Cari Blog Ini

Selasa, 08 Juni 2010

Hukum Menentukan Awal Puasa dengan Metode Hisab

Menggunakan metode Hisab dalam penentuan Ramadhan
Ahad, 31 Agustus 2008 - 08:02:35 :: kategori Fiqh
Penulis: Redaksi Ma'had As Salafy
.: :.
Dari penjelasan yang telah lalu, kita mengetahui adanya tiga cara dalam menentukan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, yaitu :

1. Ru’yatul Hilal (melihat hilal),

2. Menyempurnakan hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari,

3. Asy-Syahadah (persaksian) orang yang telah berhasil melihat al-hilal atau pemberitaan/pengumuman bahwa al- hilal telah berhasil dilihat.

Sedangkan ilmu hisab falaki tidak boleh dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran untuk menentukan masuk atau keluarnya bulan Ramadhan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan :

“Tidak diragukan lagi berdasarkan As-Sunnah (hadits-hadits) yang sah serta kesepakatan para shahabat bahwasanya tidak boleh menyandarkan (masuk dan keluarnya bulan Ramadhan) kepada hisab perbintangan, sebagaimana hadits yang telah sah dari beliau (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam) yang diriwayatkan dalam Ash-Shahihain (Al-Bukhari dan Muslim) beliau berkata :

‏(( ‏إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ‏ )‏‏)

“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiy, kami tidak dapat menulis dan tidak pula menghisab. Maka bershaum-lah kalian berdasarkan ru’yah (Al-Hilal), dan berbukalah (memasukui ‘Idul Fithri) berdasarkan ru’yah (Al-Hilal).”

Sementara orang yang menyandarkan diri kepada ilmu hisab dalam menentukan Al-Hilal, maka sesungguh dia bagaikan orang yang sesat dalam syari’at ini dan seorang mubtadi’ (pencetus bid’ah) dalam agama ini. Dia pun salah dalam tinjauan akal dan ilmu hisab (perbintangan) itu sendiri. Karena sesungguhnya para pakar di bidang ilmu hisab mengetahui bahwasanya ru’yah tidak dapat ditentukan secara pasti berdasarkan perhitungan ilmu hisab. Maksimal fungsi ilmu hisab yang mereka lakukan di saat mereka hendak mengetahui berapa derajat antara hilal (bulan) dan matahari saat terbenam. Sementara ru’yah tidak dapat ditentukan secara pasti dengan derajat tertentu, karena ru’yah tersebut berbeda sesuai dengan perbedaan tingkat ketajaman dan kejelian pandangan, dan sangat bergantung pada tingkat tinggi rendanya tempat yang dilakukan ru’yah terhadap hilal darinya. Sebagaimana juga sangat bergantung kepada tingkat perbedaan cerah dan tidaknya cuaca.

Bisa saja Al-Hilal terlihat oleh sebagian orang pada tingkat 80 (delapan derajat), sementara yang lainnya tidak mampu melihatnya walaupun pada tingkat 120 (dua belas derajat). Atas dasar itu para pakar ilmu hisab berselisih secara tidak menentu, dan para tokoh mereka -semacam Bathlemous (بطليموس)- sama sekali tidak berbicara tentang pengaruh perbedaan derajat, karena permasalahan tersebut tidak bersandar di atas ketentuan yang pasti dalam ilmu hisab. Yang berbicara tentang hal itu hanyalah para tokoh mereka yang datang belakangan -seperti Kusyiar Ad-Dealmi (كوشيار الديلمي ) dan yang semisalnya- ketika mereka mendapati Asy-Syari’ah (Islam) menggantungkan hukum-hukum kepada (Ru’yah) Al-Hilal, maka mereka (pakar ilmu hisab) memandang ilmu hisab sebagai cara yang ru’yatul hilal dipastikan padanya. Padahal cara tersebut bukanlah cara yang tepat, bukan pula cara yang sesuai, bahkan tingkat kesalahannya banyak, dan itu telah terbukti, para pakar di bidang tersebut pun banyak berselisih : apakah hilal -dengan derajat tertentu- terlihat ataukah tidak?

Sebabnya : karena mereka memastikan sesuatu berdasarkan ilmu hisab sementara sesuatu tersebut tidak dapat diketahui/ditentukan berdasarkan ilmu hisab. Sehingga dengan itu mereka menyimpang dari jalan yang benar.

Aku telah memaparkan permasalahan tersebut secara panjang lebar dalam pembahasan selain di tempat ini. dan aku jelaskan bahwasanya apa yang telah ditentukan oleh syari’at yang benar ini itulah yang sesuai dengan ketentuan akal yang jelas, sebagaimana pula aku telah menjelaskan tentang batasan hari bahwasanya hal itu tidak dapat dipastikan berdasarkan ilmu hisab. … –sekian– [1]

Seluruh anggota Hai`ah Kibaril ‘Ulama` (Majelis Tinggi ‘Ulama) di Arab Saudi telah bersepakat tentang tidak bolehnya bersandar kepada ilmu hisab falaki dalam menentukan awal bulan. Hal itu sebagaimana tertuang dalam ketetapan Hai`ah Kibaril ‘Ulama` nomor 2, yang ditetapkan secara ijma’ (konsesus bersama), berikut isi ketetapan tersebut secara ringkas :

و أما ما يتعلق بإثبات الأهلة بالحساب فقد أجمع أعضاء الهيئة على عدم اعتباره، و بالله التوفيق. هـ القرار

Sementara permasalahan yang terkait dengan hukum penetapan hilal pada setiap bulan berdasarkan ilmu hisab maka para (’ulama) anggota Majelis Hai`ah bersepakat tentang tidak bolehnya. ([2])

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah memberikan pernyataan yang senada dengan fatwa di atas, beliau berkata :

“Ash-Shaum tidak menjadi wajib hukumnya dengan berdasarkan ketentuan hisab (falaki) walaupun para pakar ilmu hisab telah menetapkan bahwa malam ini merupakan bagian dari Ramadhan padahal kaum muslimin tidak berhasil melihat Al-Hilal, maka tidak boleh bershaum. Karena syari’at (Islam) mengaitkan hukum Shiyam berdasarkan sesuatu yang bisa dicapai oleh indera manusia, yaitu berdasarkan ru’yatul hilal.” ( [3])

Maka orang yang bersandar kepada hisab falaki adalah orang yang telah menyelisihi Al Haq dan Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah. Hal ini dilihat dari beberapa segi :

1. Firman Allah subhanahu wata’ala dalam Al-Qur`an :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ .البقرة: ١٨٥

Artinya :

Karena itu barang siapa yang menyaksikan Asy-Syahr (hilal) Ramadhan maka bershaum lah.” [Al-Baqarah : 185].

Dalam ayat ini Allah mengaitkan hukum Ash-Shiyam berdasarkan ru’yah Asy-Syahr (Al-Hilal)

2. Hadits-hadits shahih yang menjelaskan tentang kewajiban bershaum berdasarkan ru’yatul hilal, seperi hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ [البخاري]

Artinya :

“Bershaumlah kalian berdasarkan ru’yatul hilal dan berharirayalah berdasarlan ru’yatul hilal. Jika (hilal) terhalangi(oleh mendung atau semisalnya) maka genapkanlah bilangan hari bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” [H.R. Al-Bukhari]([4])

Demikian juga hadits dari shahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma :

أَنَّ رَسُولَ اللهِ r ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ : (( لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ، وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ )) [متفق عليه]

Bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berbicara tentang Ramadhan, kemudian beliau berkata : “Janganlah kalian bershaum hingga kalian berhasil melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka (ber’Idul Fitri) hingga kalian berhasil melihat hilal.”[Muttafaqun ‘alaihi] [5])

Kemudian jika kesulitan dalam melakukan ru’yah, karena terhalang oleh awan atau yang semisalnya, maka dengan cara menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari, tanpa harus menyelisihi Nabi r dengan menggunakan hisab falaki.

3. Ijma’ para Shahabat, Tabi’in dan para imam Ahlus Sunnah setelah mereka.

4. Pernyataan para ahli ilmu perbintangan sendiri, bahwa ru’yah tidak bisa ditetapkan dengan hisab falaki karena adanya perbedaan ketinggian tempat perhitungan dan berbagai perbedaan lainnya.

5. Kenyataan terjadinya perbedaan di kalangan ahli hisab dalam menentukan hilal dan posisi ketinggian derajatnya untuk dapat dilihat.

Al-Hafizh Ibnu Hajar v menyatakan dalam Fathul Bari sebuah perkataan yang bermanfaat ketika beliau mensyarh (menjelaskan) hadits no. 1913, yaitu hadits dari shahabat Ibnu ‘Umar c dengan lafazh :

‏(( ‏إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ‏ )‏‏)

“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiy, kami tidak dapat menulis dan tidak pula menghisab. Maka bershaum-lah kalian berdasarkan ru’yah (Al-Hilal), dan berbukalah (memasukui ‘Idul Fithri) berdasarkan ru’yah (Al-Hilal).”

Beliau berkata :

“Maksud kata ‘Al-Hisab’ dalam hadits ini adalah ilmu hisab perbintangan dan peredarannya, mereka (para shahabat) dahulu tidak mengetahui tentang ilmu tersebut kecuali segelintir orang saja. Sehingga atas dasar itu hukum kewajiban bershaum dan yang lainnya dikaitkan kepada ru’yah (al-hilal) dalam rangka meniadakan kesulitan dari mereka dalam penggunaan ilmu hisab peredaran bintang. Hukum ini terus berlanjut dalam ketentuan ash-shaum walaupun setelah mereka telah muncul orang-orang yang mengetahui ilmu hisab perbintangan tersebut. Bahkan konteks hadits di atas menunjukkan penafian mutlak keterkaitan hukum (shaum Ramadhan) berdasarkan ilmu hisab. Hal ini diperjelaskan dengan pernyataan Rasulullah dalam hadits di atas :

(( فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا العِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ ))

“Jika terhalangi (oleh mendung) maka sempurnakan bilangan (Sya’ban) menjadi tiga puluh hari”

Tidaklah beliau berkata : ‘Bertanyalah kalian kepada para pakar ilmu hisab’. Hikmah di balik perintah ini adalah samanya perhitungan seluruh mukallaf (kaum muslimin) dalam penentuan bilangan hari di saat langit mendung, sehingga hilanglah perbedaan dan perselisihan dari mereka.

Ada suatu pihak yang telah berkeyakinan bersandar kepada para pakar ilmu hisab dalam permasalahan ini, mereka itu adalah kelompok Syi’ah Rafidhah, dan dinukilkan adanya persetujuan sebagian kecil ahli fiqh terhadap mereka. Al-Imam Al-Baji berkata : ‘Ijma (Konsesus bersama) generasi as-salafush shalih merupakan hujjah yang membantah mereka.’ Al-Imam Ibnu Bazizah berkata : ‘ini adalah keyakinan yang batil, karena syari’at (Islam) telah melarang untuk mendalami ilmu nujum, karena ilmu tersebut hanya sebatas prasangka yang tidak ada kepastian padanya …’ –sekian Al-Hafizh–

Itulah beberapa keterangan dan fatwa beberapa ‘ulama ahlus sunnah dalam menyikapi ilmu hisab dalam keterkaitannya dengan penentuan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan. Semoga bisa dijadikan sebagai landasan berpijak dalam permasalahan ini.

Footnote :

[1] Al-Fatawa XXV/207-208.

[2] Taudhihul Ahkam III/134-135.

[3] Asy-Syarhul Mumti’ jilid 6 hal 314.

[4] Al-Bukhari (hadits no. 1909

[5] HR. Al-Bukhari no. 1906, Muslim no. 1080.

(Dikutip dari tulisan "Hukum Menggunakan Ilmu Hisab Untuk Menentukan Masuk dan Keluarnya Bulan Ramadhan". Url sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=225)

Hukum Memberontak Kepada Penguasa

Hukum Memberontak (Ta'at walau tidak berhukum dgn hukum Allah)
Jumat, 10 Desember 2004 - 06:50:33 :: kategori Manhaj
Penulis: Syaikh Fawaz bin Yahya Al Ghuslan
.: :.
Kewajiban Mentaati Penguasa Muslim Walaupun Tidak Berhukum Dengan Hukum Allah

Al Jamaah, sebagaimana telah maklum tidak akan pernah tegak kecuali harus dengan imam yang menyatukan kalimat. Dan seorang imam tidak akan kuat kepemimpinannya kecuali kalau ia ditaati maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memerintahkan kita untuk mentaati pemimpin, bersabda beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :
 ﻗَﺎﻝَ : ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﷲِ : ١١ -ﻋَﻦْ ﺃﹶﻧَﺲٍ ﺍِﺳْﻤَﻌُﻮﺍ ﻭَﺃﹶﻃِﻴْﻌُﻮﺍ، ﻭَﺇِﻥْ ﺍِﺳْـﺘَﻌْﻤَﻞَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻋَﺒْﺪٌ ﺣَﺒَﺸِﻲ، ﻛَﺄﹶﻥّ ﺭَﺃﹾﺳَﻪُ ﺯَﺑِﻴْـﺒَﺔٌ، ﻣَﺎ ﺃﹶﻗَﺎﻡَ ﻓِﻴْﻜُﻢْ ﻛِﺘَﺎﺏَ ﺍﷲِ ﴿ ﺣﺪﻳﺚ ﺻﺤﻴﺢ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺤﻪ ﴾
11.Dari Anas radliyallahu 'anhu berkata, berkata Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :
“Mendengar dan taatlah kalian walaupun yang memimpin kalian adalah bekas budak dari Habasyah yang kepalanya seperti kismis, selama dia menegakkan Kitabullah di antara kalian.” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya)
ﻣَﻦْ ﻗَﺎﻝَ : ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﷲِ : ١٢ -ﻋَﻦْ ﺃﹶﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﺃﹶﻃَﺎﻋَﻨِﻲ ﻓَﻘَﺪْ ﺃﹶﻃَﺎﻉَ ﺍﷲﹶ، ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻄِﻊِ ﺍْﻷَﻣِﻴْﺮَ ﻓَﻘَﺪْ ﺃﹶﻃَﺎﻋَﻨِﻲ، ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﻌْﺺِ ﺍْﻷَﻣِﻴْﺮَ ﻓَﻘَﺪْ ﻋَﺼَﺎﻧِﻲ ﴿ ﺣﺪﻳﺚ ﺻﺤﻴﺢ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺸﻴﺨﺎﻥ ﴾
12.Dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu berkata, berkata Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :
“Barangsiapa yang mentaati aku maka dia telah mentaati Allah, barangsiapa yang bermaksiat kepadaku maka ia telah bermaksiat kepada Allah. Barangsiapa yang mentaati amir/pemimpin maka ia telah mentaatiku, barangsiapa yang bermaksiat kepada amir/pemimpin maka ia telah bermaksiat kepadaku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

