keyakinan mereka pantas untuk disembah, atau penghormatan terhadap mereka yang mengaku dirinya pantas disembah". (Mu’allafatus Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, jilid 5, hal:284)

Dan bagi siapa saja yang mau memperhatikan biografi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab akan membuktikan apa yang telah dia katakan. Cukuplah diketahui beliau telah menamai enam dari tujuh putranya dengan nama para ahlul bait yang mulia –semoga Allah merahmati mereka. Keenam putra itu adalah : Ali, Abdullah, Husain, Hasan, Ibrahim dan Fatimah. Ini merupakan bukti yang jelas menunjukkan betapa besar kecintaan dan penghargaannya terhadap ahlul bait.

Masalah Ketiga : KAROMAH PARA WALI

Beredar isu di kalangan orang bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengingkari karomah para wali. Menepis kebohongan ini, di beberapa tempat Syaikh rahimahullah telah merumuskan aqidah beliau yang tegas berkaitan dengan masalah ini, berbeda jauh dengan apa yang selama ini tersebar. Diantaranya terdapat di dalam sebuah perkataannya tatkala beliau menerangkan tentang aqidah beliau :
"Dan aku meyakini tentang karomah para wali". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:32)

Bagaimana mungkin beliau dituduh dengan tuduhan tersebut, padahal dia mengatakan bahwa orang yang mengingkari karomah para wali adalah ahli bid’ah dan kesesatan, beliau berkata:

"Dan tidak ada seorangpun mengingkari karomah para wali kecuali dia adalah ahli bid’ah dan kesesatan". (Muallafatus Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, jilid 1, hal: 169)

Masalah Keempat : TAKFIR (Pengkafiran -red)

Termasuk perkara terbesar yang disebarkan berkenaan dengan Syaikh dan orang-orang yang mencintainya adalah dikatakan mengkafirkan khalayak kaum muslimin dan pernikahan kaum muslimin tidak sah kecuali kelompoknya atau yang hijrah kepadanya. Syaikh telah menepis syubhat ini di beberapa tempat, diantara pada perkataan beliau :
"Pendapat orang bahwa saya mengkafirkan secara umum adalah termasuk kedustaan para musuh yang menghalangi manusia dari agama ini, kita katakan : Maha Suci Engkau Allah, ini adalah kedustaan besar". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal: 100)
"Mereka menisbatkan kepada kami berbagai macam kedustaan, fitnah pun semakin besar dengan mengerahkan terhadap mereka pasukan syetan yang berkuda maupun yang berjalan kaki. Mereka menebarkan berita bohong yang seorang yang masih mempunyai akal merasa malu untuk sekedar menceritakannya apalagi sampai tertipu. Diantaranya apa yang mereka katakan bahwa aku mengkafirkan semua manusia kecuali yang mengikutiku dan pernikahan mereka tidak sah. Sungguh suatu keanehan, bagaimana mungkin perkataan ini bisa masuk kedalam pikiran orang waras. Dan apakah seorang muslim akan mengatakan seperti ini. Aku berlepas diri kepada Allah dari perkataan ini, yang tidak bersumber kecuali dari orang yang berpikiran rusak dan hilang kesadarannya. Semoga Allah memerangi orang-orang yang mempunyai maksud-maksud yang batil". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal 80)
"Aku hanya mengkafirkan orang yang telah mengetahui agama Rasulullah . kemudian setelah dia mengetahuinya lantas mengejeknya, melarang manusia dari memeluk agama tersebut dan memusuhi orang yang berpegang dengannya. Tetapi kebanyakan umat –alhamdulillah- tidaklah seperti itu". (Ad Durarus Saniyyah : 1/73)

Masalah Kelima : ALIRAN KHAWARIJ

Sebagian orang ada yang menuduh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bahwa dia berada di atas aliran khawarij yang mengkafirkan manusia hanya karena kemaksiatan biasa. Untuk menjawabnya kita ambil dari redaksi perkataan Syaikh rahimahullah sendiri. Beliau rahimahullah berkata :
"Aku tak menyaksikan seorang pun dari kaum muslimin bahwa dia masuk surga atau masuk neraka kecuali orang yang telah disaksikan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Akan tetapi aku mengharapkan kebaikan bagi orang yang berbuat baik, dan mengkhawatirkan orang yang berbuat jahat. Aku tidak mengkafirkan seorang dari kaum muslimin pun hanya karena dosa biasa dan aku tak mengeluarkannya dari agama Islam". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:32)

Masalah Keenam : TAJSIM (Menjisimkan/ menyerupakan Allah dengan makhluk)

Termasuk yang digembar-gemborkan juga tentang Syaikh adalah beliau dianggap mujassim, yaitu menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk. Beliau telah menerangkan keyakinan dia tentang masalah ini dan ternyata sangat jauh dengan apa yang telah dituduhkan padanya, beliau berkata :
"Termasuk beriman kepada Allah adalah: beriman dengan apa yang Allah sifati terhadap Dzat-Nya di dalam kitab-Nya, atau melalui sabda Rasul-Nya, tanpa adanya tahrif (merubah teks maupun makna dari nash aslinya -pent) ataupun ta’thil (menafikan sebagian atau semua sifat-sifat Allah yang telah Allah tetapkan terhadap diri-Nya -pent), bahkan aku beri’tikad bahwa tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah ., Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Maka aku tidak menafikan dari Allah sifat yang telah Dia tetapkan terhadap diri-Nya, aku tidak merubah perkataan Allah dari tempat-tempatnya, aku tidak menyimpang dari kebenaran dalam nama dan sifat-sifat Allah. Aku tidak menggambarkan bagaimana sebenarnya sifat-sifat Allah dan juga tidak menyamakannya dengan sifat-sifat makhluk, karena Dia Maha Suci, tiada yang menyamai, tiada yang setara dengan-Nya, tidak memiliki tandingan dan tidak pantas diukur dengan makhluk-Nya. Karena Allah. Yang paling mengetahui tentang diri-Nya dan tentang yang selain-Nya. Dzat Yang paling benar firman-Nya dan paling bagus dalam perkataan-Nya. Allah menyucikan diri-Nya dari dari apa yang dikatakan oleh para penentang yaitu ahli takyif (menggambarkan hakikat sifat-sifat Allah) maupun ahli tamtsil (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Juga mensucikan diri-Nya dari pengingkaran ahli tahrif maupun ahli ta’thil, maka Dia berfirman (yang artinya): Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan, dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam (Q.S. As Shaffat : 180-182) (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:29)
"Dan sudah dimaklumi bahwa ta’thil adalah lawan dari tajsim, ahli ta’thil adalah musuh ahli tajsim, sedang yang haq adalah yang berada di antara keduanya". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 11, hal:3)

Masalah Ketujuh : MENYELISIHI PARA ULAMA

Sebagian manusia mengatakan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah menyelisihi semua ulama dalam dakwahkannya, tidak melihat kepada perkataan mereka, tidak mengacu kepada kitab-kitab mereka dan beliau membawa barang baru serta membuat madzhab kelima.Orang yang paling bagus dalam menjelaskan bagaimana hakikatnya adalah beliau sendiri. Beliau berkata :
"Kami mengikuti Kitab dan Sunnah serta mengikuti para pendahulu yang shalih dari umat ini dan mengikuti apa yang menjadi sandaran perkataan para imam yang empat : Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris (As Syafi’i) dan Ahmad bin Hanbal semoga Allah merahmati mereka". (Muallafatus Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, jilid 5, hal: 96)

"Bila kalian mendengar aku berfatwa dengan sesuatu yang dengannya aku keluar dari kesepakatan (ijma’) ulama, sampaikan perkataan itu kepadaku". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal: 53)
"Bila kalian menyangka bahwa para ulama bertentangan dengan apa yang aku jalani, inilah kitab-kitab mereka ada di depan kita". (Ad Durarus Saniyyah jilid 2, hal: 58)
"Aku membantah seorang bermadzhab hanafi dengan perkataan ulama-ulama akhir dari madzhab hanafi, demikian juga penganut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali, semua saya bantah hanya dengan perkataan ulama-ulama mutaakhirin yang menjadi rujukan dalam madzhab mereka". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:82)
"Secara global yang saya ingkari adalah : keyakinan terhadap selain Allah dengan keyakinan yang tidak pantas bagi selain Allah. Bila Anda dapati aku mengatakan sesuatu dari diriku sendiri, maka buanglah. Atau dari kitab yang kutemukan sedang disepakati untuk tidak diamalkan, buanglah. Atau saya menukil dari ahli madzhabku saja, buanglah. Namun bila aku mengatakannya berdasarkan kepada perintah Allah dan Rasul-Nya . atau berdasarkan ijma’ ulama dari segala madzhab, maka tidaklah pantas bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berpaling darinya hanya karena mengikuti seorang ahli di zamannya atau ahli daerahnya, atau hanya karena kebanyakan manusia di zamannya berpaling darinya". (Ad Durarus Saniyyah, jilid1,hal:76)

PENUTUP
Sebagai penutup, disini ada dua nasehat yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab :
Pertama : bagi orang yang berusaha menentang dakwah ini berikut semua pengikutnya, serta mengajak manusia untuk menentangnya lalu melontarkan beraneka ragam tuduhan dan kebathilan. Bagi mereka Syaikh berkata :
"Saya katakan bagi yang menentangku, bahwa sudah menjadi kewajiban bagi semua manusia untuk mengikuti apa yang telah diwasiatkan oleh Nabi . terhadap umatnya. Aku katakan kepada mereka : kitab-kitab itu ada pada kalian, perhatikanlah kandungannya, jangan kalian mengambil perkataanku sedikitpun. Hanya saja apabila kalian telah mengerti sabda Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam di dalam kitab-kitabmu itu maka ikutilah meskipun berbeda dengan kebanyakan manusia… Janganlah kalian mentaatiku, dan jangan mentaati kecuali perintah Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam yang ada di dalam kitab-kitab kalian…
Ketahuilah tidak ada yang bisa menyelamatkan kalian kecuali mengikuti Rasulullah .. Dunia akan berakhir, namun surga dan neraka jangan sampai ada orang berakal yang melupakannya". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:89-90)
"Aku mengajak orang yang menyelisihiku kepada empat perkara : kepada Kitabullah, kepada sunnah Rasulullah ., atau kepada ijma’ kesepakatan ahli ilmu. Apabila masih membangkang aku mengajaknya untuk mubahalah". (Ad Durarus Saniyyah : 1/55)
Kedua : bagi yang masih bimbang. Syaikh berkata : "Hendaklah Anda banyak merendah dan menghiba kepada Allah, khususnya pada waktu-waktu yang mustajab, seperti pada akhir malam, di akhir-akhir shalat dan setelah adzan.
Juga perbanyaklah membaca doa-doa yang diajarkan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, khususnya doa yang tercantum dalam As Shahih bahwa Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam berdoa dengan mengucap (yang artinya): Wahai Allah Tuhannya Jibril, Mikail dan Israfil, Pencipta langit dan bumi, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nampak, Engkaulah Yang Memutuskan hukum diantara hamba-hamba-Mu yang berselisih, tunjukkanlah kepadaku mana yang haq diantara yang diperselisihkan dengan izin-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Menunjukkan ke jalan yang lurus bagi siapa yang Engkau kehendaki. Hendaklah Anda melantunkan doa ini dengan sangat mengharap kepada Dzat Yang Mengabulkan doa orang kesulitan yang berdoa kepada-Nya, dan Yang telah Menunjukkan Ibrahim Alaihis Salam disaat semua manusia menentangnya. Katakanlah : "Wahai Yang telah mengajari Ibrahim, ajarilah aku".
Apabila Anda merasa berat dikarenakan manusia menyelisihimu, pikirkanlah firman Allah Subahahu Wata’ala (yanga artinya) : Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari (siksaan) Allah. (Q.S. Al Jatsiyah : 18-19)
"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah." (Q.S. Al An’am : 118)
Ingatlah sabda Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dalam As Shahih (yang artinya): "Agama Islam bermula dengan keadaan dianggap asing dan akan kembali dianggap asing seperti saat bermulanya".
Juga sabda Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang artinya) : "Sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu …." Sampai akhir hadits [1], juga sabda beliau (yang artinya): "Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk sesudahku", juga sabdanya : "Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan, karena setiap bid’ah adalah kesesatan". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal: 42-43)
"Jika telah jelas bagimu bahwa ini adalah al haq yang tidak diragukan lagi, dan sudah merupakan kewajiban untuk menyebarkan al haq itu serta mengajarkannya kepada para wanita maupun pria, maka semoga Allah merahmati orang yang menunaikan kewajiban itu dan bertaubat kepada Allah serta mengakui al haq itu pada dirinya. Sesungguhnya orang yang telah bertaubat dari dosanya seperti orang yang tak mempunyai dosa sama sekali. Semoga Allah menunjukkan kami dan Anda sekalian dan semua saudara-saudara kita kepada apa yang dicintai dan diridhai-Nya. Wassalam…" (Ad Durarus Saniyyah, jilid 2, hal:43)2.


Catatan Kaki
[1] Lengkapnya adalah: "Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari dada manusia secara serta merta, akan tetapi mencabutnya dengan memwafatkan para ulama. Sampai apabila tidak menyisakan seorang yang alim, manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Mereka ditanya dan menjawab tanpa ilmu maka mereka tersesat dan menyesatkan manusia" (HR. Bukhari Muslim).
Makalah ini diterjemahkan oleh Muhammad Hamid Alwi,
dari teks aslinya berjudul: "Tashihu Mafahim Khati’ah"
Sumber: http://www.salafyoun.com/forumdisplay.php?f=35&langid=5
Sebuah Situs yang diasuh oleh Syaikh Muhammad Bin Ramzan Al Hajiry Hafidzahullah
Risalah Syaikh Muhammad Bin Ramzan pernah dimuat dalam Majalah An Nashihah
http://salafivilla.blogspot.com/2009/07/meluruskan-pemahaman-keliru-tentang.html

Senin, 26 Juli 2010

Menyambut Kemenangan di Bulan Ramadhan

Menyambut Kemenangan di Bulan Ramadhan

Senin, 24 Agustus 2009 - 08:06:22 :: kategori Aqidah
Penulis: Redaksi assalafy.o

Tiba saatnya kaum muslimim menyambut tamu agung bulan Ramadhan, tamu yang dinanti-nanti dan dirindukan kedatangannya. Sebentar lagi tamu itu akan bertemu dengan kita. Tamu yang membawa berkah yang berlimpah ruah. Tamu bulan Ramadhan adalah tamu agung, yang semestinya kita bergembira dengan kedatangannya dan merpersiapkan untuk menyambutnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ (58) [يونس/58]

“Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad), dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa mereka yang kumpulkan (dari harta benda). (Yunus: 58)

Yang dimaksud dengan “karunia Allah” pada ayat di atas adalah Al-Qur’anul Karim (Lihat Tafsir As Sa’di).

Bulan Ramadhan dinamakan juga dengan Syahrul Qur’an (Bulan Al Qur’an). Karena Al-Qur’an diturunkan pada bulan tersebut dan pada setiap malamnya Malaikat Jibril datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam untuk mengajari Al-Qur’an kepada beliau. Bulan Ramadhan dengan segala keberkahannya merupakan rahmat dari Allah. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu lebih baik dan lebih berharga dari segala perhiasan dunia.

‘Ulama Ahli Tafsir terkemuka Al-Imam As-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya: “Bahwasannya Allah memerintahkan untuk bergembira atas karunia Allah dan rahmat-Nya karena itu akan melapangkan jiwa, menumbuhkan semangat, mewujudkan rasa syukur kepada Allah, dan akan mengokohkan jiwa, serta menguatkan keinginan dalam berilmu dan beriman, yang mendorang semakin bertambahnya karunia dan rahmat (dari Allah). Ini adalah kegembiraan yang terpuji. Berbeda halnya dengan gembira karena syahwat duniawi dan kelezatannya atau gembira diatas kebatilan, maka itu adalah kegimbiraan yang tercela. Sebagaimana Allah berfirman tentang Qarun,

“Janganlah kamu terlalu bangga, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang membanggakan diri.” (Al Qashash: 76)

Karunia dan rahmat Allah berupa bulan Ramadhan juga patut untuk kita sampaikan dan kita sebarkan kepada saudara-saudara kita kaum muslimin. Agar mereka menyadarinya dan turut bergembira atas limpahan karunia dan rahmat dari Allah. Allah berfirman :

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ (11)

“Dan terhadap nikmat dari Rabb-Mu hendaklah kamu menyebut-nyebutnya.” Adh-Dhuha: 11)

Dengan menyebut-nyebut nikmat Allah akan mendorong untuk mensyukurinya dan menumbuhkan kecintaan kepada Dzat yang melimpahkan nikmat atasnya. Karena hati itu selalu condong untuk mencintai siapa yang telah berbuat baik kepadanya.

Para pembaca yang mulia, ….

Maka sudah sepantasnya seorang muslim benar-benar menyiapkan diri untuk menyambut bulan yang penuh barakah itu, yaitu menyiapkan iman, niat ikhlash, dan hati yang bersih, di samping persiapan fisik.

Ramadhan adalan bulan suci yang penuh rahmat dan barakah. Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka pintu-pintu Al-Jannah (surga), menutup pintu-pintu neraka, dan membelenggu syaithan. Allah ‘Azza wa Jalla melipat gandakan amalan shalih yang tidak diketahui kecuali oleh Dia sendiri. Barangsiapa yang menyambutnya dengan sungguh-sungguh, bershaum degan penuh keimanan dan memperbanyak amalan shalih, serta menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang bisa merusak ibadah shaumnya, niscaya Allah ‘Azza wa Jalla akan mengampuni dosa-dosanya dan akan melipatkan gandakan pahalanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبٍ

“Barang siapa yang bershaum dengan penuh keimanan dan harapan (pahala dari Allah), niscaya Allah mengampuni dosa-dosa yang telah lampau.” (Muttafaqun ‘alahi)

Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam juga bersabda :

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

“Setiap amalan bani Adam akan dilipat gandakan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat, Allah I berfirman: “kecuali ibadah shaum, shaum itu ibadah untuk-Ku dan Aku sendiri yang membalasnya.” (HR. Muslim)

Masih banyak lagi keutamaan dan keberkahan bulan Ramadhan yang belum disebutkan dan tidak cukup untuk disebutkan di sini.