ﻗَﺎﻝَ : ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﷲِ :١٣ -ﻋَﻦْ ﺍﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤَﺮْﺀِ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﺍﻟﺴّﻤْﻊُ ﻭَﺍﻟﻄّﺎﻋَﺔُ ﻓِﻴْﻤَﺎ ﺃﹶﺣَﺐّ ﺃﹶﻭْ ﻛَﺮِﻩَ، ﺇِﻻّ ﺃﹶﻥْ ﻳُﺆْﻣَﺮَ ﺑِﻤَﻌْﺼِﻴَﺔٍ ﻓَﻼَ ﺳَﻤِﻊَ ﻭَﻻَ ﻃَﺎﻋَﺔَ ﴿ ﺣﺪﻳﺚ ﺻﺤﻴﺢ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺸﻴﺨﺎﻥ ﴾
13.Dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhu berkata, berkata Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :
“Wajib bagi seorang Muslim untuk taat dalam hal-hal yang dia sukai ataupun yang ia benci kecuali kalau diperintah untuk berbuat maksiat maka tidak boleh mendengar dan taat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
 ﻗَﺎﻝَ : ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﷲِ : ١٤ -ﻋَﻦْ ﻋَﻮْﻑِ ﺑْﻦِ ﻣَﺎﻟِﻚِ ﺃﹶﻻَﻣَﻦْ ﻭَﻟِﻲَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺍﻝٍ، ﻓَﺮَﺁﻩُ ﻳَﺄﹾﺗِﻲ ﺷَﻴْـﺌًﺎ ﻣِﻦْ ﻣَﻌْﺼِﻴَﺔِ ﺍﷲِ، ﻓَﻠْـﻴَﻜْﺮَﻩ ﺍﻟّﺬِﻱ ﻳَﺄﹾﺗِﻲ ﻣِﻦْ ﻣَﻌْﺼِﻴَﺔِ ﺍﷲِ، ﻭَﻻَ ﻳَﻨْﺰِﻉَ ﻳَﺪًﺍ ﻣِﻦْ ﻃَﺎﻋَﺔٍ ﴿ ﺣﺪﻳﺚ ﺻﺤﻴﺢ ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺤﻪ ﴾
14.Dari Auf bin Malik radliyallahu 'anhu berkata, berkata Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :
“Ketahuilah, barangsiapa yang di bawah seorang wali/pemimpin dan ia melihat padanya ada kemaksiatan kepada Allah maka hendaklah ia membenci kemaksiatannya. Akan tetapi janganlah (hal ini menyebabkan) melepaskan ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya)

ﻗَﺎﻝَ :١٥ -ﻋَﻦْ ﺣُﺬَﻳْﻔَﺔَ ﺑْﻦِ ﺍﻟْـﻴَﻤَﺎﻥِ ﻳَﻜُﻮْﻥُ ﺑَﻌْﺪِﻱ ﺃﹶﻋِﻤّﺔٌ، ﻻَ ﻳَﻬْـﺘَﺪُﻭْﻥَ ﺑِﻬُﺪَﻳّﻲﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﷲِ : ﻭَﻻَ ﻳَﺴْـﺘَﻨُّﻮْﻥَ ﺑِﺴُﻨّﺘِﻲ ﻭَﺳَﻴَﻘُﻮﻡُ ﻓِﻴْﻜُﻢْ ﺭِﺟَﺎﻝٌ ﻗُﻠُﻮﺑُﻬُﻢْ ﻗُﻠُﻮﺏُ ﺍﻟﺸّـﻴَﺎﻃِﻴْﻦَ ﻓِﻲ ﺟِﺜْﻤَﺎﻥِ ﺇِﻧْﺲٍ، ﻗُﻠْﺖُ : ﻛَﻴْﻒَ ﺃﹶﺻْـﻨَﻊُ ﺇِﻥْ ﺃﹶﺩْﺭَﻛْﺖُ ﺫَﻟِﻚَ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﺗَﺴْﻤَﻊُ ﻭَﺗُﻄِﻊُ ﻟِﻸَﻣِﻴْﺮِ، ﻭَﺇِﻥْ ﺿَﺮَﺏَ ﻇَﻬْﺮَﻙَ ﻭَﺃﹶﺧَﺬَ ﻣَﺎﻟَﻚَ ﴿ ﺣﺪﻳﺚ ﺻﺤﻴﺢ ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺤﻪ ﴾
15.Dari Hudzaifah Ibnul Yaman radliyallahu 'anhu berkata, bersabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :“Akan datang sesudahku para pemimpin, mereka tidak mengambil petunjukku dan juga tidak melaksanakan sunnahku. Dan kelak akan ada para pemimpin yang hatinya seperti hati syaithan dalam jasad manusia.” Maka aku berkata : “Ya Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku mendapati hal ini?” Berkata beliau : “Hendaklah engkau mendengar dan taat pada amirmu walaupun dia memukul punggungmu dan merampas hartamu.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya)
١٦ -ﻋَﻦْ ﺇِﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﻣَﻦْ ﺣَﻤِﻞَ ﻋَﻠَﻴْـﻨَﺎ ﺍﻟﺴِّﻼَﺡَ ﻓَﻠَﻴْﺲَ ﻣِﻨّﺎ ﴿ﻗَﺎﻝَ : ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﷲِ : ﺣﺪﻳﺚ ﺃﺧﺮﺟﻪ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺸﻴﺨﺎﻥ ﴾
16.Dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhu berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :
“Barangsiapa yang mengacungkan senjata kepada kami maka dia bukan golongan kami.” (Hadits shahih riwayat Bukhari-Muslim)

ﻗَﺎﻝَ :١٧ -ﻋَﻦْ ﺍﻟْﻌِﺮْﺑﹷﺎﺽِ ﺑْﻦِ ﺳَﺎﺭِﻳَﺔ ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﺍِﺗّﻘُﻮﺍ ﺍﷲﹶ، ﻭَﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺑِﺎﻟﺴّﻤْﻊِﺧَﻄَﺒَﻨَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﷲِ ﻭَﺍﻟﻄّﺎﻋَﺔِ، ﻭَﺇِﻥْ ﻋَﺒْﺪًﺍ ﺣَﺒَﺸِﻴًﺎ، ﻭَﺇِﻧّﻪُ ﻣَﻦْ ﻳَﻌِﺶْ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻓَﺴَﻴَﺮَ ﺇِﺧْﺘِﻼَﻓًﺎ ﻛَﺜِﻴْﺮًﺍ، ﻓَﻌَﻠَـﻴْﻜُﻢْ ﺑِﺴُﻨّﺘِﻲ ﻭَﺳُﻨّﺔِ ﺍﻟْﺨُﻠَﻔَﺎﺀِ ﺍﻟﺮّﺍﺷِﺪِﻳْﻦَ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِﻱ ﴿ ﺣﺪﻳﺚ ﺻﺤﻴﺢ ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﻭﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻭﺍﻟﺪﺍﺭﻣﻲ ﴾
17.Dari Irbadh bin Sariyah radliyallahu 'anhu berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pernah berkhutbah kepada kami, beliau berkata :
“Bertakwalah kalian kepada Allah, wajib bagi kalian untuk mendengar dan taat walaupun pemimpin kalian adalah budak dari Habasyah. Dan sesungguhnya barangsiapa yang hidup panjang di antara kalian akan melihat perselisihan yang sangat banyak maka wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khalifah yang lurus dan terbimbing sesudahku.” (Hadits shahih riwayat Abu Dawud, At Tirmidzi, dan Ad Darimi)
ﻗَﺎﻝَ : ﻗَﺎﻝَ١٨ -ﻋَﻦْ ﻋُﺒَﺎﺩَﺓَ ﺑْﻦِ ﺍﻟﺼّﺎﻣِﺖِ ﻣَﻦْ ﻋَﺒَﺪَ ﺍﷲﹶ ﻻَ ﻳُﺸْﺮِﻙُ ﺑِﻪِ ﺷَﻴْـﺌًﺎ، ﻭَﺃﹶﻗَﺎﻡَ ﺍﻟﺼّﻼَﺓَ،ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﷲِ : ﻭَﺁﺗَﻰ ﺍﻟﺰّﻛَﺎﺓَ، ﻭَﺳَﻤِﻊَ ﻭَﺃﹶﻃَﺎﻉَ، ﺩَﺧَﻞَ ﺍﻟْﺠَﻨّﺔَ ﻣِﻦْ ﺃﹶﻱِّ ﺍْﻷَﺑْﻮَﺍﺏِ ﺍﻟﺜّﻤَﺎﻧِﻴَﺔِ ﺷَﺎﺀَ ﴿ ﺣﺪﻳﺚ ﺻﺤﻴﺢ ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺣﻤﺪ ﻭﺍﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻋﺎﺻﻢ ﻭﺍﻟﻄﺒﺮﺍﻧﻲ ﴾
18.Dari Ubadah bin Shamit radliyallahu 'anhu berkata, bersabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, menegakkan shalat, menunaikan zakat, mendengar dan taat (kepada amirnya, pent.) maka akan masuk Surga dari pintu mana saja yang ia inginkan dari delapan pintu Surga.” (Hadits shahih riwayat Ahmad dan Ibnu Abi Ashim dan At Tabrani. Dan dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memerintahkan untuk mendengar dan taat itu terhadap penguasa yang jahat sebagaimana terhadap pemerintah yang baik. Hadits-hadits yang telah lalu menerangkan bagaimana sikap kita terhadap penguasa yang dikenal kejelekannya. Mereka tidak melaksanakan petunjuk Rasul Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan juga tidak mengamalkan sunnah-sunnah Rasul dan ini adalah permasalahan yang jelas. Dan ada juga beberapa riwayat yang menguatkan hal ini :
ﻗَﺎﻝَ : ﻗُﻠْﻦَ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﷲِ، ﻻَ١٩ -ﻋَﻦْ ﻋَﺪِﻱ ﺑْﻦِ ﺣَﺎﺗِﻢِ ﻧَﺴْﺄﹶﻟُﻚَ ﻋَﻦْ ﻃَﺎﻋَﺔٍ ﺍﻟﺘّﻘَﻲ ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻣَﻦْ ﻓَﻌَﻞَ ﻭَﻓَﻌَﻞَ) ﻭَﺫَﻛَﺮَ ﺍﻟﺸَﺮّ(؟ ﺍِﺗّﻘُﻮﺍ ﺍﷲﹶ، ﻭَﺍﺳْﻤَﻌُﻮﺍ، ﻭَﺃﹶﻃِﻴْﻌُﻮْﺍ ﴿ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﺃﺑﻲﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﷲِ: ﻋﺎﺻﻢ ﻭﺻﺤﺤﻪ ﺍﻷﻟﺒﺎﻧﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﻈﻼﻝ ﴾
19.Dari Adi bin Hatim radliyallahu 'anhu berkata, kami berkata :
“Ya Rasulullah, kami tidak bertanya padamu tentang sikap terhadap penguasa-penguasa yang bertakwa/baik. Akan tetapi penguasa yang melakukan ini dan itu (disebutkan kejelekan¬kejelekan).” Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Bertakwalah kalian kepada Allah, mendengar dan taatlah kalian.” (HR. Ibnu Abi Ashim dan dishahihkan Al Albani dalam Adz Dzilal)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam melarang untuk mengatur urusan umat secara sirr (sembunyi-sembunyi) pada perkara-perkara yang merupakan hak penguasa.

ﻗَﺎﻝَ : ﺟَﺎﺀَ ﺭَﺟُﻞٌ٢٠ -ﻋَﻦْ ﺍِﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﺃﹶﻭْﺻِﻨِﻲ. ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﺍِﺳْﻤَﻊْ ﻭَﺃﹶﻃِﻊْ، ﻋَﻠَﻴْﻚَﺇِﻟَﻰ ﺭَﺳُﻮْﻝِ ﺍﷲِ ﺑِﺎﻟْﻌَﻼَﻧِﻴَﺔِ ﻭَﺇِﻳّﺎﻙَ ﻭَﺍﻟﺴِﺮِّ ﴿ ﺣﺪﻳﺚ ﺻﺤﻴﺢ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻋﺎﺻﻢ ﻭﺻﺤﺤﻪ ﺍﻷﻟﺒﺎﻧﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﻈﻼﻝ ﴾
20.Dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhu berkata, datang seorang laki-¬laki kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan berkata : “Berilah aku nasihat!” Maka beliau bersabda : “Mendengar dan taatlah kalian. Hendaklah kalian terang-terangan dan jauhilah oleh kalian mengatur urusan umat secara sirr (karena ini adalah tugas penguasa, ¬pent.).” (HR. Ibnu Abi Ashim dan dishahihkan Al Albani dalam Adz Dzilal). Dan Rasul juga menjelaskan bahwa memberontak kepada penguasa itu tidak boleh kecuali dalam dua keadaan, yaitu jika telah melakukan kekufuran yang nyata atau mereka melarang melakukan shalat.