Namun yang terpenting bagi saudara-saudaraku seiman, adalah mensyukuri atas limpahan karunia Allah dan rahmat-Nya. Janganlah nikmat yang besar ini kita nodai dan kita kotori dengan berbagai penyimpangan dan kemaksiatan. Nikmat itu akan semakin bertambah bila kita pandai mensyukurinya dan nikmat itu akan semakin berkurang bahkan bisa sirna bila kita mengkufurinya.

Termasuk sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allah, pada bulan yang penuh barakah ini kita ciptakan suasa yang penuh kondusif. Jangan kita nodai dengan perpecahan. Kewajiban kita seorang muslim mengembalikan segala urusan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta kepada para ulama bukan berdasarkan pendapat pribadi atau golongan.

Permasalah yang sering terjadi adalah perbedaan dalam menentukan awal masuknya bulan Ramadhan. Wahai saudara-saudaraku, ingatlah sikap seorang muslim adalah mengembalikan kepada Kitabullah (Al-Qur’an) dan As Sunnah dengan bimbingan para ulama yang terpercaya.

Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam telah menetukan pelaksanaan shaum Ramadhan berdasarkan ru`yatul hilal. Beliau bersabda :

( صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ )

“Bershaumlah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’idul fithrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilal. Apabila (hilal) terhalangi atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” HR. Al-Bukhari dan Muslim

Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam juga menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan secara kebersamaan. Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda:

اَلصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

“Shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka/beriedul Fitri adalah pada saat kalian berbuka/beriedul Fitri, dan (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari kalian berkurban.” (HR. At Tirmidzi dari shahabat Abu Hurairah)

Al-Imam At-Tirmidzi berkata: “Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits Abu Hurairah di atas

dengan perkataan (mereka), ‘sesungguhnya shaum dan ber’Idul Fitri itu (dilaksanakan) bersama Al-Jama’ah (Pemerintah Muslimin) dan mayoritas umat Islam’.” (Tuhfatul Ahwadzi 2/37)

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata: “Seseorang (hendaknya) bershaum bersama pemerintah dan jama’ah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.” Beliau juga berkata: “Tangan Allah bersama Al-Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa 25/117)

Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata: “Yang jelas, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, Iedul Fithri dan Iedul Adha -pen) keputusannya bukanlah di tangan individu, dan tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada pemerintah dan mayoritas umat Islam, dan dalam hal ini setiap individu pun wajib untuk mengikuti pemerintah dan mayoritas umat Islam. Maka dari itu, jika ada seseorang yang melihat hilal (bulan sabit) namun pemerintah menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.” (Ash-Shahihah 2/443)

Menaati pemerintah merupakan prinsip yang harus dijaga oleh umat Islam. Terlebih pemerintah kita telah berupaya menempatkan utusan-utusan pada pos-pos ru’yatul hilal di d berbagai daerah di segenap nusantara ini. Rasulullah e bersabda :

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِي فَقَدْ عَصَانِي

“Barangsiapa menaatiku berarti telah menaati Allah, barangsiapa menentangku berarti telah menentang Allah, barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku berarti telah menaatiku, dan barang siapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah menentangku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para pemerintah dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, 13/120).

Sebagai rasa syukur kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pula hendaklah kita hidupkan bulan yang penuh barakah itu dengan amalan-amalan shalih, amalan-amalan yang ikhlash dan mencocoki sunnah Rasulullah. Kita menjauhkan dari amalan-amalan yang tidak ada contoh dari Rasulullah. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah berwasiat :

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

“Barangsiapa yang membuat-buat amalan baru dalam agama kami yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya tersebut tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda :

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada contoh dari kami, maka amalannya tersebut tertolak.” (HR. Muslim)

Para ‘ulama berkata : “Bahwa hadits merupakan kaidah agung di antara kaidah-kaidah Islam. Ini merupakan salah satu bentuk jawami’ kalim (kalimat singkat namun bermakna luas) yang dimikili oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Hadits ini sangat jelas dalam membatalkan semua bentuk bid’ah dan hal-hal baru yang dibuat dalam agama. Lafazh kedua lebih bersifat umum, karena mencakup semua orang yang mengamalkan bid’ah, walaupun pembuatnya orang lain.”

Termasuk perbuatan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah perbuatan yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin dalam menyambut bulan Ramadhan dengan amalan atau ritual tertentu, di antaranya :

1. Apa yang dikenal dengan acara Padusan. Yaitu mandi bersama-sama dengan masih mengenakan busana, terkadang ada yang memimpin di suatu sungai, atau sumber air, atau telaga. Dengan niat mandi besar, dalam rangka membersihkan jiwa dan raga sebelum memasuki bulan suci Ramadhan. Sampai-sampai ada di antara muslimin yang berkeyakinan Kalau sekali saja terlewat dari ritual ini, rasanya ada yang kurang meski sudah menjalankan puasa. Jelas perbuatan ini tidak pernah diajarkan dan tidak pernah diterapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Demikian juga para shahabat, para salafus shalih, dan para ‘ulama yang mulia tidak ada yang mengamalkan atau menganjurkan amaliah tersebut. Sehingga kaum muslimin tidak boleh melakukan ritual ini.

Belum lagi, dalam ritual Padusan ini, banyak terjadi kemungkaran. Ya, jelas-jelas mandi bersama antara laki-laki dan perempuan. Jelas ini merupakan kemungkaran yang sama sekali bukan bagian dari ajaran Islam.

2. Nyekar di kuburan leluhur.

Tak jarang dari kaum muslimin, menjelang Ramadhan tiba datang ke pemakaman. Dalam Islam ada tuntunan ziarah kubur, yang disyari’atkan agar kaum muslimin ingat bahwa dirinya juga akan mati menyusul saudara-saudaranya yang telah meninggal dunia lebih dahulu, sehingga dia pun harus mempersiapkan dirinya dengan iman dan amal shalih. Namun ziarah kubur, yang diistilahkan oleh orang jawa dengan nyekar, yang dikhususkan untuk menyambut Ramadhan tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam. Apalagi mengkhusukan nyekar di kuburan leluhur. Ini adalah perkara baru dalam agama. Tak jarang dalam ziarah kubur tercampur dengan kemungkaran. Yaitu sang peziarah malah berdoa kepada penghuni kubur, meminta-minta pada orang yang sudah mati, atau ngalap berkah dari tanah kuburan! Ini merupakan perbuatan syirik!

3. Minta ma’af kepada sesama menjelang datangnya Ramadhan.

Dengan alasan agar menghadapi bulan Ramadhan dengan hati yang bersih, sudah terhapus beban dosa terhadap sesama. Bahkan di sebagian kalangan diyakini sebagai syarat agar puasanya sempurna.

Tidak diragukan, bahwa meminta ma’af kepada sesama adalah sesuatu yang dituntunkan dalam agama, meningat manusia adalah tempat salah dan lupa. Meminta ma’af di sini umum sifatnya, bahkan setiap saat harus kita lakukan jika kita berbuat salah kepada sesama, tidak terkait dengan waktu atau acara tertentu. Mengkaitkan permintaan ma’af dengan Ramadhan, atau dijadikan termasuk cara untuk menyambut Ramadhan, maka jelas ini membuat hal baru dalam agama. Amaliah ini bukan bagian dari tuntunan syari’at Islam.

Itulah beberapa contoh amalan yang tidak ada tuntunan dalam syari’at yang dijadikan acara dalam menyambut bulan Ramadhan. Sayangnya, amaliah tersebut banyak tersebar di kalangan kaum muslimin.

Semestinya dalam menyambut Ramadhan Mubarak ini kita mempersiapkan iman dan niat ikhlash kita. Hendaknya kita berniat untuk benar-benar mengisi Ramadhan ini dengan meningkatkan ibadah dan amal shalih. Baik puasa itu sendiri, memperbaiki kualitas ibadah shalat kita, berjama’ah di masjid, qiyamul lail (shalat tarawih), tilawatul qur’an, memperbanyak dzikir, shadaqah, dan berbagai amal shalih lainnya.

Tentunya itu semua butuh iman dan niat yang ikhlash, disamping butuh ilmu tentang bagaimana tuntunan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam melaksanakan berbagai amal shalih tersebut. agar amal kita menjadi amal yang diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Juga perlu adanya kesiapan fisik, agar tubuh kita benar-benar sehat sehingga bisa menjalankan berbagai ibadah dan amal shalih pada bulan Ramadhan dengan lancar.

Puncak dari itu semua adalah semoga puasa dan semua amal ibadah kita pada bulan Ramadhan ini benar-benar bisa mengantarkan kita pada derajat taqwa di sisi Allah ‘Azza wa Jalla.

Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang gagal dalam Ramadhan ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع، ورب قائم ليس له من قيامه إلا السهر

“Berapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak ada yang ia dapatkan dari puasanya kecuali rasa lapar saja. Dan berapa banyak orang menegakkan ibadah malam hari, namun tidak ada yang ia dapatkan kecuali hanya begadang saja.” (HR. Ibu Majah)

Juga beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

إن جبريل عليه السلام أتاني فقال من أدرك شهر رمضان فلم يغفر له فدخل النار فأبعده الله قل آمين فقلت آمين

“Sesungguhnya Jibril ‘alaihis salam mendatangiku, dia berkata : ‘Barangsiap yang mendapati bulan Ramadhan namun tidak menyebakan dosanya diampuni dia akan masuk neraka dan Allah jauhkan dia. Katakan amin (wahai Muhammad). Maka aku pun berkata : Amin.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ahmad)

Semoga kita termasuk orang yang mendapat keutamaan dan fadhilah dalam bulan Ramadhan ini. Semoga Allah menyatukan hati-hati kita di atas Islam dan Iman. Dan semoga Allah menjadikan bulan Ramadhan ini sebagai jembatan menuju keridhaan Allah ‘Azza wa Jallah dan meraih ketaqwaan kepada-Nya.

Wallähu a’lam..

(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=340&print=1)

Buruknya Haus akan Kekuasaan

Buruknya Haus Akan Kekuasaan

Kamis, 09 April 2009 - 22:39:44 :: kategori Aqidah
Penulis: Redaksi Buletin Jum’at Al-Atsariyyah

Lain dulu lain sekarang. Mungkin ungkapan ini cocok dengan keadaan kaum muslimin pada hari ini. Mereka telah terhempas jauh dari tuntunan Allah -Ta’ala-, dan Rasul-Nya -Shallallahu alaihi wa sallam- . Besarnya gelombang syahwat dan syubhat membuat mereka terpisah jauh dari panutan mereka yaitu para sahabat nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para shalafush shaleh. Mereka beraqidah, bukan dengan aqidah Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabatnya. Mereka beribadah, bukan dengan ibadah yang dicontohkan oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabatnya. Mereka bermu’amalah, bukan dengan mu’amalah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , dan para sahabat. Akhirnya, Allah Ta’ala membiarkan mereka memilih jalannya sendiri dan memalingkan mereka dari kebenaran, kemana mereka mau berpaling sebagai hukuman kepada mereka atas kedurhakaannya kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, dan akibat mereka tidak mau mengikuti jalannya para sahabat.

Allah -Ta’ala- berfirman,

“Barang siapa yang durhaka kepada Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti selain jalan orang-orang beriman (para sahabat) Kami biarkan dia dalam kesesatannya dan kelak kami akan masukkan mereka ke dalam neraka Jahannam, dan Jahannam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (QS. An-Nisaa’ :115)

Jika kita mau memperhatikan kondisi kaum muslimin pada hari ini dan membandingkannya dengan para sahabat dan pengikut mereka yang setia, maka kita akan mendapatkan perbedaan yang sangat jauh. Pada hari ini, kaum muslimin berlomba-lomba dan haus kekuasaan untuk mendapatkan jabatan dan menjadi pemimpin. Padahal para salaf terdahulu menjauhi dan menghindarinya.

Segala cara mereka tempuh, tanpa peduli lagi dengan halal tidaknya. Maka nampaklah gambar-gambar mereka terpampang di setiap sudut jalan dengan kata-kata yang menggoda berharap agar mereka dipilih oleh masyarakat. Mulai dari orang kaya sampai guru ngaji; yang tua maupun yang muda, semua berebut kursi jabatan. Sungguh sial para pengemis kekuasaan tersebut; mereka telah menghamburkan harta dimana-mana demi meraih kekuasaan. Andaikan harta yang mereka hamburkan dalam pesta demokrasi itu mau dikumpulkan, lalu disedekahkan di jalan Allah, niscaya banyak orang yang akan merasakan manfaatnya. Tapi demikianlah setan menghiasi kehidupan dunia ini dengan segala macam tipuannya untuk membinasakan manusia, dan membuat mereka rugi di dunia.

Para salafush shaleh terdahulu sangat takut jika mereka diberikan kekuasaan. Sebab mereka tahu dan pahami besarnya konsekuensi dan pertanggung jawaban kekuasaan kelak di sisi Allah -Ta’ala-

Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ, فَاْلأَمِيْرُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Ingatlah, setiap orang diantara kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang amir (pemimpin masyarakat) yang berkuasa atas manusia adalah pemimpin, dan ia akan ditanya tentang rakyatnya". [HR. Bukhari (5200) dan Muslim (4701)]

Seorang yang mau menjadi pemimpin dan penguasa, harus mengetahui betul bahwa kekuasaan adalah amanah yang amat berat dipundak, dan tanggung jawab yang amat besar di sisi Allah, sebab ia harus menunaikan hak orang banyak, dan berbuat adil kepada mereka sebagaimana halnya mereka ingin agar rakyat menunaikan tugasnya di hadapan dirinya. Sungguh tugas ini amat berat digenggam, dan amat berbahaya. Tak heran jika Panutan kita, Nabi Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- mengingatkan kita tentang bahayanya kekuasaan, dan orang yang memintanya.

Abdur Rahman bin Samuroh -radhiyallahu ‘anhu- berkata, "Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepadaku,

يَا عَبْدَ الرَّحْمنِ بْنَ سَمُرَةَ لاَ تَسْأَلِ اْلإِمَارَةَ, فَإِنَّكَ إِنْ أُوْتِيْتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا, وَإِنْ أُوْتِيْتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا

"Wahai Abdur Rahman bin Samuroh, janganlah engkau meminta kekuasaan. Karena jika kau diberi kekuasaan dari hasil meminta, maka engkau akan diserahkan kepada kekuasaan itu (yakni, dibiarkan oleh Allah & tak akan ditolong, pent.). Jika engkau diberi kekuasaan, bukan dari hasil meminta, maka engkau akan ditolong". [HR. Al-Bukhoriy (6622, 6722, 7146, & 7147), dan Muslim (4257, & 4692)]

Abu Musa Al-Asy’ariy-radhiyallahu ‘anhu- berkata,

دَخَلْتُ عَلَى النَّبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَرَجُلاَنِ مِنْ بَنِيْ عَمِّيْ, فَقَالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَمِّرْنَا عَلَى بَعْضِ مَا وَلاَّكَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ, وَقَالَ الآخَرُ مِثْلَ ذَلِكَ, فَقَالَ: إِنَّا,وَاللهِ ! لاَ نُوَلِّيْ عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلاَ أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ

"Aku pernah masuk menemui Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersama dua orang sepupuku. Seorang diantara mereka berkata, "Wahai Rasulullah, jadikanlah kami pemimpin dalam perkara yang Allah -Azza wa Jalla- berikan kepadamu. Orang kedua juga berkata demikian. Maka beliau bersabda, "Demi Allah, sesungguhnya kami tidak akan menyerahkan pekerjaan ini kepada orang yang memintanya, dan tidak pula orang yang rakus kepadanya". [HR. Al-Bukhoriy (7149), dan Muslim (1733)]

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

لَنْ أَوْ لاَ نَسْتَعْمِلُ عَلَى عَمَلِنَا مَنْ أَرَادَهُ

"Kami tak akan mempekerjakan dalam urusan kami orang yang menginginkannya". [HR. Al-Bukhoriy (2261, 6923, & 7156), dan Muslim (1733)]

Seorang yang meminta kekuasaan dan rakus terhadapnya akan mengalami penyesalan, sebab ia bukan ahlinya. Kekuasaan menjadi sebuah kenikmatan sementara, sedang kesusahan dan tanggung jawab akan menanti di Padang Mahsyar.

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُوْنَ عَلَى اْلإِمَارَةِ وَسَتَكُوْنُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ, فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الفَاطِمَةُ

"Sesungguhnya kalian kelak akan rakus terhadap kekuasaan, dan kekuasan itu akan menjadi penyesalan pada hari kiamat. Kekuasaan adalah sebaik-baik penetek(yakni, awalnya penuh kelezatan dan kenikmatan, pent.), dan sejelek-jelek penyapih (yakni, di akhirnya, saat terjadi kudeta, dan pertanggungjawaban di hari akhir, pent.)". [HR. Al-Bukhoriy (6729), dan An-Nasa’iy (4211 & 5385)]

Sungguh nasihat dan wejangan berharga ini seyogyanya menjadi peringatan bagi kaum muslimin tentang beratnya tanggung jawab menjadi seorang pemimpin. Hendaknya jangan berani meminta kekuasaan. Sebelum seorang diberi kekuasaan dan tanggung jawab, hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dan takut akan azab-Nya dengan membentengi diri mereka dengan ilmu sebelum menjadi pemimpin.

Seorang ulama’ tabi’in, Al-Ahnaf bin Qois Al-Bashriy -rahimahullah- berkata, “Umar bin Khattab pernah mengatakan kepada kami, “Pelajarilah ilmu agama sebelum kalian memegang kekuasaan”. Sufyan berkomentar, “Karena seseorang yang telah mengetahui ilmu agama, ia tidak akan berhasrat lagi mengejar kekuasaan.” [Lihat Shifatush shafwah (2/236)]

Demikian pula para salaf yang lain, mereka sangat takut jika diberi kekuasaan. Al-Miswar bin Makhromah-radhiyallahu ‘anhu- bekata, “Ketika Abdur Rahman bin Auf diberi mandat dalam majlis syura (dewan musyawarah pemilihan khalifah dari kalangan ulama yang cerdik dan pandai). Beliau adalah orang yang paling kuidamkan untuk menduduki jabatan khalifah. Kalau beliau enggan, sebaiknya Sa’ad. Tiba-tiba Amru bin Ash menjumpaiku dan berkata, “Apa kira-kira pandangan pamanmu Abdur Rahman bin Auf, kalau ia menyerahkan jabatan ini kepada orang lain, padahal dia tahu bahwa dirinya lebih baik dari orang itu?”. Aku segera menemui Abdurrahman dan menceritakan kepada beliau pertanyaan itu. Beliau lalu berkomentar, “Seandainya ada orang meletakkan pisau dileherku lalu menusuknya hingga tembus, itu lebih kusukai daripada menerima jabatan tersebut”. [Lihat Siyar Al-A’lam An-Nubala’ (1/87-88)].

Utsman bin Affan pernah mengeluh karena mimisan (keluar darah dari hidung), lalu beliau memanggil Humran. Beliau berkata, “Tuliskan mandat untuk Abdurrahman untuk menggantikan aku bila aku meninggal". Maka Humran pun menuliskan mandat itu. Setelah itu, Humran datang menjumpai Abdur Rahman seraya berkata, “ Ada kabar gembira”. Abdur Rahman bertanya, “Kabar apakah itu?”. Humran berkata, “Utsman telah menuliskan mandat untuk anda sepeninggalannya”. Abdur Rahman pun segera berdiri di antara makam dan mimbar Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- (yakni, di Raudhah), lalu berdo’a, “Ya Allah apabila penyerahan jabatan dari Utsman sepeninggalnya betul-betul terjadi, maka matikanlah aku sebelum itu”. Tak lebih enam bulan berselang, beliau pun wafat. [Lihat Siyar Al-A’lam An-Nubala’ (1/88)]

Yazib bin Al-Muhallab ketika diangkat sebagai gubernur Khurasan, ia membuat pernyataan, “Beritahukanlah kepadaku tentang seorang laki-laki yang memiliki kepribadian yang luhur lagi sempurna”. Beliau lalu dikenalkan kepada Abu Burdah Al-Asy’ariy. Ketika Sang Gubernur menemui Abu Burdah, ia mendapatinya sebagai seorang lelaki yang memiliki keistimewaan. Ketika Abu Burdah berbicara, ternyata apa yang ia dengar dari ucapannya lebih baik dari apa yang ia lihat dari penampilannya. Sang Gubernur lantas berkata, “Aku akan menugaskanmu untuk urusan ini dan ini, yang termasuk dalam kekuasaanku". Abu Burdah meminta maaf karena tidak bisa menerimanya. Namun Sang Gubernur tidak menerima alasannya. Akhirnya Abu Bardah pun berkata, “Wahai Gubernur, sudikan anda mendengarkan apa yang disampaikan oleh ayahku? Bahwa ia pernah mendengar Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda”. Gubernur berkata, “Sampaikanlah”. Abu Bardah berkata, “Sesungguhnya Ayahku (Abu Musa Al-‘Asy’ariy) telah mendengar Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda:

“Barang siapa yang ditugaskan untuk memikul suatu pekerjaan yang dia tahu bahwa dirinya bukanlah orang yang ahli atau pantas dalam pekerjaan tersebut, bersiap-siaplah ia masuk ke dalam neraka”.

Aku bersaksi wahai Gubernur, "Bahwa aku bukanlah orang yang ahli atau pantas dalam urusan yang anda tawarkan". Sang Gubernur justru berkata, “Dengan ucapanmu itu, kamu justru membuat kami makin berhasrat dan senang menaruh kepercayaan kepadamu. Laksanakanlah dengan segala tugas-tugasmu. Kami tidak bisa menerima alasanmu”. Maka lelaki itu pun menjalankan tugasnya di antara mereka selama beberapa waktu. Lalu ia meminta ijin untuk dapat menemui Gubernur, dan ia diijinkan. Lalu ia berkata, “Wahai Gubernur, sudikan anda mendengarkan apa yang disampaikan ayahku kepadaku bahwa ia mendengar Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “terlaknatlah orang yang meminta atas nama Allah. Terlaknatlah orang yang diminta atas nama Allah, lalu tidak mengabulkan permintaan si peminta, selama ia (si peminta) tidak meminta perkara yang memutuskan persaudaraan”.

Sekarang aku minta atas nama Allah untuk tidak menjalankan tugas lagi, dan memaafkan saya atas pekerjaan yang telah saya lakukan.” Maka sang Gubernur pun menerima alasannya. [Lihat Siyar Al-A’lam An-Nubala’ (4/345)]

Sufyan berkata, “Aku tidak pernah melihat kezuhudan yang lebih sulit daripada kezuhudan terhadap kekuasaan. Kita bisa dapati orang zuhud dalam hal makanan, minuman, harta, dan pakaian, namun kalau kita berikan kepadanya kekuasaan, ia akan mempertahankannya dan berani bermusuhan membelanya”. [Lihat Siyar Al-A’lam An-Nubala’ (7/262)]

Itulah sebagian dari nasihat dan mutiara hikmah dan petuah salafush shaleh yang tinggi mutunya, mahal harganya, dan besar faedahnya. Kalimat yang muncul dari lisan generasi terbaik umat ini. Yakni sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in -radhiyallahu anhum-.

Allah -Ta’ala- berfirman ketika memuji mereka,

“Orang-orang yang terduhulu lagi pertama dari kalangan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dan mereka ridho kepada Allah dan Dia menyiapkan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selamanya. Itulah kemenangan yang besar”. ( QS. At-Taubah: 100)

Ibnu Katsir berkata tentang ayat ini, “Allah mengabarkan tentang ridhonya kepada orang-orang beriman dari kalangan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, serta keridhoan mereka kepada Allah. Dengan apa yang Allah telah siapkan mereka berupa surga-surga yang nikmat dan kenikmatan yang abadi [Lihat Tafsir Al-Qur’anil Adzim (2/398)]

Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah di zamanku, kemudian setelahnya (tabi’in), kemudian setelahnya (tabi’ut-tabi’in)”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Asy-Syahadat (2509), dan Muslim dalam Fadho’il Ash-Shohabah (2533)]

Ayat dan hadits di atas menjelaskan kepada kita tentang keutamaan dan kedudukan yang agung yang telah diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada para sahabat dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik. Karena itu, hendaknya kita menjadikan mereka sebagai panutan dan suri teladan yang baik. Merekalah yang dikenal dengan "Salafush Sholih" (Pendahulu yang Baik)

Alangkah indahnya ucapan Abdullah bin Mas’ud-radhiyallahu ‘anhu-, “Barangsiapa yang ingin mengambil teladan maka hendaklah ia mengambil teladan pada orang yang telah meninggal (yakni, para sahabat), sebab orang yang masih hidup tidaklah aman dari ujian. Mereka adalah para sahabat nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-, mereka adalah manusia terbaik umat ini, yang paling bagus hatinya, yang paling dalam ilmunya, dan paling sedikit membebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Maka kenalilah keutamaan mereka! Ikutilah jalan mereka, dan berpegang teguhlah dengan akhlak dan agama mereka semampu kalian, karena mereka berada pada petunjuk yang lurus [HR. Abu Nua’im dalam Al-Hilyah (1/305)]

Al-Imam Abu Amer Al-Auza’iy-rahimahullah- berkata, “Sabarkanlah dirimu di atas sunnah. Berhentilah di mana kaum itu (para sahabat) berhenti. Berucaplah dengan apa yang mereka ucapkan, tahanlah (dirimu) dari apa yang mereka menahan diri darinya, dan tempuhlah jalan salafush shalehmu (pendahulumu yang shaleh). Karena sesungguhnya apa yang engkau leluasa (melakukannya) leluasa pula bagi mereka”. [HR. Al-Lalikaa’iy dalam Syarh I’tiqod Ahlis Sunnah (no.315), Al-Ajurriy dalam Asy-Syari’ ah (1/148)]

Inilah beberapa buah petikan nasihat dari kehidupan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabatnya yang jauh dari ketamakan terhadap kekuasaan. Mereka amat takut menerima kekuasaan; berbeda dengan orang-orang di akhir zaman ini, mereka berlomba-lomba meminta kekuasaan dengan berbagai macam dalih, seperti "Demi Islam". Padahal semuanya demi kursi!! Islam tak butuh kepada perjuangan yang jauh dari petunjuk Islam. Fa’tabiruu ya ulil abshor.