ﻗَﺎﻝَ : ﺑَﺎﻳَﻌْـﻨَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝَ٢١ -ﻋَﻦْ ﻋُﺒَﺎﺩَﺓَ ﺑْﻦِ ﺍﻟﺼّﺎﻣِﺖِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺴّﻤْﻊِ ﻭَﺍﻟﻄّﺎﻋَﺔِ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴِّﺮِّ ﻭَﺍْﻷَﺛَﺮَﺓِ، ﻭَﺃﹶﻥْ ﻻَ ﻧَﻨْﺰِﻉَﺍﷲ ﺍْﻷَﻣْﺮَ ﺃﹶﻫْـﻠَﻪُ، ﺇِﻻَّ ﺃﹶﻥْ ﻧَﺮَﻯ ﻛُﻔْﺮًﺍ ﺑَﻮَﺍﺣًﺎ ﻋِﻨْﺪَﻧَﺎ ﻓِﻴْﻪِ ﻣِﻦَ ﺍﷲِ ﺑُﺮْﻫَﺎﻥٌ ﴿ ﺣﺪﻳﺚ ﺻﺤﻴﺢ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺸﻴﺨﺎﻥ ﴾
21.Dari Ubadah bin Shamit radliyallahu 'anhu berkata :
“Kami membaiat Rasul untuk mendengar dan taat dalam sirr maupun terang-terangan, untuk menunaikan hak penguasa, baik dalam keadaan sulit maupun lapang serta ketika mereka mementingkan pribadi mereka. Dan tidak memberontak kepada penguasa. Kecuali ketika kita melihat kekufuran yang nyata dan ada bukti di sisi Allah.” (HR. Bukhari-Muslim)

٢٢ -ﻋَﻦْ ﺃﹸﻡِّ ﺳَﻴَﻜُﻮْﻥُ ﺑَﻌْﺪِﻱ ﺃﹸﻣَﺮَﺍﺀُ، ﻗَﺎﻟَﺖْ : ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﷲِ : ﺳَﻠَﻤَﺔَ ﻓَﺘَﻌْﺮِﻓُﻮْﻥَ ﻭَﺗُﻨْﻜِﺮُﻭﻥَ، ﻓَﻤَﻦْ ﺃﹶﻧْﻜَﺮَ ﻓَﻘَﺪْ ﺑَﺮَﺉَ، ﻭَﻣَﻦْ ﻛَﺮِﻩَ ﻓَﻘَﺪْ ﺳَﻠِﻢَ، ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻣَﻦْ ﺭَﺿِﻲَ ﻭَﺗَﺎﺑَﻊَ، ﻗَﺎﻟُﻮﺍ : ﺃﹶﻓَﻼَ ﻧُﻨَﺎﺑِﺬُﻫُﻢْ ﺑِﺎﻟﺴّﻴْﻒَ؟ ﻗَﺎﻝَ ﻻَ، ﻣَﺎ ﺃﹶﻗَﺎﻡَ ﻓِﻴْﻜُﻢُ ﺍﻟﺼّﻼَﺓَ ﴿ ﺣﺪﻳﺚ ﺻﺤﻴﺢ ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺤﻪ ﴾
22.Dari Ummu Salamah radliyallahu 'anha berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :
“Akan terjadi sesudahku para penguasa yang kalian mengenalinya dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkarinya maka sungguh ia telah berlepas diri. Akan tetapi siapa saja yang ridha dan terus mengikutinya (dialah yang berdosa, pent.).” Maka para shahabat berkata : “Apakah tidak kita perangi saja mereka dengan pedang?” Beliau menjawab : “Jangan, selama mereka menegakkan shalat bersama kalian.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya)

(Dikutip dari buku terjemah berjudul Hukum Memberontak Kepada Penguasa Muslim Menurut Akidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah, judul asli Aqidah Ahlusunnah wal Jama'ah fil Bai'ah wal Imamah, penulis Syaikh Fawaz bin Yahya Al Ghuslan, Penerjemah: Al Ustadz Abdurrahman Mubarak Ata. Ma'had Riyadlul Jannah: Kp. Cikalagan RT 10/02 Telp. (021) 82495739 Cileungsi-Bogor-Indonesia)
sumber: www.salafy.or.id

Keutamaan Bulan Ramadhan

Keistimewaan Bulan Ramadhan, Keutamaan dan Manfaat Puasa
Senin, 24 Agustus 2009 - 07:58:38 :: kategori Aqidah
Penulis: Redaksi assalafy.org
.: :.
KEISTIMEWAAN BULAN RAMADHAN
KEUTAMAAN DAN MANFAAT PUASA

Segala puji bagi Allah ta’ala Dzat yang telah memberikan anugerah, taufiq dan kenikmatan. Dia-lah yang telah mensyari’atkan kepada hamba-Nya pada bulan Ramadhan untuk melaksanakan ibadah puasa dan menegakkan pada malam harinya ibadah shalat malam (shalat tarawih). Syari’at ini satu kali dalam tiap tahunnya. Allah ta’ala telah menjadikan syariat puasa tersebut sebagai salah satu rukun Islam dan pondasinya yang agung serta menjadikannya sebagai pembersih jiwa dari kotoran dosa-dosa.

Shalawat serta salam tak lupa kita sampaikan kepada Nabi Muhammad yang Allah ta’ala telah memilihnya (di antara hamba-hamba-Nya) untuk menjelaskan hukum-hukum Allah dan menyampaikan syariat Allah Ta’ala kepada manusia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah seorang yang paling baik dalam hal puasa dan shalat malamnya. Dan memang beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah seorang yang dapat menyempurnakan peribadahan kepada Allah serta beristiqamah di atasnya. Shalawat serta salam tak lupa kita sampaikan pula kepada keluarganya dan para sahabatnya yang mulia serta kepada segenap pengikutnya yang mengikuti jejak langkah beliau dengan baik. Amma ba’du.

Sesungguhnya Allah ta’ala telah mewajibkan syariat puasa kepada setiap umat walaupun di sana terdapat perbedaan dalam hal bentuk pelaksanaan dan waktunya. Allah ta’ala berfirman

( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ )

Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan berpuasa atas kalian sebagaimana telah diwajibkan atas umat-umat sebelum kalian agar kalian bertakwa. (Al Baqarah: 183)

Pada tahun kedua hijriyyah, Allah ta’ala mewajibkan kepada umat ini puasa Ramadhan yang diwajibkan kepada setiap muslim yang baligh. Jika seseorang berada pada kondisi sehat dan mukim (tidak dalam keadaan safar), maka wajib baginya melaksanakan puasa tersebut. Jika seseorang sedang dalam keadaan mukim namun sakit (boleh baginya untuk tidak berpuasa) wajib atasnya untuk mengganti hari-hari puasa yang dia tinggalkan. Demikian pula dengan keadaan seorang wanita yang sedang dalam keadaan haid dan nifas, wajib baginya untuk mengganti hari-hari puasa yang dia tinggalkan. Dan kalau seseorang tersebut dalam kondisi sehat dan sedang melakukan perjalanan (safar), maka dia mendapatkan keringanan antara tetap berpuasa atau tidak berpuasa dengan menggantinya pada hari yang lain.

Allah subhanahu wata’ala telah memerintahkan untuk berpuasa selama satu bulan penuh mulai dari awal sampai akhir bulan. Dan Allah Ta’ala telah memberikan batasan awal mulainya puasa dengan batasan yang jelas yang tidak tersamarkan oleh seorangpun yaitu dengan ru’yatul hilal (melihat hilal) atau menyempurnakan jumlah hari pada bulan Sya’ban menjadi 30 hari, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ، وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan janganlah kalian beridul fithri sampai kalian melihat hilal. Maka jika langit terlihat mendung sehingga hilal tidak nampak maka tentukanlah..(Muttafqun ‘Alaihi).

Sebagaimana Allah ta’ala telah memberikan batasan hari dimulainya awal puasa dengan batasan yang jelas, Allah ta’ala juga telah menjadikan batasan yang jelas kapan saat dimulainya berpuasa yaitu sejak terbitnya fajar yang kedua, dan memberikan batasan akhir puasa (berbuka) adalah dengan terbenamnya matahari. Sebagaimana firman Allah ta’ala

( وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ )

Makan dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian perbedaan antara benang putih dan benang yang hitam, yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam.(Al Baqarah: 187)

Dengan bentuk dan waktu pelaksanaan seperti ini Allah ta’ala telah menetapkan kewajibannya secara pasti dalam firman-Nya

( فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ )

Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan (hadir di negerinya) bulan Ramadhan maka wajib atas untuk berpuasa. (Al Baqarah: 185)

Puasa merupakan salah satu rukun dari rukun-rukun Islam. Maka barangsiapa yang menentang dan mengingkari kewajibannya maka sungguh dia telah keluar dari agama Islam (kafir) dan wajib atasnya untuk dimintai taubat. Jika dia mau bertaubat maka diterima kembali keislamannya, dan jika dia tidak mau bertaubat maka dia dibunuh sebagai hukuman atas kekafirannya.

Barangsiapa yang meyakini kewajiban puasa dan dia sengaja berbuka dengan tanpa ‘udzur (alasan) yang syar’i (dibenarkan oleh syari’at) maka sungguh dia telah melakukan salah satu bentuk dosa besar yang dia berhak untuk mendapatkan celaan dan hukuman.

Inilah wahai para pembaca sekalian, Allah ta’ala telah memberikan keistimewaan pada bulan Ramadhan ini dengan keistimewaan yang banyak dibandingkan dengan bulan-bulan yang lainnya. Dan Allah ta’ala juga mengkhususkan ibadah puasa merupakan bentuk ketaatan yang memiliki keutamaan yang sangat banyak, faidah-faidah yang bermanfaat, dan adab-adab yang mulia.

Keistimewaan Bulan Ramadhan

Dan termasuk dari keistimewaan-keistimewaan bulan Ramadhan adalah sebagai berikut:

1. Pada bulan tersebut diwajibkannya puasa Ramadhan. Puasa Ramadhan merupakan rukun keempat dari rukun-rukun Islam dan merupakan pondasi Islam yang agung, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَن لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولَ الله، وَإِقامِ الصَّلاةِ، وَإيتَاءِ الزَّكاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ البَيْتِ الحَرَامِ

Islam dibangun di atas 5 pondasi (rukun) : Persaksian bahwasanya tidak ada Ilah yang berhak diibadahi kecuali hanya Allah dan bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan melaksanakan haji ke Baitullah.(Muttafaqun ‘Alaihi)

Hal ini termasuk dari perkara agama yang telah diketahui secara umum dan telah disepakati oleh kaum muslimin seluruhnya bahwasanya ibadah puasa termasuk dari ibadah yang wajib dari kewajiban-kewajiban yang Allah ta’ala tetapkan kepada setiap muslim.

2. Kewajiban melaksanakan ibadah puasa Ramadhan atas umat ini bersifat fardhu ‘ain, yaitu wajib bagi setiap individu muslim untuk melaksanakannya. Berdasarkan firman Allah ta’ala:

( فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ )

Maka barangsiapa diantara kalian menyaksikan (hadir di negerinya) bulan Ramadhan maka wajib baginya untuk berpuasa. (Al Baqarah: 185)

3. Pada bulan tersebut diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan (kesesatan) kepada cahaya (petunjuk), menunjuki manusia kepada jalan kebenaran dan bimbingan yang mulia, serta akan menjauhkan manusia dari jalan yang menyimpang dan penuh kesesatan. Dengan Al Qur’an tersebut juga akan memberikan bashirah (ilmu) pada perkara-perkara agama dan dunia mereka dengan jaminan mereka akan mendapatkan kebahagiaan dan kemenangan, baik yang disegerakan di dunia ataupun baru diberikan ketika di akhirat kelak. Allah ta’ala berfirman

( شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ )

Bulan Ramadhan yang telah diturunkan di dalamnya Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan sebagai penjelas dari petunjuk dan pembeda. (Al Baqarah: 185)

4. Pada bulan tersebut dibuka pintu-pintu Al Jannah karena banyaknya amalan-amalan shalih yang disyariatkan pada bulan Ramadhan yang akan memasukkan pelakunya ke dalam Al Jannah. Dan pada bulan tersebut ditutup pintu-pintu An Naar karena sedikitnya orang yang berbuat maksiat dan dosa-dosa yang akan memasukkan pelakunya ke dalam An Naar.

5. Pada bulan tersebut para setan dibelenggu dan diikat sehingga kekuatannya menjadi lemah untuk bisa menyesatkan orang-orang yang taat dan memalingkan mereka dari amalan yang shalih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ

Jika telah datang bulan Ramadhan dibukalah pintu-pintu Al Jannah dan ditutuplah pintu-pintu An Naar dan para setan dibelenggu. (HR. Bukhari, Muslim, An Nasa’i).

6. Pada bulan tersebut Allah ta’ala memiliki hamba-hamba yang akan dibebaskan dari An-Naar. berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

إِنَّ لِلَّهِ تبارك وتعالى عِنْدَ كُلِّ فِطْرٍ عُتَقَاءَ مِنَ النَّارِ وَذَلِكَ في كُلِّ لَيْلَةٍ

Sesungguhnya Allah tabaraka wata’ala setiap kali saat berbuka memiliki hamba-hamba yang berhak untuk dibebaskan dari An Naar, yang demikian itu terjadi pada setiap malam. (HR. Ibnu Majah, Ahmad, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani).

7. Pada bulan tersebut Allah Ta’ala melimpahkan ampunan kepada orang-orang yang melaksanakan puasa Ramadhan atas dasar keimanan yang jujur dan mengharapkan pahala di sisi Allah ta’ala berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan atas dasar keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah Ta’ala maka dia akan diampuni dari dosa-dosanya yang telah lalu. (Muttafaqun ‘Alaihi).

8. Pada bulan tersebut disunnahkan untuk melaksanakan ibadah shalat tarawih dalam rangka mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa yang menegakkan shalat malam (tarawih) pada bulan Ramadhan atas dasar keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah Ta’ala maka dia akan diampuni dari dosa-dosanya yang telah lalu. (Muttafaqun ‘Alaihi).

9. Pada bulan tersebut terdapat satu malam yang lebih baik dari 1000 bulan dan barangsiapa yang dia menghidupkan malam tersebut maka dia akan mendapatkan ampunan dari Allah ta’ala, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

إنَّ هَذاَ الشَّهْرَ قَدْ حَضَرَكُمْ وَفِيهِ لَيْلَة خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَهَا فَقَدْ حُرِمَ الخَيْرَ كُلَّهُ وَلاَ يُحْرَمُ خَيْرُهَا إِلا مَحْرُومٌ

Sesungguhnya bulan (Ramadhan) ini telah datang kepada kalian, di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1000 bulan. Barangsiapa yang diharamkan dari mendapatkan malam tersebut maka sungguh dia telah diharamkan dari kebaikan seluruhnya, dan tidaklah diharamkan dari mendapatkan kebaikan malam tersebut kecuali mereka yang memang orang yang diharamkan untuk mendapatkannya.(HR. Ibnu Majah, Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: hasan shahih).

Dan juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa yang menghidupkan malam Lailatul Qadr atas dasar keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah Ta’ala maka dia akan diampuni dari dosa-dosanya yang telah lalu.(Muttafaqun ‘Alaihi)

10. Bahwasanya ibadah puasa Ramadhan yang dilakukan pada tahun ini dan tahun sebelumnya akan menghapuskan dosa-dosa kecil yang dilakukan di antara keduanya dengan syarat dia harus menjauhi dosa-dosa besar, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ ما بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ

Shalat-shalat yang lima waktu, shalat Jum’at yang satu ke Jum’at yang berikutnya, dan puasa Ramadhan yang satu ke Ramadhan berikutnya akan menghapuskan dosa-dosa kecil di antara keduanya jika ia meninggalkan dosa-dosa besar. (HR. Muslim, Ahmad).

Lebih dari itu, yang menunjukkan keistimewaan bulan Ramadhan, bahwasanya pada bulan tersebut pernah terjadi beberapa peristiwa penting :

Seperti perang Badr Kubra yang dengannya terbedakan antara Al-Haq dengan Al-Bathil. Pada perang tersebut Allah ta’ala menolong Islam dan kaum muslimin serta menghancurkan kesyirikan dan kaum musyrikin. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun kedua Hijriyyah.

Demikian pula pada bulan Ramadhan terjadi Fathu Makkah dan ketika itu manusia masuk ke dalam Islam secara berbondong-bondong, dihancurkannya kesyirikan dan patung-patung berhala dengan keutamaan dari Allah Ta’ala. Maka sejak saat itulah kota Makkah menjadi negeri kaum muslimin setelah sebelumnya menjadi sarang kesyirikan dan kaum musyrikin. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun kedelapan Hijriyyah.

Demikian pula pada bulan Ramadhan tahun 584 Hijriyyah, Allah ta’ala memberikan pertolongan-Nya kepada kaum muslimin di medan pertempuran Hithin dan berhasil mengalahkan kaum salibis (Nasrani) pada pertempuran tersebut, sehingga Baitul Maqdis kembali ke pangkuan kaum muslimin.

Dan juga pada bulan Ramadhan tahun 658 Hijriyah, Allah Ta’ala memberikan pertolongan kepada kaum muslimin untuk mengalahkan sejumlah besar pasukan Tartar.

Inilah gambaran secara umum dari keistimewaan bulan Ramadhan dan keutamaan-keutamaannya yang banyak serta barakahnya yang melimpah. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Keutamaan-keutamaan Puasa

Adapun keutamaan puasa banyak sekali, di antaranya adalah:

1. Dilipatgandakannya kebaikan (pahala) suatu amalan padanya dengan tanpa batas pada jumlah/bilangan tertentu. Sementara amalan-amalan yang lain dilipatgandakan pahalanya oleh Allah ta’ala hanya sebanyak 10 sampai 700 kali lipat. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ بعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى مَا شَاءَ اللهُ يقُولَ اللَّهُ تَعَالَى: إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ وَشَرَابَهُ مِنْ أَجْلِى، لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ، وَلَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ عِنْدَ اللهِ أَطْيَبُ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

Setiap amalan anak Adam dilipatgandakan pahalanya sebanyak 10 sampai 700 kali lipat sampai pada yang dikehendaki oleh Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman : “Kecuali puasa, maka sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya. Dia (hamba) meninggalkan syahwat, makan, dan minumnya karena Aku.” Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan: gembira ketika berbuka dan gembira ketika bertemu dengan Rabbnya. Dan sungguh bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah adalah lebih harum dari semerbak minyak wangi misik. (HR. Ibnu Majah, dishahihkan Asy Syaikh Al-Albani).

Maka jelaslah dari hadits ini bahwasanya Allah mengkhususkan puasa untuk diri-Nya daripada amalan-amalan yang lain. Dan Allah mengkhususkan amalan puasa tersebut dengan dilipatgandakannya pahala suatu amalan -sebagaimana yang telah lalu-, dan bahwasanya keikhlasan dalam puasa adalah jauh lebih mendalam nilainya dibanding amalan-amalan yang lain, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

تَرَكَ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ وَشَرَابَهُ مِنْ أَجْلِى

Dia meninggalkan syahwat, makan, dan minumnya karena Aku (Allah).

Sebagaimana pula Allah subhanahu wata’ala memberikan balasan berikutnya bagi orang yang berpuasa dengan kegembiraan di dunia dan akhirat yaitu kegembiraan yang terpuji dikarenakan dia telah melaksanakan ketaatan kepada Allah ta’ala, sebagaimana yang telah diisyaratkan dalam ayat-Nya

( قُلْ بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ )

Katakanlah dengan keutamaan Allah dan rahmat-Nya maka dengan itu bergembiralah kalian. (Yunus: 58)

Sebagaimana diambil pula faidah bahwa suatu ketaatan yang bisa menimbulkan pengaruh tertentu, maka itu menunjukkan sesuatu yang dicintai oleh Allah ta’ala, sebagai misal adalah apa yang didapatkan dari orang yang berpuasa dari bau mulutnya yang berubah dengan sebab puasa.

2. Di antara keutamaan puasa adalah bahwasanya puasa akan memberikan syafa’at kepada seorang hamba pada hari kiamat dan akan menutupinya dari dosa-dosa dan syahwat yang membahayakan serta akan menjaganya dari An-Naar, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ الصِّيَامُ: أَي رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَة فَشَفِّعْنِى فِيهِ. وَيَقُولُ الْقُرْآنُ: مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِى فِيهِ. قَالَ فَيُشَفَّعَانِ

Puasa dan Al Qur’an keduanya akan memberikan syafa’at kepada seorang hamba pada hari kiamat, Puasa berkata :: Wahai Rabbku aku telah menahannya dari makanan dan syahwat, maka berilah syafa’at kepadanya. Al Qur’an juga berkata : Aku telah menahannya dari tidur pada malam hari maka berilah syafa’at kepadanya. Maka keduanya diberi izin oleh Allah untuk memberikan syafaat.(HR. Ahmad, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani).

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda

الصِّيَامُ جُنَّةٌ، وَحِصْنٌ حَصِينٌ مِنَ النَّارِ

Puasa adalah sebagai tameng dan akan membentengi pelakunya dari An Naar. (HR. Ahmad, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani).

3. Dan di antara keutamaan puasa adalah bahwasanya doa orang yang berpuasa itu dikabulkan oleh Allah ta’ala, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

وَإِنَّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ دَعْوَةً مُسْتَجَابَةً

Dan sesungguhnya bagi setiap muslim pada setiap siang dan malam memiliki doa yang dikabulkan oleh Allah ta’ala. (HR. Ahmad, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani).

Dan telah disebutkan pada pertengahan ayat-ayat puasa (yakni Al Baqarah ayat 183 sampai 187) yang memberikan dorongan kepada orang yang berpuasa untuk memperbanyak doa dalam firman-Nya

( وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ )

Dan jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang-Ku maka katakanlah: sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan doa seseorang jika dia berdoa kepada-Ku. (Al Baqarah: 186)

4. Dan di antara keutamaan puasa adalah bahwasanya puasa akan menjauhkan pelakunya dari An Naar pada hari kiamat berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُومُ يَوْمًا فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ بَاعَدَ اللَّهُ بِذَلِكَ الْيَوْمِ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا

Tidaklah seorang hamba yang berpuasa satu hari di jalan Allah kecuali dengan (puasa) hari tersebut Allah akan jauhkan wajahnya dari An Naar sejauh perjalanan selama 70 musim.(HR. Muslim, An Nasa’i, Ad Darimi).

5. Dan di antara keutamaan puasa adalah dikhususkannya bagi orang yang berpuasa dengan salah satu pintu dari pintu-pintu Al Jannah yang mereka akan masuk ke dalamnya tanpa selain mereka, sebagai bentuk pemuliaan dan sebagai balasan atas ibadah puasa yang mereka lakukan. Berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam

إِنَّ فِى الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ ؟ فَيَقُومُونَ، فَيَدْخُلُونَ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ، فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ

Sesungguhnya di Al Jannah ada sebuah pintu yang dinamakan dengan Ar Rayyan, orang-orang yang berpuasa masuk melalui pintu tersebut pada hari kiamat, yang tidak akan masuk ke dalamnya selain orang-orang yang berpuasa. Maka kemudian dikatakan : mana orang-orang yang berpuasa? maka bangkitlah orang-orang yang berpuasa dan merekapun memasukinya. Dan jika mereka telah masuk ke dalamnya, ditutuplah pintu tersebut dan tidak ada lagi yang masuk ke dalamnya seorangpun. (Muttafaqun ‘Alaihi).

Manfaat Puasa

Adapun manfaat-manfaat puasa adalah sangat besar pengaruhnya dalam mensucikan jiwa dan mendidik akhlak serta memberikan kesehatan pada badan. Dan di antara manfaat puasa adalah melatih dan membiasakan jiwa untuk sabar, menahan dirinya untuk meninggalkan sesuatu yang biasa dilakukan, meninggalkan syahwat yang dia inginkan. Dengan puasa akan dapat menghentikan dan mengalahkan hawa nafsunya yang selalu menyeru kepada kejelekan.

Seorang yang berpuasa akan bisa menahan diri dari syahwatnya untuk membantu dia dalam mencari puncak kebahagiaan dan menerima sesuatu yang bisa membersihkan dirinya (berupa kebaikan) yang dengan itu akan menentukan dia di kehidupannya yang abadi nanti. Maka semakin sempitlah jalan-jalan setan dengan semakin sedikitnya porsi makan dan minum. Jiwanya akan diingatkan dengan keadaan orang-orang yang lapar dari kalangan orang orang miskin. meninggalkan sesuatu yang dia sukai dari hal-hal yang membatalkan puasa karena cintanya kepada Rabbul ‘Alamin. Dan inilah rahasia antara seorang hamba dan sesembahannya, itulah hakikat dari puasa dan tujuannya.

Dan di antara manfaat berpuasa adalah dapat membuat hati manusia menjadi luluh dan mudah untuk mengingat Allah, sehingga Allah akan memudahkan pula baginya untuk menempuh jalan-jalan ketaatan.

Dan di antara manfaat puasa adalah bahwa puasa akan menjadikan hati manusia untuk bertakwa kepada Allah dan dapat melemahkan syahwat yang ada pada dirinya. Allah ta’ala berfirman

( لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ )

Agar kamu menjadi orang-orang yang bertakwa. (Al Baqarah: 183)

Tujuan diwajibkannya berpuasa karena puasa merupakan sebab ketakwaan. Dengan puasa akan mempersempit ruang gerak syahwatnya dan bahkan bisa tersingkir dari dirinya. Manakala seseorang sedikit makannya, maka keinginan syahwatnya pun akan melemah, dan manakala keinginan syahwatnya lemah, maka akan kecil pula kecenderungannya untuk berbuat maksiat.

Dan di antara manfaat puasa dari tinjauan medis adalah bahwa dengan berpuasa dapat berpengaruh pada kesehatan tubuh manusia karena dengan berpuasa seseorang akan terlindungi tubuhnya dari berbagai macam zat yang terkandung dalam makanan yang bisa menyebabkan berbagai penyakit. Karena puasanya pula -dengan izin Allah- akan terjagalah kesehatan organ-organ luar dan organ-organ dalam tubuh sebagaimana hal ini telah diakui oleh para dokter.

sumber http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=361066
(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=341&print=1)

Ketika Hilal Tertutup Mendung

Ketika Ru’yatul Hilal Terhalangi oleh Mendung
Ahad, 31 Agustus 2008 - 08:05:37 :: kategori Fiqh
Penulis: Redaksi Ma'had As Salafy
.: :.
Telah diketahui bahwa jika hilal terhalangi oleh awan, kabut atau semisalnya setelah tenggelamnya matahari pada tanggal 29 dari bulan Sya’ban, maka digenapkanlah bilangan Sya’ban menjadi 30 hari. Dan pendapat yang paling benar adalah tidak bolehnya shiyam/puasa pada keesokan harinya.

Karena secara hukum asal dan yang yakin (pasti) adalah masih berlangsungnya bulan Sya’ban, sedangkan keluar dari bulan Sya’ban adalah perkara yang masih diragukan. Sementara kita tidak boleh meninggalkan sesuatu yang yakin kecuali dengan keyakinan yang semisalnya. Adapun sesuatu yang masih bersifat ragu (kemungkinan), tidak boleh didahulukan atas sesuatu yang bersifat yakin (pasti). ([1])

Pendapat ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :

…. وَلاَ تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ حَتَّى تَرَوهُ ثُمَّ صُومُوا حَتىَّ تَرَوهُ فَإِنْ حَالَ دُونَهُ غُمَامَةٌ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ ثُمَّ أَفْطِرُوا، وَالشَّهْرُ تِسْعٌ وَ عِشْرُونَ [رواه أبو داود و الترمذي والنسائي، قال الألباني : صحيح]

Artinya:

“… Jangan kalian mendahului (Shaum) Ramadhan sampai kalian melihat hilal kemudian bershaumlah sampai kalian melihat hilal (Syawwal- pen). Bila terhalangi oleh mendung maka sempurnakanlah bilangannya menjadi 30 hari kemudian berhari raya lah. Dan sebulan itu adalah 29 hari.” [HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Al-Albani berkata : hadits ini Shahih] ([2])

Dan juga berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,

…ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ. (رواه أبو داوود وصححه الألباني في صحيح سنن أبي داود)

Artinya :

“… kemudian beliau bershaum setelah melihat hilal Ramadhan. Jika hilal Ramadhan terhalangi oleh mendung (atau yang semisalnya) maka beliau menyempurnakan hitungan Sya’ban menjadi 30 hari kemudian bershaum (setelahnya) ([3])

Ini adalah pendapat Jumhur (mayoritas) ‘ulama, sebagaimana perkataan At-Tirmidzi rahimahullah: “sesungguhnya beramal dengan cara seperti ini (menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari) adalah amalan para Shahabat dan Tabi’i) .

Pendapat inilah yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam As-Syarhul Mumti’ (ketika membantah pendapat wajibnya ash-shaum dalam keadaan hilal terhalangi oleh mendung atau semisalnya) dan beliau berkata :

” Wajibnya Ash-shaum dalam keadaan seperti itu adalah dengan alasan ihtiyath (hati-hati) atau berdasarkan dugaan belaka bukan di atas suatu keyakinan dan kepastian, hanya dikarenakan adanya kemungkinan munculnya hilal, hanya saja tidak terlihat karena terhalang oleh mendung atau semisalnya.

Mereka juga berdalil dengan atsar Ibnu ‘Umar” :

فَكَانَ اِبْنُ عُمَرَ c إِذَا كَانَ شَعْبَانُ تِسْعًا وَعِشْرِينَ نَظَرَ لَهُ فَإِنْ رُئِيَ فَذَاكَ وَإِنْ لَمْ يُرَ وَلَمْ يَحُلْ دُوْنَ مَنْظَرِهِ سَحَابٌ وَلاَ قَتَرَةٍ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَإِنْ حَالَ دُوْنَ مَنْظَرِهِ سَحَابٌ أَوْ قَتَرَةُ أَصْبَحَ صَائِماً [رواه أبو داود وصححه الألباني]

Artinya :

“Dahulu Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma jika bulan Sya’ban sudah masuk hari ke-29 maka beliau berusaha melihat hilal. Bila tampak maka beliau shaum dan jika tidak terlihat dan tidak terhalangi oleh awan atau semisalnya maka beliau belum menjalankan shaum. Apabila tidak tampak dikarenakan terhalangi oleh awan atau semisalnya maka keesokan harinya beliau melakukan shaum.” ([4])

Kemudian beliau (Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah) menjawabnya dari beberapa sisi, sebagai berikut :

1. ¬¬Al Ihtiyath (berhati-hati) hanyalah dilakukan dalam perkara yang hukum asalnya wajib, adapun bila hukum asalnya tidak wajib, maka tidak berlaku sikap al-ihtiyath padanya. ([5])

2. Al-Imam Ahmad rahimahullah ([6]) dan selainnya menyatakan bahwa sesuatu yang berlandaskan sikap al-ihtiyath bukan hal yang bersifat lazim (wajib) hukumnya, tetapi dalam rangka wara’ atau sesuatu yang hukumnya bersifat mustahab. Sebab jika seseorang bershaum dalam rangka ber-ihtiyath dan mewajibkan dirinya untuk itu, justru telah keluar dari sikap al-ihtiyath itu sendiri, karena hal itu menjadikan orang yang tidak bershaum terkenai dosa. Seharusnya dengan sikap al-ihtiyath tersebut orang lain tidak terjatuh dalam dosa karena meninggalkannya.

Adapun riwayat Ibnu ‘Umar radiyallahu 'anhuma di atas tidak bisa dijadikan sebagai sandaran hujjah bagi mereka yang mewajibkan shaum pada hari ke-30 Sya’ban yang pada malam harinya terhalangi oleh mendung. Karena Ibnu ‘Umar melakukannya hanya dalam rangka menjalankan suatu perkara yang bersifat mustahab bukan wajib. Bila beliau melakukannya karena wajib, niscaya akan memerintahkan orang lain, dan ternyata keluarga beliau sendiri pun tidak beliau perintahkan untuk bershaum pada hari itu. ([7])

Footnote :
[1] Taudhiul Ahkam jilid 3 hal. 131-132.

[2] Lihat Shahih Sunan Abi Dawud : Kitabush Shiyam hadits no. 2327; dan Al-Irwa` jilid 4 hal. 5.

[3] HR. Abu Dawud : Kitabush Shiyam, no. 2322, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2325.

[4] HR. Abu Dawud : Kitabush Shiyam, no.2317. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Al-Irwa` no. 903. Lihat pula Shahih Sunan Abi Dawud no.2320.

[5] Maka hukum asal dalam hal ini adalah tidak adanya kewajiban ash-shaum kecuali telah terlihat al-hilal. Apabila al-hilal telah terlihat, baru berubah hukum asal tersebut : yang sebelumnya tidak wajib bershaum berubah menjadi wajib.

[6] Perhatian! : Telah dinisbahkan kepada Al-Imam Ahmad pendapat wajibnya shiyam pada tanggal 30 Sya’ban jika pada malamnya hilal terhalangi oleh mendung dan semisalnya. Hal ini telah dibantah, sebagaimana terdapat dalam Kitab Al-Mughni di mana Ibnu Qudamah menukilkan perkataan Al-Imam Ahmad : “Tidaklah wajib shiyam dan tidak pula masuk pada rangkaian Ibadah Shiyam Ramadhan jika seseorang shaum pada hari itu.” Syaikhul Islam v mengatakan : “Tidak boleh shaum di hari itu dan ini adalah madzhabnya Al-Imam Ahmad“. Dalam kitab Al-Furu‘ : “Saya tidak mendapati riwayat dari Al-Imam Ahmad bahwa beliau menyatakan wajibnya shiyam di hari itu dan tidak pula memerintahkannya.”

Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Asy-Syaikh juga mengatakan : “Tidak diragukan lagi, bahwa para ‘ulama dari kalangan Hanabilah dan selain mereka berpendapat tidak wajibnya shiyam di hari itu bahkan hukumnya makruh atau haram.“ (Lihat Taudhihul Ahkam Jilid 3 hal. 132-133).

Maka pendapat ini tidak boleh disandarkan kepada Al-Imam Ahmad rahimahullah.

[7] Lihat penjelasan Al-Imam Ibnul Qoyyim yang sangat berfaidah tentang masalah ini dalam kitab Zadul Ma’ad jilid 2 hal.74 dan penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Al-Irwa‘ jilid 4 hal. 10.

(Dikutip dari artikel berjudul "Hukum Ash-Shaum Pada Hari Ketika Ru’yatul Hilal Terhalangi Oleh Mendung Atau Semisalnya". Url sumber : http://www.assalafy.org/mahad/?p=224)

Seputar Hadits Puasa

Koreksi atas hadits terkait bulan Ramadhan (1)
Ahad, 31 Agustus 2008 - 09:23:40 :: kategori Fiqh
Penulis: Al-ustadz Abu 'Abdirrahman Luqman Jamal
.: :.
Bismillah...

Kami sering mendengar beberapa hadits yang disampaikan oleh penceramah di bulan Ramadhan diantaranya :
Satu : Hadits “Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, tengahnya adalah pengampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka”.
Kedua : Hadits “Berpuasalah niscaya kalian sehat”.
Ketiga : Hadits “Segala sesuatu ada zakatnya dan zakatnya tubuh adalah puasa”.
Keempat : Hadits “Apabila salah seorang dari kalian mendengar adzan dan bejana berada ditangannya, maka janganlah ia meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajatnya dari bejana tersebut”.
Kelima : Hadits “Siapa yang berbuka satu hari dalam ramadhan tanpa udzur maka dia tidak mampu menggantinya walaupun berpuasa sepanjang masa”.

Bagaimana sebenarnya kedudukan hadits tersebut, apakah shohih atau tidak. Jazakallahu khairan.

Jawab :
Mengetahui kedudukan sebuah hadits adalah perkara yang sangat penting khususnya di zaman seperti sekarang ini, dimana perhatian orang terhadap hal tersebut sangat rendah. Ditambah lagi dengan banyaknya hadits-hadits palsu dan lemah yang menyebar. Dan terkhusus di bulan yang mulia seperti bulan Ramadhan, seharusnya kemuliaan bulan tersebut dijaga dengan menyampaikan hadits-hadits yang shohih dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam baik dalam bidang Aqidah, Ahkam, Mu’amalah maupun Targhib Wat Tarhib, sebab dengan hal itulah syari’at ini akan terjaga dan ibadah kita juga terjaga.

Kami akan mencoba menjawab pertanyaan ini secara ringkas dan menyebutkan beberapa keterangan yang berkaitan dengan hadits-hadits yang ditanyakan, maka lima hadits di atas akan kami uraikan secara berurut dengan menyebutkan lafazh haditsnya :
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24)

1. Hadits Pertama
أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
“Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, tengahnya adalah pengampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka”.

Hadits ini datang dari dua jalan :
Jalan Pertama : Dari jalan ‘Ali bin Zaid bin Jud’an dari Sa’id bin Musayyab dari Salman Al-Farisy radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkhutbah kepada kami … lalu beliau sebutkan hadits yang panjang dan disebutkan di dalamnya :

وَهُوَ شَهْرُ أولهَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
“Dan ia adalah bulan yang awalnya adalah rahmat dan tengahnya adalah pengampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka”.

Dikeluarkan oleh Ibnu khuzaimah dalam Shohihnya 3/191 No.1887, Al-Mahamily dalam Amalinya no.293 dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman 3/305-306 no.3608.

Akan tetapi pada sanadnya terdapat dua cacat :
Pertama : Tidak diketahui apakah Sa’id bin Musayyab mendengar dari Salman atau tidak.
Kedua : ‘Ali bin Zaid bin Jud’an dho’if haditsnya.
Maka jalan pertama ini lemah.

Catatan :
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Haris bin Abi Usamah sebagaimana dalam Zawa’id Al-Haitsamy no.321 dan Al-Matholib Al-‘Aliyah karya Ibnu Hajar 3/221-222 no.1047, beliau berkata menceritakan kepada saya sebagian shahabatku (yaitu) seorang yang dikenal dengan nama Iyas, ia mengangkat hadits kepada Sa’id bin Musayyab … dan seterusnya sama dengan sanad di atas.

Saya berkata : Iyas ini adalah Iyas bin ‘Abdul Ghoffar dan ia sebenarnya juga meriwayatkan hadits di atas dari ‘Ali bin Zaid. Lihat : Syu’abul Iman 3/305.

Jalan Kedua : Dari jalan Sallam bin Sulaiman bin Sawwar dari Maslamah bin Ash-Sholt dari Az-Zuhry dari Abu Salamah dari Abu Hurairah beliau berkata Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
“Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, tengahnya adalah pengampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka”.

Diriwayatkan oleh Al-‘Uqaily dalam Adh-Dhu’afa` 2/162, Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fi Du’afa`i Ar-Rijal 3/1157 dan Al-Khatib dalam Mudhih Awham Al Jama’ Wat Tafriq 2/149. Dan pada sanadnya terdapat beberapa cacat :

Kesatu : Sallam bin Sulaiman bin Sawwar orang ini dho’if (lemah) bahkan Ibnu ‘Adi berkata mungkar haditsnya.
Kedua : Maslamah bin As-Sholt. Ibnu ‘Adi dan Adz-Dzahaby berkata laa yu’rof (tidak dikenal), bahkan Abu Hatim berkata : matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya).
Ketiga : Maslamah bersendirian meriwayatkan dari Az-Zuhry padahal Az-Zuhry seorang Imam besar yang mempunyai murid yang sangat banyak, maka hal ini menyebabkan riwayat Maslamah ini dianggap Mungkar.
Karena itu Syaikh Al-Albany menghukumi jalan ini sebagai jalan yang mungkar.

Lihat : Silsilah Ahadits Adh-Dho’ifah 4/70 no.1569.

Kesimpulan :
Hadits ini lemah dari seluruh jalan-jalannya.
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24&page_order=2)

2. Hadits Kedua

صُوْمُوْا تَصِحُّوْا
“Puasalah kalian niscaya kalian akan sehat”

Hadits dengan lafazh ini mempunyai beberapa jalan:

Kesatu : dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Daud dari Zuhair bin Muhammad Al-Khurasany dari Suhail bin Abi Sholeh dari Abu Hurairah, beliau berkata Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda:

اغْزُوْا تَغْنَمُوْا وَصُوْمُوْا تَصِحُّوْا وَسَافَرُوْا تَسْتَغْنَوْا
“Berperanglah kalian, niscaya kalian akan mendapatkan ghonimah (harta rampasan perang), puasalah kalian niscaya kalian sehat, safarlah kalian niscaya kalian berkecukupan”.

Dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Al-Ausath jilid 8 hal.174 no.8312 dan Abu Nu’aim dalam Ath-Thib -sebagaimana dalam Silsilah Ahadits Adh-Dho’ifah jilid 1 hal.420-.

Berkata Ath-Thobarany setelah menyebutkan hadits ini : “Tidak meriwayatkan hadits ini dengan lafazh ini kecuali Zuhair”.

Ini sebagai isyarat yang sangat halus dari Ath-Thobarany untuk menunjukkan adanya kelemahan pada hadits ini. Dan memang demikianlah adanya, Zuhair bin Muhammad walaupun ia seorang rawi yang tsiqoh (terpercaya) akan tetapi riwayat orang-orang dari negeri Syam darinya adalah riwayat yang lemah. Sementara hadits ini termasuk riwayat orang Syam darinya.

Dan ada jalan lain yang serupa dengan jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Daud, diriwayatkan oleh Al-‘Uqaily dalam Adh-Dhu’afa` jilid 1 hal.92 beliau berkata : “Menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad An-Nashiby beliau berkata menceritakan kepada kami Ishaq bin Zaid Al-Khoththoby beliau berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sulaim beliau berkata menceritakan kepada kami Zuhair bin Muhammad Abul Mundzir … dan seterusnya sama dengan jalan di atas, kemudian disebutkanlah haditsnya.

Berkata Al-‘Uqaily : “Tidak ada yang mendukungnya kecuali dari jalan yang lemah“.

Saya berkata : Ahmad bin Muhammad An-Nashiby, Ishaq bin Zaid Al-Khoththoby dan Muhammad bin Sulaim saya tidak bisa menentukan siapa mereka saat ini tapi perkataan Al-‘Uqaily di atas sudah cukup menunjukkan lemahnya hadits ini.

Karena itulah hadits dengan jalan Abu Hurairah dilemahkan oleh Al-Hafizh Al-‘Iraqy dalam Al-Mughny Fii Hamlil Asfar 3/75 sebagaimana dalam Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah jilid 1 hal.420.

Jalan kedua : Dari jalan Nahsyal bin Sa’id dari Adh-Dhahhak bin Muzahim dari Ibnu ‘Abbas beliau berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

سَافَرُوْا تَصِحُّوْا وَصُوْمُوْا تَصِحُّوْا وَاغْزَوْا تَغْنَمُوْا
“Safarlah kalian niscaya kalian sehat dan puasalah kalian niscaya kalian sehat dan berperanglah kalian niscaya kalian mendapatkan ghonimah”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fi Du’afa`i Ar-Rijal jilid 7 hal.2521.

Berkata Imam Ibnu ‘Adi setelah membawakan beberapa hadits lain dari jalan Nahsyal : “Hadits-hadits ini semuanya dari Adh-Dhahhak ghairu mahfuzhah (tidak terjaga) dan Nahsyal meriwayatkannya dari Adh-Dhahhak”.

Saya berkata : Apa yang dikatakan oleh Imam Ibnu ‘Adi adalah benar karena didalam jalan di atas terdapat dua cacat :
Satu : Nahsyal bin Sa’id adalah seorang rawi yang sangat lemah sekali haditsnya
Berkata An-Nasa`i : “Nahsyal dari Adh-Dhahhak Khurasany matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya)”.
Dua : Ada keterputusan dalam sanad.
Berkata Al-Albany dalam Silsilah Ahadits Ad-Dho’ifah jilid 1 hal.421 : “Adh-Dhahhak tidak mendengar dari Ibnu ‘Abbas”.
Lihat biogafinya dalam Tahdzib At-Tahdzib jilid 10 hal. 479.

Jalan ketiga : Dari jalan Husain bin ‘Abdillah bin Dhumairoh bin Abi Dhumairoh Al-Himyary Al-Madany dari ayahnya dari kakeknya dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu beliau berkata :
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ صُوْمُوْا تَصِحُّوْا
“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda : puasalah kalian niscaya kalian akan sehat”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fi Du’afa`i Ar-Rijal jilid 2 hal.357.

Saya berkata : Husain bin ‘Abdillah bin Dhumairah matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya) bahkan sebagian para ulama menganggapnya sebagai pendusta dan saya tidak mengetahui siapa ayah dan kakeknya, maka jalan ini juga jalan yang sangat lemah.

Jalan keempat : Berkata Abu ‘Amr Ar-Rabi’ bin Habib Al-Azdy dalam musnadnya no.291, menceritakan kepada saya Abu ‘Ubaidah Muslim bin Abi Karimah At-Tamimy beliau berkata : “Telah sampai kepadaku dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bahwasanya beliau berkata :

صَلُّوْا تَنْجَحُوْا وَزَكُّوْا تُفْلِحُوْا وَصُوْمُوْا تَصِحُّوا وَسَافَرُوْا تَغْنَمُوْا
“Shalatlah kalian niscaya kalian selamat dan keluarkanlah zakat niscaya kalian beruntung dan puasalah kalian niscaya kalian sehat dan safarlah kalian niscaya kalian mendapatkan ghonimah”.

Saya berkata : Abu ‘Ubaidah Muslim bin Abi Karimah At-Tamimy majhul (tidak dikenal) kemudian sanadnya mursal.

Kesimpulan :
Bisa disimpulkan dari keterangan di atas bahwa hadits ini lemah dari seluruh jalan-jalannya. Wallahu A’lam Bishowab.
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24&page_order=3)

(Dikutip dari tulisan Al-ustadz Abu 'Abdirrahman Luqman Jamal, judul asli "Koreksi atas hadits terkait bulan Ramadhan". Sumber url : http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24, http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24&page_order=2, http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24&page_order=3)

Mengoreksi Pergaulan Kita

Saudaraku, Koreksilah Pergaulanmu
Selasa, 02 Oktober 2007 - 02:57:59 :: kategori Manhaj
Penulis: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah
.: :.
Sebagai jalan hidup dan agama yang mengemban misi rahmatan lil ‘alamin, Islam tentu mengatur kaidah bermuamalah atau bergaul bagi pemeluknya. Baik itu terhadap sesama muslim maupun pemeluk agama lain. Tidak mengentengkan yakni tidak tenggelam dalam budaya toleransi yang menjebak, namun juga tidak berlebihan semisal melakukan tindak anarkis.

Tentu bukan hal aneh lagi jika kita menjumpai bermacam-macam warna dan perilaku dalam kehidupan masyarakat kita. Ini terjadi dengan sebab yang beragam. Terkadang dilatarbelakangi lingkungan, masyarakat, pergaulan, teman-teman, dan sebagainya. Semuanya ini menuntut agar kita bisa memosisikan syariat sebagai landasan pergaulan sehingga bisa merangkul semua perbedaan tersebut dengan cara menyingkirkan sesuatu yang tidak ada syariatnya dan mengokohkan yang ada tuntunannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ironinya, perbedaan itu selama ini justru dijadikan sebuah kebanggaan sebagai bentuk keangkuhan dan kesombongan. Bahkan ada yang sudah dijadikan sebagai ajaran yang harus dianut oleh setiap orang. Akhirnya setiap seruan yang mengajak kepada adab dan akhlak Islami menjadi sebuah seruan yang tidak berarti. Atau jika ada orang yang mempraktikkan adab bergaul yang Islami justru dicibir, dianggap aneh dan asing, bahkan dilekati tuduhan yang bukan-bukan. Atau divonis sebagai orang yang melakukan pengrusakan dan kehancuran sebagaimana igauan Fir’aun menanggapi akhlak dan perilaku serta dakwah Nabi Musa ‘alaihissalam:

وَقَالَ فِرْعَوْنُ ذَرُوْنِي أَقْتُلْ مُوْسَى وَلْيَدْعُ رَبَّهُ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يُبَدِّلَ دِيْنَكُمْ أَوْ أَنْ يُظْهِرَ فِي اْلأَرْضِ الْفَسَادَ

“Dan berkata Fir’aun (kepada pembesar-pembesarnya): ‘Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Rabbnya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi’.” (Ghafir: 26)

Igauan pengikut Fir’aun juga menimpa Nabi Harun ‘alaihissalam, saudara Musa ‘alaihissalam:

قَالُوا إِنْ هَذَانِ لَسَاحِرَانِ يُرِيْدَانِ أَنْ يُخْرِجَاكُمْ مِنْ أَرْضِكُمْ بِسِحْرِهِمَا وَيَذْهَبَا بِطَرِيْقَتِكُمُ الْمُثْلَى

“Mereka berkata: ‘Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kalian dari negeri kalian dengan sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukan kalian yang utama’.” (Thaha: 63)

Bahkan kaum munafiqin berusaha cuci tangan dari perbuatan mereka yang jelas-jelas rusak dengan mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang melakukan perbaikan.

وَإِذَا قِيْلَ لَهُمْ لاَ تُفْسِدُوا فِي اْلأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ

“Dan bila dikatakan kepada mereka: ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi’. Mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan’.” (Al-Baqarah: 11) [Lihat kitab Hadzihi Da’watuna wa ‘Aqidatuna karya Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu hal. 11]

Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan agar setiap orang berakhlak di hadapan manusia dengan akhlak yang mulia.

وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Dan berakhlaklah kamu kepada manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. At-Tirmidzi no. 1988 dari sahabat Abu Dzar Jundub bin Junadah radhiyallahu 'anhu dan Abu Abdurrahman Mu’adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu dalam Shahihul Jami’ no. 96)

Bahkan berbudi pekerti yang baik merupakan tonggak dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ

“Sesungguhnya aku diutus oleh Allah untuk menyempurnakan budi pekerti.” (HR. Al-Imam Ahmad rahimahullahu dalam Musnad beliau, 2/318, dan Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Al-Adabul Mufrad no. 273, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)

Bahkan permasalahan budi pekerti inilah yang diwanti-wanti oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada dakwah rasul-Nya:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لاَنْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran: 159)

Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada Nabi-Nya Musa dan Harun ‘alaihimassalam menghadapi sejahat-jahat manusia di permukaan bumi ini, yaitu Fir’aun, dengan penuh kelemahlembutan.

فَقُوْلاَ لَهُ قَوْلاً لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Thaha: 44)

Manusia Dalam Hidup

Bersikap dan menyikapi manusia serta bergaul bersama mereka membutuhkan ilmu yang dalam tentang syariat, karena manusia memiliki ragam agama dan aliran serta memiliki ragam perangai dan tabiat. Untuk memudahkan kita dalam pembahasan tentang hal bergaul dengan manusia, secara umum kita mengklasifikasikan mereka menjadi dua golongan:

Pertama: Kafir

Kedua: Muslim

Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita cara bergaul dan bermuamalah bersama mereka, baik yang kafir atau yang muslim. Hal ini menunjukkan kesempurnaan Islam dan bahwa Islam adalah agama rahmat bagi semesta alam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian.” (Al-Ma`idah: 3)

Sehingga tidak ada lagi alasan untuk salah dalam bergaul bersama mereka, baik yang beriman ataupun yang ingkar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena hujjah telah tegak, malamnya bagaikan siangnya (telah demikian jelas).

لِيَهْلِكَ مَنْ هَلَكَ عَنْ بَيِّنَةٍ وَيَحْيَا مَنْ حَيَّ عَنْ بَيِّنَةٍ وَإِنَّ اللهَ لَسَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

“Yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Anfal: 42)

Bergaul dengan Orang-Orang Kafir

Dengan kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya, Dia telah membimbing bagaimana semestinya bergaul bersama orang-orang kafir yang berbeda agama. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan segala perkara yang merupakan ciri hidup mereka, berikut bentuk kedengkian mereka terhadap Islam dan kaum muslimin. Semuanya ini memiliki hikmah agar kaum mukminin selalu berada di atas kemuliaan pada agamanya, sehingga agama orang-orang kafir rendah dan hina.

Belakangan ini kita tidak bisa memilah antara orang-orang muslim dan kafir dalam banyak perkara. Bahkan perkara yang merupakan prinsip agama, yaitu masalah al-wala` (loyalitas) dan al-bara` (berlepas diri), telah menjadi sesuatu yang pudar dalam kehidupan beragama kaum muslimin.

Merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk berpegang dengan prinsip-prinsip aqidah Islamiyah dengan cara berloyalitas terhadap pemeluknya dan memusuhi musuh-musuhnya, mencintai ahli tauhid dan berloyalitas kepadanya, benci terhadap ahli syirik dan memusuhinya. Hal ini termasuk millah Ibrahim dan orang-orang yang beriman bersamanya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kita untuk mencontoh mereka sebagaimana dalam firman-Nya:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيْمَ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللهِ وَحْدَهُ

“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah. Kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata permusuhan dan kebencian antara kami dan kalian untuk selama-lamanya, sampai kalian beriman kepada Allah saja’.” (Al-Mumtahanah: 4)

Dan prinsip ini merupakan agama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” (Al-Ma`idah: 51) [Lihat Al-Wala` wal Bara` karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan hal. 4)

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan dalam banyak hal dan membongkar kedengkian serta kebencian orang-orang kafir terhadap Islam dan kaum muslimin. Seperti dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُوْنَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُوْنَ الرَّسُوْلَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللهِ رَبِّكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil musuh-Ku dan musuh kalian menjadi teman-teman setia yang kalian sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang. Padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepada kalian, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kalian karena kalian beriman kepada Allah Rabb kalian.” (Al-Mumtahanah: 1)

يَا َيُّهَا الَّذِيْنَ آَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُوْنِكُمْ لاَ يَأْلُوْنَكُمْ خَبَالاً وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُوْرُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ اْلآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian ambil orang-orang yang di luar kalangan kalian menjadi teman kepercayaan kalian, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagi kalian. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kalian. Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepada kalian ayat-ayat (Kami), jika kalian memahaminya.” (Ali ‘Imran: 118)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang menjelaskan tentang konsep hidup mereka terhadap Islam dan kaum muslimin yang penuh dengan kedengkian serta niat jahat. Maka, tidak pantas seorang muslim menjadikan mereka sebagai sahabat di dalam hidup dan teman bergaul sehari-hari.

Di antara sikap-sikap yang diajarkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang-orang kafir adalah sebagai berikut:

1. Tidak menyerupai mereka dalam semua perkara, terlebih dalam masalah aqidah dan ibadah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan masalah ini dalam sebuah sabda beliau:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, niscaya dia termasuk dari mereka.” (HR. Al-Imam Ahmad dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma)

2. Larangan menyerupai mereka dalam seluruh perkara, seperti menyerupai mereka dalam pakaian khas mereka, adat/kebiasaan, ibadah, dan akhlak. Seperti mencukur jenggot, memanjangkan kumis, berbicara dengan bahasa mereka tanpa ada keperluan/hajat, cara berpakaian, makan, minum dan sebagainya.

3. Tidak bertempat tinggal di negeri mereka atau pergi ke negeri mereka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengancam orang-orang yang tidak mau meninggalkan negeri orang-orang kafir padahal mereka sanggup untuk melakukan hal itu dalam firman-Nya:

إِنَّ الَّذِيْنَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيْمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِيْنَ فِي اْلأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيْهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا. إِلاَّ الْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لاَ يَسْتَطِيْعُوْنَ حِيْلَةً وَلاَ يَهْتَدُوْنَ سَبِيْلاً

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab: ‘Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah)’ Para malaikat berkata: ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’ Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).” (An-Nisa`: 97-98)

Yang dimaksud dengan orang yang menganiaya diri sendiri di sini ialah muslimin Makkah yang tidak mau hijrah bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal mereka sanggup melakukannya. Mereka ditindas dan dipaksa oleh orang-orang kafir ikut bersama mereka pergi ke perang Badr. Akhirnya di antara mereka ada yang terbunuh dalam peperangan itu.

4. Tidak membela mereka dengan mendukung segala permusuhannya terhadap Islam dan kaum muslimin. Membela mereka dengan cara demikian atau sampai ke martabat ini termasuk yang akan mengeluarkannya dari Islam. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu menyebutkan di antara sepuluh pembatal keislaman adalah membela orang-orang kafir dalam memerangi kaum muslimin.

5. Tidak meminta bantuan kepada mereka, memercayai mereka, dan menyerahkan posisi strategis yang menyangkut rahasia kaum muslimin.

Dan banyak lagi cara berhubungan serta bergaul yang bertentangan dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kesimpulannya berujung pada meletakkan wala` (loyalitas) sebagaimana kita berikan kepada saudara kita sesama muslim.

Bergaul dengan Orang-Orang Islam

Berteman karena agama adalah sebuah anjuran, dan mencari teman yang baik adalah sebuah perintah. Sementara berteman dengan orang yang tidak baik justru akan membahayakan bagi diri dan agamanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan dalam masalah ini dalam firman-Nya:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهُ وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28)

فَأَعْرِضْ عَنْ مَنْ تَوَلَّى عَنْ ذِكْرِنَا وَلَمْ يُرِدْ إِلاَّ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا. ذَلِكَ مَبْلَغُهُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اهْتَدَى

“Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak menginginkan kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (An-Najm: 29-30)

Untuk lebih jelasnya serta agar bisa mendudukkan tuntunan agama dalam bermualah bersama mereka, kita klasifikasikan kaum muslimin menjadi beberapa golongan. Ini (bukan kondisi yang memang harus diterima apa adanya, namun) semata-mata mendekatkan kepada pemahaman.

Pertama: Golongan orang-orang yang benar-benar beriman

Orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya, memiliki kedudukan yang tinggi di sisi-Nya dan mendapatkan nama yang harum. Sungguh betapa banyak ayat-ayat Al-Qur`an yang menjelaskan pujian Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap mereka dan mengangkat kedudukan mereka yang tinggi.

إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.” (Al-Bayyinah: 7)

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadalah: 11)

وَالْعَصْرِ. إِنَّ اْلإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ. إِلاَّ الَّذِيْنَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Al-’Ashr: 1-3)

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ. الَّذِيْنَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حَافِظُوْنَ. إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُوْنَ

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Mu`minun: 1-6)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan kedudukan mereka yang mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tentunya bergaul bersama mereka dengan pergaulan yang penuh kasih sayang dan cinta, menganggap mereka sebagai saudara dalam agama dan aqidah sekalipun berbeda nasab, berjauhan negeri, dan berbeda zaman. Hal ini dipertegas olah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

وَالَّذِيْنَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِي قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَحِيْمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (Al-Hasyr: 10)

مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang di antara mereka.” (Al-Fath: 29)

Menganggap mereka adalah saudara dan berusaha mendamaikan bila terjadi perselisihan di antara mereka.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudara kalian itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kalian mendapat rahmat.” (Al-Hujurat: 10)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

“Perumpamaan persaudaraan orang-orang yang beriman bagaikan sebuah bangunan yang sebagiannya menguatkan yang lain.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim no. 2585 dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu)

مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى سَائِرُ الْجَسَدِ بِالْحُمَّى وَالسَّهَرِ

“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam cinta dan berkasih sayang, mereka bagaikan satu jasad yang bila salah satu anggota badannya sakit, seluruh jasadnya merasakan sakit panas dan berjaga.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim no. 2586 dari sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu 'anhuma)

Juga sebagai bentuk penerapan pergaulan kita bersama mereka adalah berloyalitas kepada mereka secara sempurna:

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ وَالَّذِيْنَ آمَنُوا الَّذِيْنَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُوْنَ

“Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (Al-Ma`idah: 55)

Kedua: Golongan Orang-orang yang Bermaksiat

Teman sangat memengaruhi baik tidaknya agama seseorang dan berpengaruh pula terhadap kebahagiaan dunia dan akhirat. Kisah kematian Abu Thalib paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim tentu bukanlah rahasia lagi. Diceritakan bahwa dia memilih tetap bersama agama nenek moyangnya, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di samping ranjang kematiannya mentalqin kalimat Laa ilaha illallah. Ini dikarenakan mengultuskan ajaran nenek moyang dan salah dalam memilih teman bergaul. (Lihat Kitab At-Tauhid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu)

Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan agar kita berhati-hati dalam mencari teman.

الْمَرْءُ عَلىَ دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seseorang sesuai dengan agama/adat kebiasaan temannya, maka lihatlah teman bergaulnya.” (HR. Abu Dawud no. 4833 dan At-Tirmidzi no. 2379 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)

مَثَلُ الْجَلِيْسِ الصَّالِحِ وَالسُّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَناَفِخِ الْكِيْرِ

“Perumpamaan teman yang baik dan jelek adalah seperti berteman dengan penjual minyak wangi dan tukang pandai besi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim no. 2628 dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu)

Ada dua atau tiga kemungkinan bagimu jika engkau berteman dengan tukang minyak wangi. (Pertama) engkau membeli wewangian darinya sehingga engkau menjadi wangi, (kedua) dia memberimu, atau (ketiga) engkau mencium bau yang harum. Sebaliknya jika engkau berteman dengan tukang pandai besi hanya ada dua kemungkinan: dia akan membakar pakaianmu dengan percikan api tersebut, atau engkau mencium bau yang tak sedap.

Orang yang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala berada dalam murka Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tentunya jangan dijadikan sebagai teman hidup kecuali dalam batasan agama, seperti mendakwahi mereka dan mengajak untuk meninggalkan kebiasaan mereka yang jelek. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ادْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 125)

Ketiga: Golongan Orang-orang Awam

Orang awam membutuhkan bantuan orang-orang alim untuk mengajari mereka bimbingan agama. Bukan untuk dihakimi dan divonis bila melakukan kesalahan di atas kejahilan/keawaman mereka. Namun untuk diingatkan dan dibimbing ke jalan yang benar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama itu adalah nasihat.” Mereka berkata: “Bagi siapa, ya Rasulullah?” Beliau bersabda: “Bagi Allah, bagi kitab-kitab-Nya, bagi rasul-rasul-Nya, bagi pemimpin kaum muslimin dan orang umum mereka.” (HR. Muslim no. 55 dari sahabat Tamim bin Aus Ad-Dari radhiyallahu 'anhu)

Bila kita salah meletakkan sikap terhadap mereka, dikhawatirkan mereka menjauh dari kebenaran bahkan fobi terhadapnya. Bila hal itu terjadi karena diri kita, akan menyebabkan kita terjatuh di dalam dosa, sebagaimana telah diperingatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu dan Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu: “Berilah mereka kabar gembira dan jangan engkau menyebabkan mereka lari (dari kebenaran).”

Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri meletakkan hukum khusus bagi mereka, sebagaimana di dalam firman-Nya:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُوْلاً

“Dan kami tidak akan mengadzab sebelum kami mengutus seorang rasul.” (Al-Isra`: 15)

Asy-Syaukani rahimahullahu di dalam tafsir beliau berkata: “Allah tidak akan mengadzab hamba-Nya kecuali setelah tegak hujjah dengan diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab kepada mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa Dia tidak membiarkan mereka hidup sia-sia dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menyiksa mereka melainkan setelah tegak hujjah atas mereka. Dan pendapat yang rajih adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengadzab mereka di dunia ataupun di akhirat, kecuali setelah diutusnya para rasul kepada mereka. Demikianlah yang dikatakan oleh sebagian ahli ilmu.” (Fathul Qadir, hal. 956)

Namun orang-orang awam tersebut akan keluar dari hukum khusus di atas apabila keawamannya tersebut disebabkan tiga perkara:

Pertama: Disebabkan istikbar (menyombongkan diri) dengan tidak mau mempelajari kebenaran atau sombong di hadapan kebenaran, maka kejahilan yang disebabkan hal ini tidak akan diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala bila dia terjatuh dalam kemaksiatan karenanya.

Kedua: Disebabkan tafrith (mengentengkan dan meremehkan) pengajaran ilmu agama yang benar sehingga tidak mau mempelajarinya terlebih mengamalkannya.

Ketiga: Disebabkan i’radh (berpaling) dari mempelajari ilmu agama sehingga bila dia terjatuh dalam penyelisihan karena kejahilannya, maka tidak akan dimaafkan. (lihat faidah dalam syarah Kasyfus Subhat)

Bergaul bersama mereka dalam tiga sebab kejahilan ini harus ekstra hati-hati dan harus menjauhkan diri dari mereka, karena mereka tidak akan mendatangkan kebaikan sedikitpun bagi agama. Dalam bergaul bersama orang yang benar-benar awam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi uswatun hasanah dalam hal ini. Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu mengisahkan:

بَالَ أَعْرَابِيٌّ فِي الْمَسْجِدِ فَقَامَ النَّاسُ إِلَيْهِ لِيَقَعُوا فِيْهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ: دَعُوْهُ وَأَهْرِقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوْبًا مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مَعَسِّرِيْنَ

Dari Abu Hurairah berkata: Seorang Badui kencing di masjid, lalu orang-orang bangkit untuk memukulnya (dalam riwayat yang lain mereka menghardiknya). Rasulullah berkata: “Biarkan dia, tuangkan air di atas kencingnya atau satu ember dari air karena sesungguhnya kalian diutus sebagai pemberi kemudahan bukan memberikan kesulitan.” (HR. Al-Bukhari, Kitabul Adab)

Keempat: Golongan Ahli Bid’ah dan orang yang terjatuh padanya

Kita memaklumi bahwa kemaksiatan yang paling besar setelah dosa kufur dan syirik adalah kebid’ahan di dalam agama. Sebuah kemaksiatan yang paling dicintai dan disukai oleh iblis. Hal ini ditegaskan oleh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu: “Sesungguhnya kebid’ahan amat sangat disenangi oleh iblis daripada perbuatan maksiat. Karena (orang yang melakukan) perbuatan bid’ah tidak akan (kecil kemungkinan) bertaubat darinya. Sedangkan kemaksiatan akan (memungkinkan pelakunya) bertaubat darinya.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menjelaskan, makna pernyataan bahwa kebid’ahan tidak akan diberi taubat, karena seorang mubtadi’ (ahli bid’ah) menjadikan sesuatu yang tidak pernah disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya sebagai agama. Dan kebid’ahan itu telah dihiasi dengan kejelekan amalannya sehingga nampaknya baik. Tentunya dia tidak akan bertaubat selama dia menganggap perbuatannya adalah baik, karena awal dari pintu bertaubat adalah mengetahui tentang kejelekan tersebut.” (At-Tuhfatul ‘Iraqiyyah, hal. 7)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan dari perbuatan yang disukai iblis ini sebelum terjadinya, dalam banyak sabdanya. Di antaranya:

وَإِيَّاكُمْ وُمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Dan berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru dalam agama, dan setiap perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan itu sesat.” (HR. Abu Dawud no. 4607 dan At-Tirmidzi no. 2678 dan selain beliau berdua dari sahabat ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu 'anhu. Dan disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam khutbatul hajah dalam riwayat Al-Imam Muslim dari sahabat Jabir radhiyallahu 'anhu)

Tentang pelakunya, beliau telah memperingatkan dengan tegas dan keras sebagaimana ucapan beliau tentang Khawarij. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Dari keturunan orang ini muncul suatu kaum yang mereka membaca Al-Qur`an namun tidak sampai tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana keluarnya anak panah dari sasarannya. Mereka membunuh orang-orang Islam dan membiarkan para penyembah berhala. Jika saya menjumpai mereka, akan saya perangi mereka sebagaimana Allah memerangi kaum ‘Ad.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu)

Dalam kesempatan yang lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Di mana saja kalian menjumpai mereka maka bunuhlah mereka, karena membunuh mereka mendapatkan pahala bagi pembunuhnya pada hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat ‘Ali radhiyallahu 'anhu)

Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa membunuh mereka maka dialah orang yang paling utama di sisi Allah.” (HR. Abu Dawud no. 4765 dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu dan Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu)

Dalam kesempatan yang lain beliau bersabda: “Berbahagialah orang yang membunuh mereka dan terbunuh oleh mereka.” (HR. Abu Dawud no. 4765 dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu)

Dalam kesempatan yang lain beliau bersabda: “(Mereka adalah) sejelek-jelek orang yang terbunuh di bawah kolong langit.” (HR. Ahmad no. 19172 dari sahabat Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu 'anhu)

Tidak termasuk seorang yang benar imannya jika dia menganggap banyak perkara syariat yang belum disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak termasuk berjalan di atas jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika kita bergandengan tangan dengan ahli bid’ah dan duduk bersamanya dalam satu majelis.

Para ulama salaf telah mengajarkan kita sikap bergaul yang baik dengan ahli bid’ah.

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata: “Barangsiapa mendengar ucapan ahli bid’ah maka dia telah keluar dari pemeliharaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dia dilimpahkan kepada kebid’ahan tersebut.”

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullahu berkata: “Barangsiapa duduk bersama ahli bid’ah maka dia tidak akan diberikan hikmah.” Beliau juga berkata: “Jangan kalian duduk bersama ahli bid’ah karena aku takut laknat menimpamu.“ Beliau berkata pula: “Barangsiapa mencintai ahli bid’ah maka telah batal amalannya dan telah keluar cahaya Islam dari dalam hatinya.” Beliau berkata juga: “Barangsiapa yang duduk bersama ahli bid’ah di sebuah jalan (dan kamu lewat di majelis tersebut) maka hendaklah kamu mengambil jalan yang lain.”

Beliau juga berkata: “Barangsiapa memuliakan ahli bid’ah berarti dia telah membantunya untuk menghancurkan Islam. Barangsiapa memberikan senyumnya kepada ahli bid’ah maka sungguh dia telah menyepelekan apa yang diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yang menikahkan anaknya bersama ahli bid’ah maka sungguh dia telah memutuskan hubungan kekeluargaan. Dan barangsiapa yang mengikuti jenazah ahli bid’ah maka dia terus berada dalam murka Allah Subhanahu wa Ta’ala sampai dia kembali.”

Bahkan beliau berkata: “Aku bisa saja makan bersama seorang Yahudi dan Nasrani, namun aku tidak akan makan bersama ahli bid’ah. Aku senang bila ada benteng dari besi antara diriku dengan ahli bida’h.” (Lihat Syarhus Sunnah, Al-Imam Al-Barbahari rahimahullahu hal. 137-139)

Adapun mereka yang terjatuh dalam kebid’ahan dalam keadaan tidak mengetahui itu adalah sebuah kebid’ahan dalam agama, kita berharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hidayah kepada mereka dan memaafkan kesalahan mereka. Sikap kita kepada mereka adalah sebagaimana sikap kita terhadap orang yang awam, yang butuh diselamatkan dan diajak kepada jalan yang benar.

Terkadang seseorang tergiur dengan sebuah penampilan sunnah seperti pakaian sunnah, jenggot sunnah, ‘imamah sunnah, dan sebagainya. Namun apalah artinya jika engkau menampilkan sunnah sementara engkau tidak berjalan di atas jalan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Engkau tidak beraqidah di atas aqidah beliau, engkau tidak beribadah sesuai dengan tuntunan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sebagainya. Butuh alat pembanding dan penilai, itulah kebenaran. Oleh karena itu “kenalilah kebenaran, engkau akan mengenal pemeluk kebenaran.”

Wallahu a‘lam bish-¬shawab.
sumber: www.salafy.or.id

Larangan Mengejek Sunnah Rasul

Kufurnya orang yang mengejek Sunnah Nabi
Sabtu, 24 Juli 2004 - 03:05:56 :: kategori Manhaj
Penulis: Muhammad Sholehuddin
.: :.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama dari pembahasan yang lalu, bahwa sunnah memiliki makna luas, tidak hanya sempit pada pengertian fiqih saja, namun merupakan ajaran dan keteladanan (uswah) yang dituangkan ke dalam segenap perilaku kehidupan nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam.

Dengan demikian Sunnah merupakan agama itu sendiri yang Allah Ta’ala jadikan sebagai penerjemah dalam menafsirkan segenap ayat-ayatNya.

Saudaraku -barakallahu fiikum-, memperolok-olokan sesuatu yang berasal dari agama adalah merupakan kekufuran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama menurut kesepakatan para ulama’. sebagai yang dinukilkan oleh Ibnul Arabiy dalam tafsirnya (2/976) dan Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alu Syaikh di dalam Taisir Al Aziizil Hamiid. Maka memperolok-olok dari sunnah-sunnah nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam tidak berbeda apakah yang melakukannya dengan sungguh-sungguh, bermain-main atau senda gurau. (Malzamah Syarh Nawaqidul Islam, Abi Ubaidah Az Zawi).

Jenis-jenis Istihza’ (Ejekan)

Manakala kita membicarakan permasalahan ini maka kita tidak akan terlepas dari beberapa permasalahan yang terkait dengannya.

Permasalahan yang berkenaan dengan memperolok-olok agama atau yang kita kenal dengan istilah istihzaa, di antaranya ialah kita dapati pada kenyataannya dalam memperolok-olokkan agama terbagi menjadi dua macam;
1. Istihzaa’ sharih, yaitu memperolok-olok agama dengan ucapan secara jelas dan terang-terangan. Sebagai contoh ucapan mereka para munafiqin kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam di suatu majlis pada perang tabuk ‘Tidaklah kami melihat orang yang lebih mementingkan perutnya, lebih berdusta ucapannya, dan lebih penakut ketika berjumpa dengan musuh daripada mereka para pembaca-pembaca Qur’an (yakni Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabatnya)’. atau seperti ucapan mereka lainnya yang menyatakan: ‘Agama tidaklah diukur dengan jenggot kita’, yakni karena permasalahan cukur jenggot, dan masih banyak lagi yang semisal dengan itu.
2. Istihzaa’ ghairu sharih yaitu memperolok-olok agama dengan perbuatan yang menunjukkan isyarat maupun sindiran (tidak jelas atau tidak terang-terangan), seperti dengan memicingkan mata, menjulurkan lidah dan membentangkan bibir dan lain-lainnya yang bertujuan untuk merendahkan sesuatu dari agama. (lihat Kitabut Tauhid DR. Shalih Fauzan hal 43, dan Malzamah Syarh Nawaqidul Islam, Abi Ubaidah).

Dalil kafirnya memperolok-olok sunnah
Saudaraku kaum muslimin -barakallahu fiikum-, dalil-dalil tentang kafirnya memperolok-olok sunnah banyak sekali.

Namun semua berporos pada satu ayat yang menerangkan bagaimana hukum tersebut dapat menimpa seseorang dan apa penyebabnya. Allah Ta’ala berfirman:
وَلََئِنْ سَأَلْتَهمْ لَيَقُوْلُنَّ ِإنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَآيَاتِهِ وَرُسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيماَنِكُمْ (التوبة : 65-66)
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesung-guhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: ’Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’. Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (At Taubah:65-66)

Ayat ini menunjukkan bahwa memperolok-olok Allah adalah kekufuran, memperolok-olok Rasul adalah kekufuran, dan memperolok ayat-ayatNya adalah kekufuran, demikian pula memperolok-olok sunnah adalah kekufuran. Maka barangsiapa yang memperolok-olok salah satu dari perkara-perkara tersebut berarti dia telah memperolok-olok keseluruhannya.

Memperolok-olok Allah dan Rasul-Nya dianggap kekufuran yang mengeluarkan pela-kunya dari agama karena pokok agama dibangun di atas pengagungan terhadap Allah dan pengagungan terhadap Rasul-Nya, sedangkan memperolok-olok sesuatu darinya dapat menghilangkan pokok tersebut dan meruntuhkannya dengan dahsyat. (Taisir Karimir Rahman, Abdurrahman As Sa’diy, hal. 342-343)

Larangan untuk bermajlis dengan orang yang memperolok-olok agama

Saudaraku rahimakumullah terkadang kita sadar maupun tidak telah terpedaya oleh berbagai makar dan perangkap syaithan yang selalu berupaya menjerumuskan kita ke dalam kesesatan, na’udzubilah. Dimana kita dijadikannya seperti sebuah patung yang bisu atau manusia yang terlelap pulas dalam tidurnya. Bagaimana tidak, terkadang - kalau tidak mau dinilai keumumannya – kita menganggap suatu hal yang wajar atau lumrah di saat kita menyaksikan atau mendengar atau paling tidak mengetahui ada orang yang memperolok-olok agama dengan gurauannya atau candanya atau bahkan menebarkannya bagaikan menebarkan benih di sawah lantas kita terdiam melihatnya, terkesima bahkan ikut tertawa mengaminkan pelecehan agama tersebut (Seperti terjadi dalam lawakan, film, sinetron, obrolan, red).

Karenanya Allah di dalam ayat tadi atau ayat-ayat lainnya menegur dan mengancam dengan ancaman yang keras. Allah Ta’ala berfirman:
لاَ تَعْتَذِرُوا قَدْكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيماَنِكُمْ
Tidak usah kamu cari alasan karena kamu kafir sesudah beriman (At Taubah: 66)

وَإِذَا رَأَوْكَ إِنْ يَتَّخِذُوْنَكَ إِلَّا هُزُوًا أَهَذَا الَّذِيْ بَعَثَ اللهُ رَسُوْلًا إِنْ كَادَ لَيُضِلُّنَا عَنْ ءَالِهَتِنَا لَوْ لَا أَنْ صَبَرْنَا عَلَيْهَا وَسَوْفَ يَعْلَمُوْنَ حِيْنَ يَرَوْنَ اْلعَذَابَ مَنْ أَضَلُّ سَبِيْلاً (الفرقان:41-42)
Dan apabila mereka melihat kamu (Muhammad), mereka hanyalah menjadikan kamu sebagai ejekan (dengan mengatakan): ”Inikah orang yang diutus Allah sebagai Rasul? Sesungguhnya hampirlah ia menyesatkan kita dari sesembahan kita, seandainya kita tidak sabar (menyembah)nya’. Dan mereka kelak akan mengetahui di saat mereka melihat adzab, siapa yang paling sesat jalannya. (Al Furqan:41-42).

Maka menjadi jelaslah dengan ini, bahwa orang yang memperolok-olok Rasul dengan menyatakannya sebagai orang yang sesat adalah lebih berhak dan lebih pantas untuk disifati dengan sifat ini dan bahwa binatang ternak lebih baik dari orang tersebut. (Tafsir As Sa’diy hal.584).

Oleh karena itu Allah Ta’ala melarang mukminin untuk berkumpul, bermajlis bersama orang-orang yang memperolok-olok agama ini termasuk di dalamnya memperolok-olok Rasul dan sunnah Rasul.
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ نَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوْضُوا فِي حَدِيْثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ (النساء:140)
Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan, maka janganlah kamu duduk beserta mereka. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. (An Nisa’:140)

Berkata Syaikh Abdurrahman As Sa’diy di dalam tafsirnya (hal 210): “Dan demikian pula halnya para ahlul bid’ah dengan keanekaragaman mereka, maka hujjah-hujjah mereka yang mendukung kebatilan mereka mengandung penghinaan terhadap ayat-ayat Allah. Karena ayat-ayat Allah tidaklah menunjukkan kecuali kebenaran, dan tidaklah mengakibatkan kecuali kebenaran, bahkan termasuk juga di dalamnya menghadiri majlis-majlis kemaksiatan dan kefasikan, yang akan menghinakan di dalamnya perintah-perintah dan larangan-larangan Allah, dan akan menenggelamkan hukum-hukumNya yang telah Allah tetapkan bagi para hambaNya dan penghujung dari larangan ini ialah larangan untuk duduk bersama mereka.”

Disegerakannya balasan bagi yang memperolok-olok sunnah

Sebagai penutup dari pembahasan kita kali ini tidak lupa kita utarakan juga di sini bagaimana Allah menyegerakan balasan bagi mereka-mereka yang memperolok-olok sunnah atau yang melecehkannya yang telah diriwayatkan kepada kita.

Dari Salamah bin Al Akwa’ “Bahwa seseorang makan di samping Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dengan tangan kirinya, maka beliau pun menegur: “Makanlah dengan tangan kananmu’, orang itu menjawab,’aku tidak bisa’. Beliau bersabda : ‘Engkau benar-benar tidak akan bisa’. Padahal tidak ada yang menghalanginya (makan dengan tangan kanan) kecuali kesombongannya. Salamah mengatakan: Maka ia pun tidak bisa (lumpuh) mengangkat tangan (kanan)nya ke mulutnya. (Dikeluarkan Muslim no. 2021).

Dari Abu Hurairah dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, beliau bersabda:
بَيْنَا رَجُلٌ يَتَبَخْتَرُ فِي بَرْدَيْنِ خَسَفَ اللهُ بِهِ اْلأَرْضَ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيْهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Manakala seseorang berjalan dengan sombongnya di pagi dan petang maka Allah tenggelamkan orang tersebut ke dalam bumi, dan ia akan terbolak-balik di dalamnya sampai hari kiamat”.
Maka seorang pemuda bertanya kepada Abu Hurairah –yang telah disebutkan namanya– dalam keadaan bercanda: ’Apakah seperti ini jalannya orang yang ditenggelamkan ke bumi?’ Lalu Abu Hurairah pun memukul dengan tangannya dan orang itupun merasakan sakit yang hampir mematahkan tulangnya. Kemudian Abu Hurairah berkata dengan membawakan ayat:
إِنَّا كَفَّيْنَكَ الْمُسْتَهْزِئِيْنَ.
Sungguh Kami akan balas untuk (membela)mu (wahai nabi) dari orang yang memperolok-olok. (Sunan Ad Darimi no.437)

Dari Abdurrahman bin Harmalah, dia berkata: “Datang seseorang kepada Said Ibnul Musayyab untuk pamit menunaikan haji dan umrah. Maka beliaupun berkata kepada orang tersebut: “Janganlah engkau pergi hingga engkau shalat terlebih dahulu, karena sesungguhnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam telah bersabda:
لاَ يَخْرُجُ بَعْدَ النِّدَاِ مِنَ الْمَسْجِدِ إِلاَّ مُنَافِقٌ إِلاَّ رَجُلٌ أَخْرَجتْهُ حَاجَةٌ وَهُوَ يُرِيْدُ الرَّجْعَةَ إِلَى الْمَسْجِدِ.
Tidaklah keluar dari masjid setelah dikumandangkan adzan kecuali munafik, kecuali seseorang yang dipaksa keluar oleh kebutuhannya dan dia berkeinginan kembali ke masjid. Maka orang itu pun berkata: “Sesungguhnya teman-temanku berada di al Hurrah”. Maka orang itu pun keluar. Dan belum selesai Said menyayangkan kepergiannya dengan menyebut-nyebut tentangnya, tiba-tiba dikabarkan bahwa orang tersebut terjatuh dari kendaraannya, hingga patah pahanya. (Sunan Ad-Darimi, no. 447)

Dari Abi Yahya as-Saaji berkata: “Kami berjalan di lorong-lorong kota Bashrah menuju rumah salah seorang ahlul hadits. Maka aku percepat jalanku dan (ketika itu) ada di antara kami yang jelek agamanya, kemudian berkata: “Angkatlah kaki-kaki kalian dari sayap-sayap para malaikat, janganlah kalian mematahkannya (seperti orang yang istihza’). Maka orang itu pun tidak dapat beranjak dari tempatnya hingga kering kedua kakinya dan kemudian terjatuh”. (Bustanul Arifin, Imam Nawawi, hal. 92.) (Semua kisah di atas dinukil dari kitab Ta’zhimus Sunnah, Abdul Qayyum as-Suhaibani, hal. 30-32). (Kitabut Tauhid, DR. Shalih Fauzan hal.43)
Maraji’:
1. Ta’dhimus Sunnah, Abdul Qayyum bin Muhammad bin Nashir.
2. Kitabut Tauhid, DR. Shalih Fauzan.
3. Malzamah Syarh Nawaqidul Islam, Abi Ubaidah az-Zawi.
4.Taisir Karimir Rahman, Abdurrahman as-Sa’diy.

(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 13/Th. I tanggal 17 Dulqo’dah 1424 H/9 Januari 2004 M, penulis Muhammad Sholehuddin, judul asli "Larangan Memperolok-olok Sunnah".