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 98 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

(Dikutip dari http://almakassari.com/?p=329)

Kesesatan Demokrasi (Bukan dari Rakyat)

Bukan dari Rakyat

Kamis, 09 April 2009 - 22:40:51 :: kategori Aqidah
Penulis: Redaksi Buletin Jum’at Al-Atsariyyah

Menjelang pesta demokrasi alias pemilu, begitu banyak persiapan yang dilakukan para pengusungnya, dari kota sampai ke desa; berjajar partai-partai yang akan turun ke kancah politik. Mulai dari partai senior sampai partai junior, bahkan partai yang menisbahkan dirinya kepada Islam pun tidak mau ketinggalan mengambil posisi dalam memeriahkan pesta demokrasi. Tak ada satu jalan pun kecuali telah dipenuhi dengan baleho-baleho para caleg, spanduk-spanduk partai, stiker, dan atribut lainnya. Beribu-ribu ungkapan dan janji yang tertulis hampir di setiap sudut kota. Semuanya terkadang buat bingung; yang mana harus dipilih?

Adanya pesta raksasa semodel ini terkadang membuat orang lupa segalanya sehingga ia tak pernah mau tahu apakah menerapkan demokrasi beserta tetek bengeknya dibolehkan dalam agama kita??! Selain itu, banyak diantara manusia yang masih salah paham, sehingga menyandarkan demokrasi kepada Islam atau memasukkannya ke dalam Islam dengan menamakannya sebagai siyasah syar’iyyah (politik Islam). Padahal Islam sangat bertentangan dengan demokrasi. Jadi, tak mungkin disebut dengan siyasah syar’iyyah !? Orang yang beranggapan seperti itu hanya berbicara tanpa dalil, sampai setan pun tidak akan bisa membantunya untuk mendatangkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebab suatu perkara disebut "syar’i" bila bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sumber hukum tertinggi bagi manusia. Adapun demokrasi, maka ia tidak bersumber dari keduanya. Bahkan demokrasi itu bersumber dari pikiran dan ide manusia yang tak lepas dari segala sifat kelemahan yang dimilikinya. Demokrasi adalah ide lancang yang dicanangkan pertama kali oleh orang kafir sampai hari ini demi membabat dan menyingkirkan syari’at Allah yang sempurna. [lihat Haqiqoh Ad-Dimuqratiyyah (hal. 16 & 19)]

Kedudukan DEMOKRASI ini akan semakin jelas, jika kita mengetahui maknanya. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani dan tersusun dari dua kata. Kata pertama adalah “Demo” yang bermakna rakyat atau penduduk. Kata yang kedua adalah “Krasi” yang berasal dari kata “Kratia” yang berarti aturan hukum dan kekuasaan. Dua kata Yunani ini, kalau digabungkan, menjadi “Demokrasi” yang berarti pemerintahan dari rakyat.

Jadi, DEMOKRASI adalah hukum dari rakyat untuk rakyat sendiri, dalam artian suara rakyat adalah hukum dan kekuasaan tertinggi. Dalam prakteknya, demokrasi tergambar dalam suara terbanyak. Keputusan apapun yang dipilih oleh suara terbanyak, maka itulah yang harus diambil dan diterapkan. [Lihat Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyf Mafasid wa Syubuhat Al-Intikhob (hal.16) karya Syaikh Abu Nashr Al-Imam]

Subhanallah , teori semacam ini amat bertentangan dengan Al-Quran, dan As-Sunnah. Karena di dalam syariat islam, hukum hanya milik Allah. Segala keputusan manusia harus kembali kepada Allah (Al-Qur’an), dan Rasul-Nya (Sunnah).

“Hukum (keputusan) itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia”. (QS. Yusuf :40)

Allah berfirman kepada Rasul-Nya:

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka dengan sesuatu yang diturunkan Allah”. (QS. Al-Maidah :49)

Allah menjelaskan bahwa hukum itu bukanlah menjadi milik rakyat dan para anggota parlemen, tapi milik Allah saja. Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk memutuskan perkara diantara manusia dengan wahyu yang Allah turunkan berupa Al-Qur’an dan Sunnah.

Syaikh Muhammad Aman Al-Jamiy-rahimahullah- berkata, "Tidak ragu lagi bahwa sistem demokrasi adalah sistem mulhid (atheis) jahiliyyah, tak cocok bagi kita di negeri ini (KSA), bahkan tak cocok bagi semua negeri-negeri Islam yang beriman dengan aturan Islam…Jika rakyat yang menetapkan aturan hidupnya; yang menetapkan segala keputusan, dan melaksanakan keputusan sang hakim yang menganut paham demokrasi. Jika demikian halnya, maka apa lagi yang tersisa bagi Allah Robbul alamin Yang Menciptakan para hamba, dan mengutus rasul-rasul-Nya kepada mereka serta menurunkan kepada mereka kitab-kitab-Nya yang mengandung aturan yang rinci lagi adil, tak ada kecurangan, dan kekurangan padanya. Jadi, Allah-lah saja Yang Menetapkan syari’at. Dia telah menetapkan syari’at yang adil". [Lihat Haqiqoh Ad-Dimuqratiyyah (hal. 14-15) karya Al-Jamiy]

Selain itu, manusia yang merupakan makhluk lemah tidak mungkin akan menyamai syari’at dan petunjuk yang Allah tuangkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, walaupun seluruh manusia bersatu merancang keputusan, perundang-undangan, dan aturan hidup, maka mereka tak mungkin akan mampu menandinginya. Allah -Ta’ala- berfirman,

"Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya)-, maka peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir". (QS. Al-Baqoroh: 23-24).

Al-Hafizh Ibnu Katsir Asy-Syafi’iy-rahimahullah- berkata, "Ini juga merupakan mu’jizat yang lain, yakni Allah mengabarkan berita yang pasti, tanpa takut, dan khawatir bahwa Al-Qur’an ini tidaklah mungkin akan dihadapi (dilawan) dengan sesuatu yang semisalnya selama-lamanya. Demikianlah realitanya; Al-Qur’an tak pernah bisa dihadapi dari dulu sampai zaman kita sekarang, dan memang tak mungkin!! Bagaimana mungkin hal itu terjadi bagi seseorang, sedang Al-Qur’an adalah firman Allah Sang Maha Pencipta segala sesuatu; bagaimana bisa firman (ucapan) Sang Maha Pencipta diserupai oleh ucapan makhluk?!!" [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (1/91)]

Jadi, petunjuk terbaik, dan paling sempurna; hukum yang paling lengkap dan universal serta cocok di setiap tempat dan zaman adalah Al-Qur’an yang berisi segala kebaikan dunia dan akhirat.

Para Pembaca yang budiman, DEMOKRASI yang merupakan produk buatan manusia yang banyak memiliki kekurangan, dan kebatilan. Diantara kebatilan-kebatilan demokrasi:

* Menentukan Hukum Berdasarkan Suara Terbanyak

Banyaknya manusia yang memilih dan menetapkan suatu perkara bukanlah menjadi tolok ukur bahwa perkara itu benar dan baik. Tapi segala perkara harus ditimbang dan diukur dengan wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah).

Jika suatu perkara dikembalikan dan diukur dengan pikiran dan ide kebanyakan orang, maka yakinlah bahwa perkara-perkara itu akan banyak memiliki kekurangan dan pelanggaran; jauh dari jalan Allah. Jadi, manusia –bagamanapun banyaknya- bukanlah pengambil keputusan tertinggi, dan bukan sumber hukum tertinggi, karena kebanyakan manusia jauh dari jalan Allah, dan memiliki sifat-sifat buruk.

Allah -Ta’ala- berfirman,

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka. Dan mereka tidak lain hanyalah berdusta”.( Al-An’am :116)

Ahli Tafsir Jazirah Arab, Al-Imam As-Sa’diy-rahimahullah- berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa banyaknya pengikut tidak bisa menjadi dalil kebenaran. Sebaliknya, sedikitnya pengikut tidak bisa dijadikan dalil bahwa itulah yang batil. Bahkan kenyataan menunjukkan kebalikannya, pelaku kebenaran sedikit jumlahnya, namun mereka besar kadar dan pahalanya di sisi Allah. Bahkan yang wajib dijadikan dalil untuk mengetahui kebenaran dan kebatilan adalah jalan-jalan yang bisa mengantar kepada hal itu (yakni, Al-Qur’an). [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal 233)]

Allah -Ta’ala- berfirman,

“Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Yusuf: 40)

Kalau ada diantara manusia yang mengetahui kebenaran, maka mereka pun kebanyakannya membenci kebenaran itu. Allah berfirman,

"Sesungguhnya kami benar-benar telah memhawa kebenaran kepada kamu tetapi kebanyakan di antara kamu benci pada kebenaran itu". (QS. Az-Zukhruf :78).

Diantara sifat buruk pada mayoritas manusia, mereka tak mau beriman. Allah -Ta’ala- menyebutkan sifat buruk ini dalam firman-Nya,

“D an sebagian besarmanusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya”. (QS. Yusuf :103)

Selain itu, kebanyakan manusia tidak pandai bersyukur kepada Allah, bahkan banyak yang mengingkari nikmat-nikmat Allah. Allah -Ta’ala- berfirman,

“Sesungguhnya allah mempunyai karunia terhadap manusia,tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur” (QS. Al-Baqarah:243)

Jika kita bandingkan antara orang yang murni imannya (bertauhid) dengan kaum musyrik, maka kita mendapati orang musyrik lebih banyak. Allah -Ta’ala- berfirman,

“ Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain). (QS.Yusuf: 106)

Pembaca yang Budiman, Allah mengabarkan tentang keadaan mayoritas manusia bahwa kebanyakannya tidak beriman, tidak bersyukur, tidak mengetahui, dan kebanyakan menyekutukan Allah serta benci kepada kebenaran. Lalu bagaimana mungkin memutuskan suatu hukum dengan pendapat mayoritas?! Padahal banyak diketahui bahwa mayoritas manusia sepakat untuk berbuat zhalim, melampaui batas, bahkan ingkar kepada Allah.

Andaikan hak suara di parlemenyang mengatas namakan Islam ada 69 suara dan yang menyelisihinya juga 69 suara. Lalu ditambah 1 suara dari orang kafir lagi dzolim, maka aspirasi yang menyuarakan hukum Al-Qur’an akan kalah dan terbuang !!! Karena dikalahkan oleh suara orang jahat tadi. Apakah perbuatan seperti ini bijak?!! Sama sekali tidak bijak, andaikan mereka berpikir !!!

* Menyamaratakan Manusia

Dalam ajang demokrasi semua orang posisinya sama; seorang ulama dan bertaqwa sama posisinya dengan orang yang jahil lagi dzolim. Orang yang sholeh sama posisinya dengan seorang pelacur; Pria sama kedudukannya dengan wanita. Demikianlah demokrasi, adapun di dalam Islam, semua diposisikan secara proporsional. Allah berfirman,

“Maka apakah patut kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang berdusta (orang kafir)? Mengapa kamu (berbuat demikian); bagaimanakah kamu mengambil keputusan. (QS. Al-Qalam : 35-36)

Allah berfirman:

“Maka apakah orang yang beriman seperti orang fasik (kafir)? Mereka tidak sama” . (QS. As-Sajdah : 18)

Allah -Ta’ala- berfirman membedakan dengan bijak antara pria & wanita,

"Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS. Al-Baqoroh: 228).

Ayat-ayat ini merobohkan prinsip kesetaraan dan kesamaan yang terdapat dalam sistem demokrasi yang zholim

* Menghilangkan Prinsip Loyalitas

Al-Wala’ (loyalitas) dan Al-Bara’ (tidak loyalitas) merupakan salah satu asas yang sangat penting di dalam islam. Oleh karena itu, kami akan menjelaskan apa arti Al-Wala’ dan Al-Bara’. Al-Wala’ adalah cinta karena Allah dan saling tolong menolong karena Allah. Al-Bara’ adalah benci karena Allah dan saling bermusuhan karena Allah. Adapun dasar perkara ini, firman Allah:

“Wahai orang-orang beriman! janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali (orang yang dicintai) dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Apakah kamu ingin memberi alasan yang jelas bagi Allah (untuk menyiksamu)? (QS.An-Nisaa’: 144)

Rasulullah bersabda,

مَنْ أَحَبَّ لِلّهِ وَأَبْغَضَ لِلّهِ وَأَعْطَى لِلّهِ وَمَنَعَ لِلّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ اْلإِيْمَانَ

“Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah dan menahan karena Allah, maka sungguh ia telah menyempurnakan imannya . [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (1864); di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami’ (5965)].

Jadi, Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita berloyal kepada orang-orang mukmin, dan membenci orang-orang kafir. Adapun dalam demokrasi, sikap ini disingkirkan dan dijauhkan dengan sejauh-jauhnya. Cinta dan benci tidaklah muncul karena Allah, namun muncul karena partai. Jika sesuai dengan tujuan partai, maka ia akan dirangkul dan dicintai; siapapun orangnya. Namun jika berseberangan dengan misi politiknya, walaupun dia seorang muslim yang beriman, maka dia memusuhinya. Lahaulah walakuata illa billah

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 85 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

(http://almakassari.com/?p=337)

Berhari Raya Bersama Muslimin dan Pemerintah

Berhari Raya Bersama Muslimin dan Pemerintah

Senin, 31 Oktober 2005 - 02:19:43 :: kategori Manhaj
Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar as Sewed

Hukum asal penentuan awal bulan Syawwal (Hari Raya 'Iedlul Fithri) adalah dengan ru'yatul hilal (melihat bulan sabit) berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar رضي الله عنهما bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ. (رواه البخاري ومسلم عن ابن عمر رضي الله عنهما)
Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal, dan janganlah kalian ber-iedlul Fithri hingga kalian melihatnya. Jika kalian terhalang untuk melihatnya, maka kalian perkirakanlah. (HR. Bukhari Muslim dari Ibnu Umar رضي الله عنهما)
"Memperkirakan" ketika hilal terhalang oleh awan atau lainnya adalah dengan menggenapkan bilangan bulan sebelumnya menjadi 30 hari. Sebagaimana disebutkan dalam hadits lain sebagai berikut:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ. (رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة رضي الله عنه)
Berpuasalah kalian jika kalian melihatnya (hilal) dan ber'iedlul Fithrilah kalian jika kalian melihatnya. Jika kalian terhalang untuk melihatnya, maka sempurnakanlah bilangan Sya'ban tiga puluh hari. (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah رضي الله عنه)
Maka jika yang terhalang adalah hilal
Syawwal, genapkanlah bulan Ramadlan 30 hari.

Penentuan Ramadlan, Syawwal, Haji dan lain-lain adalah tanggung jawab penguasa
Hari Raya adalah suatu amalan yang
bersifat jama'i (dilakukan secara berjama'ah), maka penguasalah yang berkewajiban untuk ru'yatul hilal atau orang-orang khusus yang mereka tugaskan, atau merekalah yang menerima berita-berita dari orang yang melihat hilal dan menentukan sah atau tidak sahnya. Oleh karena itu kita tidak bisa melaksanakan hari raya sendiri-sendiri dengan melihat hilal sendiri-sendiri.

Kewajiban rakyat -kaum muslimin - adalah mentaati penguasanya pada hasil keputusan mereka, hingga terjadilah kebersamaan yang dikehendaki oleh syariat Islam.
Berkata Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani رحمه الله dalam Tamamul Minnah: "Sesungguhnya untuk melihat hilal atau mencari berita tentang hilal dari negeri-negeri lain pada hari ini adalah perkara yang mudah, sebagaimana sudah dimaklumi. Namun yang demikian perlu perhatian serius dari para penguasa negara-negara Islam hingga (persatuan) akan terwujud menjadi kenyataan insya Allah tabaraka wa ta'ala". (Tamamul Minnah, hal. 398)

Perintah untuk mentaati penguasa tersebut adalah terus berlangsung walaupun penguasa tersebut dhalim atau fasik.
Berkata Imam ash-Shabuni رحمه الله dalam Aqidatus Salaf hal. 102: "Ahlul hadits berpendapat untuk menegakkan shalat Jum'at dan dua hari raya dan lain-lain dari shalat-shalat jama'ah di belakang setiap penguasa muslim yang baik atau pun yang jahat. Dan berpendapat untuk berjihad memerangi orang-orang kafir bersama mereka, walaupun penguasa tersebut dhalim dan jahat".
Berkata Imam al-Barbahari رحمه الله: "Ketahuilah bahwa kejahatan penguasa tidak mengurangi kewajiban yang Allah wajibkan melalui lisan nabi-Nya صلى الله عليه وسلم. Kejahatannya untuk diri mereka sendiri, sedangkan ketaatan dan kebaikanmu bersamanya tetap sempurna -Insya Allah. Yakni kebaikan berupa shalat jama'ah, Jum'at dan jihad bersama mereka dan segala sesuatu dari ketaatan yang dikerjakan bersama mereka, maka pahalamu sesuai dengan niatmu". (Syarhus Sunnah, al-Barbahari, hal. 116)

Berkata Abu Ja'far ath-Thahawi رحمه الله: "Haji dan jihad terus berlangsung bersama penguasa kaum muslimin, yang baik atau yang jahat, sampai hari kiamat; tidak terbatalkan dan tidak gugur (dengan kefasikan mereka). (Al-Aqidah ath-Thahawiyah, dengan syarh Ibnu Abil 'Izz, hal. 287)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله: "Dan mereka (ahlus sunnah wal jama'ah) memerintahkan kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar sesuai dengan apa yang diwajibkan oleh syari'at. Mereka berpendapat untuk menegakkan haji, shalat jum'at, dan hari raya bersama para penguasa, apakah mereka orang-orang baik ataukah orang-orang jelek. Dan berpendapat untuk menegakkan shalat jama'ah, jihad dan menegakkan nasehat untuk umat". (Aqidah Wasithiyah, Ibnu Taimiyah, hal. 257)

Berkata Syaikh Shalih al-Fauzan رحمه الله ketika menjelaskan ucapan Ibnu Taimiyah di atas sebagai berikut: "Yang demikian karena tujuan kaum muslimin adalah menyatukan kalimat dan menghindari perpecahan dan perselisihan. Karena penguasa yang fasik tidak lepas dari kedudukannya sebagai penguasa yang harus ditaati dan tidak boleh ditentang, apalagi jika sampai berakibat menelantarkan kewajiban-kewajiban dan menumpahkan darah". (Syarh Aqidah al-Washithiyah, Syaikh Shalih Fauzan, hal. 216)

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin رحمه الله ketika menjelaskan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di atas sebagai berikut: "Mereka (ahlus sunnah wal jama'ah) berpendapat untuk menegakkan haji bersama para penguasa walaupun mereka fasik. Bahkan walaupun merekaeminum khamr ketika haji. Mereka tidak berkata: "Ini adalah imam faajir, kami tidak mau terima kepemimpinannya". Karena mereka berpendapat bahwa mentaati penguasa adalah wajib walaupun mereka fasik, selama kefasikannya tidak membawa pada kekafiran yang jelas yang di sisi Allah kita punya bukti…". (Syarh al-Aqidah al-Washithiyah, Syaikh Utsaimin, juz ke-2, hal. 337)
Beliau berkata pula: "Demikian pula menegakkan hari raya-hari raya bersama para penguasa yang mengimami shalat mereka. Apakah ia orang baik ataukah orang jelek. Dengan jalan yang damai ini, jelaslah bahwa agama Islam ini merupakan jalan tengah di antara orang yang berlebih-lebihan dan orang-orang yang melalaikan". (sumber yang sama hal. 336)

Berkata Ibnu Abil 'Izz al-Hanafi رحمه الله: "Telah ditunjukkan oleh dalil-dalil dari kitab dan sunnah serta ijma' para salaful ummah bahwa para penguasa, pemimpin shalat, hakim, panglima perang dan pengurus zakat ditaati dalam perkara-perkara ijtihad. Dan tidaklah mereka mentaati anak buahnya dalam perkara ijtihad, tetapi rakyatlah yang harus mentaatinya dalam masalah-masalah tersebut. Dan hendaklah mereka menyerahkan pendapatnya kepada penguasa tersebut, karena kepentingan umum dan persatuan serta bahayanya perpecahan dan pertikaian adalah lebih diperhatikan daripada masalah-masalah pribadi atau kelompok." (Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 376)

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin رحمه الله: "Jika ada yang bertanya: "Mengapa kita mesti shalat di belakang mereka dan mengikuti mereka dalam haji, jihad, Jum'at dan hari raya?" Kita katakan bahwa mereka adalah penguasa kita yang kita beragama dengan mentaati mereka, karena perintah Allah سبحانه وتعالى:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ... (النساء: 59)
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah
Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian…" (an-Nisaa': 59)

Dan sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم:
إِنَّهَا سَتَكُونُ بَعْدِي أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَأْمُرُ مَنْ أَدْرَكَ مِنَّا ذَلِكَ قَالَ تُؤَدُّونَ الْحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ . (رواه مسلم)
Sesungguhnya akan terjadi setelahku kedhaliman-kedhaliman dan perkara-perkara yang kalian ingkari. Mereka bertanya: "Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada orang yang mengalami masa tersebut dari kami?" Beliau menjawab: "Tunaikanlah hak-hak mereka atas kalian, dan mintalah kepada Allah hak-hak kalian. (HR. Muslim)
Yang dimaksud "hak-hak mereka (para penguasa)" adalah ketaatan kepada mereka pada selain kemaksiatan. (Syarh al-Aqidah al-Washithiyah, Syaikh Utsaimin, juz ke-2, hal. 339)

Dengan kita mengikuti ucapan-ucapan para ulama di atas, niscaya akan terwujud kebersamaan yang disebutkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam hadits yang sudah kita sebutkan pada edisi ke-80, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ. (رواه الترمذي وقال: حديث غريب حسن )
Puasa itu adalah hari ketika kalian seluruhnya berpuasa, Iedlul Fithri adalah hari di mana seluruh kalian berbuka (yakni tidak berpuasa lagi –pent.) dan Iedlul Adha adalah hari ketika kalian seluruhnya menyembelih kurban. (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah رضي الله عنه, dengan Tuhfatul Ahwadzi, 2/37)

Adapun cara para penguasa menentukan hari raya tersebut, apakah dengan ru'yah atau dengan hisab, maka merekalah yang bertanggung jawab di hadapan Allah سبحانه وتعالى.

Hadits di atas di samping merupakan dalil untuk berpuasa bersama kaum muslimin, juga merupakan dalil berhari raya bersama mereka.

Berkata ash-Shan'ani dalam Subulus Salam 2/72: "Pada hadits ini ada dalil bahwa yang teranggap dalam menetapkan hari raya adalah kebersamaan manusia. Dan bahwasanya seorang yang menyendiri dalam mengetahui masuknya hari raya dengan melihat hilal (bulan sabit) tetap wajib mengikuti kebanyakan manusia. Hukum ini harus dia ikuti, apakah dalam waktu shalat, ber'iedlul Fithri atau pun berkurban".

Disamping itu ada pula hadits mauquf yang semakna dengan ini dari Aisyah رضي الله عنها dikeluarkan oleh al-Baihaqi dari jalan Abu Hanifah, Ia berkata: Menyampaikan kepadaku Ali bin Aqmar, dari Masruq, bahwa ia mendatangi rumah Aisyah pada hari Arafah (dalam keadaan tidak berpuasa –pent.). Aisyah رضي الله عنها berkata: "Berilah Masruq minuman dan perbanyaklah halwa untuknya!" Masruq berkata: "Tidaklah menghalangiku untuk berpuasa pada hari ini, kecuali aku khawatir hari ini adalah hari raya nahr (iedlul Adha). Maka Aisyah pun berkata:
النَّحْرُ يَوْمَ يَنْحَرُ النَّاسُ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ. (رواه البيهقي)
Hari raya Nahr adalah hari manusia menyembelih, dan iedlul Fithri adalah hari ketika manusia berbuka (yakni tidak lagi berpuasa).
(Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin alAlbani, hal. 442)

Disebutkan pula ucapan senada oleh Ibnul Qayyim رحمه الله dalam Tahdzibu as-Sunan, 3/214: "Dikatakan bahwa pada hadits ini terdapat bantahan atas orang yang berkata: "Sesungguhnya barangsiapa yang melihat munculnya bulan Sabit dengan mengukur hisabnya atau menghitung tempat-tempat terbitnya, boleh baginya berpuasa dan beriedlul Fithri sendiri, tidak seperti orang yang tidak mengetahuinya". Dikatakan bahwa seorang yang melihat munculnya bulan sabit sendirian, tetapi hakim tidak menerima persaksiannya, maka dia tidak boleh berpuasa sebagaimana manusia pun belum berpuasa". (Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani)

Demikian pula tentunya siapa yang melihat hilal Syawwal sendirian, namun penguasa tidak menerima persaksiannya, maka dia tidak boleh berhari raya sendirian.

Berkata Abul Hasan as-Sindi dalam catatan kakinya terhadap Sunan Ibnu Majah, setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah dalam riwayat di atas sebagai berikut: "Tampaknya makna hadits ini adalah bahwa perkara-perkara tersebut bukan haknya pribadi-pribadi seseorang tertentu. Dan tidak boleh seseorang menyendiri dalam masalah tersebut, tetapi urusan ini dikembalikan kepada imam dan jama'ah kaum muslimin seluruhnya. Wajib bagi setiap pribadi mengikuti kebanyakan manusia dan penguasanya. Dengan demikian jika seseorang melihat hilal, tetapi penguasa menolaknya, maka semestinya dia tidak tidak menetapkan perkara-perkara tadi pada dirinya sendirian, sebaliknya wajib baginya mengikuti kebanyakan manusia". (Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani)

Maka nasehat kita kepada para penguasa adalah: tentukanlah awal bulan Ramadlan, Syawwal dan lain-lain dengan ru'yatul hilal di mana pun hilal itu terlihat, walaupun di negara-negara lain.

Dan nasehat kita kepada kaum muslimin adalah: taatilah penguasa; berpuasa dan ber'iedhul Fithrilah bersama mereka, dan janganlah berpecah-belah.

[Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Ongkos cetak dll Rp. 200,-/exp. tambah ongkos kirim. Pesanan min 50 exp. bayar 4 edisi di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab & Pimpinan Redaksi: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Sekretaris: Ahmad Fauzan/Abu Urwah, HP 081564634143; Sirkulasi/pemasaran: Arief Subekti HP 081564690956. Untuk memperdalam ilmu dan informasi dakwah baca: majalah Asy-Syari'ah & An-Nasihah atau klik www.asysyariah.com dan www.salafy.or.id.]

(Dikutip dari bulletin Manhaj Salaf, Edisi: 84/Th. II, tanggal 24 Ramadlan 1426 H/28 Oktober 2005 M, judul asli Berhari Raya Bersama Kaum Muslimin dan Penguasanya, penulis asli Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed)