Cari Blog Ini

Senin, 26 Juli 2010

Menyambut Kemenangan di Bulan Ramadhan

Menyambut Kemenangan di Bulan Ramadhan

Senin, 24 Agustus 2009 - 08:06:22 :: kategori Aqidah
Penulis: Redaksi assalafy.o

Tiba saatnya kaum muslimim menyambut tamu agung bulan Ramadhan, tamu yang dinanti-nanti dan dirindukan kedatangannya. Sebentar lagi tamu itu akan bertemu dengan kita. Tamu yang membawa berkah yang berlimpah ruah. Tamu bulan Ramadhan adalah tamu agung, yang semestinya kita bergembira dengan kedatangannya dan merpersiapkan untuk menyambutnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ (58) [يونس/58]

“Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad), dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa mereka yang kumpulkan (dari harta benda). (Yunus: 58)

Yang dimaksud dengan “karunia Allah” pada ayat di atas adalah Al-Qur’anul Karim (Lihat Tafsir As Sa’di).

Bulan Ramadhan dinamakan juga dengan Syahrul Qur’an (Bulan Al Qur’an). Karena Al-Qur’an diturunkan pada bulan tersebut dan pada setiap malamnya Malaikat Jibril datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam untuk mengajari Al-Qur’an kepada beliau. Bulan Ramadhan dengan segala keberkahannya merupakan rahmat dari Allah. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu lebih baik dan lebih berharga dari segala perhiasan dunia.

‘Ulama Ahli Tafsir terkemuka Al-Imam As-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya: “Bahwasannya Allah memerintahkan untuk bergembira atas karunia Allah dan rahmat-Nya karena itu akan melapangkan jiwa, menumbuhkan semangat, mewujudkan rasa syukur kepada Allah, dan akan mengokohkan jiwa, serta menguatkan keinginan dalam berilmu dan beriman, yang mendorang semakin bertambahnya karunia dan rahmat (dari Allah). Ini adalah kegembiraan yang terpuji. Berbeda halnya dengan gembira karena syahwat duniawi dan kelezatannya atau gembira diatas kebatilan, maka itu adalah kegimbiraan yang tercela. Sebagaimana Allah berfirman tentang Qarun,

“Janganlah kamu terlalu bangga, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang membanggakan diri.” (Al Qashash: 76)

Karunia dan rahmat Allah berupa bulan Ramadhan juga patut untuk kita sampaikan dan kita sebarkan kepada saudara-saudara kita kaum muslimin. Agar mereka menyadarinya dan turut bergembira atas limpahan karunia dan rahmat dari Allah. Allah berfirman :

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ (11)

“Dan terhadap nikmat dari Rabb-Mu hendaklah kamu menyebut-nyebutnya.” Adh-Dhuha: 11)

Dengan menyebut-nyebut nikmat Allah akan mendorong untuk mensyukurinya dan menumbuhkan kecintaan kepada Dzat yang melimpahkan nikmat atasnya. Karena hati itu selalu condong untuk mencintai siapa yang telah berbuat baik kepadanya.

Para pembaca yang mulia, ….

Maka sudah sepantasnya seorang muslim benar-benar menyiapkan diri untuk menyambut bulan yang penuh barakah itu, yaitu menyiapkan iman, niat ikhlash, dan hati yang bersih, di samping persiapan fisik.

Ramadhan adalan bulan suci yang penuh rahmat dan barakah. Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka pintu-pintu Al-Jannah (surga), menutup pintu-pintu neraka, dan membelenggu syaithan. Allah ‘Azza wa Jalla melipat gandakan amalan shalih yang tidak diketahui kecuali oleh Dia sendiri. Barangsiapa yang menyambutnya dengan sungguh-sungguh, bershaum degan penuh keimanan dan memperbanyak amalan shalih, serta menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang bisa merusak ibadah shaumnya, niscaya Allah ‘Azza wa Jalla akan mengampuni dosa-dosanya dan akan melipatkan gandakan pahalanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبٍ

“Barang siapa yang bershaum dengan penuh keimanan dan harapan (pahala dari Allah), niscaya Allah mengampuni dosa-dosa yang telah lampau.” (Muttafaqun ‘alahi)

Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam juga bersabda :

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

“Setiap amalan bani Adam akan dilipat gandakan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat, Allah I berfirman: “kecuali ibadah shaum, shaum itu ibadah untuk-Ku dan Aku sendiri yang membalasnya.” (HR. Muslim)

Masih banyak lagi keutamaan dan keberkahan bulan Ramadhan yang belum disebutkan dan tidak cukup untuk disebutkan di sini.

Namun yang terpenting bagi saudara-saudaraku seiman, adalah mensyukuri atas limpahan karunia Allah dan rahmat-Nya. Janganlah nikmat yang besar ini kita nodai dan kita kotori dengan berbagai penyimpangan dan kemaksiatan. Nikmat itu akan semakin bertambah bila kita pandai mensyukurinya dan nikmat itu akan semakin berkurang bahkan bisa sirna bila kita mengkufurinya.

Termasuk sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allah, pada bulan yang penuh barakah ini kita ciptakan suasa yang penuh kondusif. Jangan kita nodai dengan perpecahan. Kewajiban kita seorang muslim mengembalikan segala urusan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta kepada para ulama bukan berdasarkan pendapat pribadi atau golongan.

Permasalah yang sering terjadi adalah perbedaan dalam menentukan awal masuknya bulan Ramadhan. Wahai saudara-saudaraku, ingatlah sikap seorang muslim adalah mengembalikan kepada Kitabullah (Al-Qur’an) dan As Sunnah dengan bimbingan para ulama yang terpercaya.

Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam telah menetukan pelaksanaan shaum Ramadhan berdasarkan ru`yatul hilal. Beliau bersabda :

( صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ )

“Bershaumlah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’idul fithrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilal. Apabila (hilal) terhalangi atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” HR. Al-Bukhari dan Muslim

Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam juga menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan secara kebersamaan. Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda:

اَلصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

“Shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka/beriedul Fitri adalah pada saat kalian berbuka/beriedul Fitri, dan (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari kalian berkurban.” (HR. At Tirmidzi dari shahabat Abu Hurairah)

Al-Imam At-Tirmidzi berkata: “Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits Abu Hurairah di atas

dengan perkataan (mereka), ‘sesungguhnya shaum dan ber’Idul Fitri itu (dilaksanakan) bersama Al-Jama’ah (Pemerintah Muslimin) dan mayoritas umat Islam’.” (Tuhfatul Ahwadzi 2/37)

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata: “Seseorang (hendaknya) bershaum bersama pemerintah dan jama’ah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.” Beliau juga berkata: “Tangan Allah bersama Al-Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa 25/117)

Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata: “Yang jelas, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, Iedul Fithri dan Iedul Adha -pen) keputusannya bukanlah di tangan individu, dan tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada pemerintah dan mayoritas umat Islam, dan dalam hal ini setiap individu pun wajib untuk mengikuti pemerintah dan mayoritas umat Islam. Maka dari itu, jika ada seseorang yang melihat hilal (bulan sabit) namun pemerintah menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.” (Ash-Shahihah 2/443)

Menaati pemerintah merupakan prinsip yang harus dijaga oleh umat Islam. Terlebih pemerintah kita telah berupaya menempatkan utusan-utusan pada pos-pos ru’yatul hilal di d berbagai daerah di segenap nusantara ini. Rasulullah e bersabda :

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِي فَقَدْ عَصَانِي

“Barangsiapa menaatiku berarti telah menaati Allah, barangsiapa menentangku berarti telah menentang Allah, barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku berarti telah menaatiku, dan barang siapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah menentangku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para pemerintah dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, 13/120).

Sebagai rasa syukur kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pula hendaklah kita hidupkan bulan yang penuh barakah itu dengan amalan-amalan shalih, amalan-amalan yang ikhlash dan mencocoki sunnah Rasulullah. Kita menjauhkan dari amalan-amalan yang tidak ada contoh dari Rasulullah. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah berwasiat :

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

“Barangsiapa yang membuat-buat amalan baru dalam agama kami yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya tersebut tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda :

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada contoh dari kami, maka amalannya tersebut tertolak.” (HR. Muslim)

Para ‘ulama berkata : “Bahwa hadits merupakan kaidah agung di antara kaidah-kaidah Islam. Ini merupakan salah satu bentuk jawami’ kalim (kalimat singkat namun bermakna luas) yang dimikili oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Hadits ini sangat jelas dalam membatalkan semua bentuk bid’ah dan hal-hal baru yang dibuat dalam agama. Lafazh kedua lebih bersifat umum, karena mencakup semua orang yang mengamalkan bid’ah, walaupun pembuatnya orang lain.”

Termasuk perbuatan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah perbuatan yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin dalam menyambut bulan Ramadhan dengan amalan atau ritual tertentu, di antaranya :

1. Apa yang dikenal dengan acara Padusan. Yaitu mandi bersama-sama dengan masih mengenakan busana, terkadang ada yang memimpin di suatu sungai, atau sumber air, atau telaga. Dengan niat mandi besar, dalam rangka membersihkan jiwa dan raga sebelum memasuki bulan suci Ramadhan. Sampai-sampai ada di antara muslimin yang berkeyakinan Kalau sekali saja terlewat dari ritual ini, rasanya ada yang kurang meski sudah menjalankan puasa. Jelas perbuatan ini tidak pernah diajarkan dan tidak pernah diterapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Demikian juga para shahabat, para salafus shalih, dan para ‘ulama yang mulia tidak ada yang mengamalkan atau menganjurkan amaliah tersebut. Sehingga kaum muslimin tidak boleh melakukan ritual ini.

Belum lagi, dalam ritual Padusan ini, banyak terjadi kemungkaran. Ya, jelas-jelas mandi bersama antara laki-laki dan perempuan. Jelas ini merupakan kemungkaran yang sama sekali bukan bagian dari ajaran Islam.

2. Nyekar di kuburan leluhur.

Tak jarang dari kaum muslimin, menjelang Ramadhan tiba datang ke pemakaman. Dalam Islam ada tuntunan ziarah kubur, yang disyari’atkan agar kaum muslimin ingat bahwa dirinya juga akan mati menyusul saudara-saudaranya yang telah meninggal dunia lebih dahulu, sehingga dia pun harus mempersiapkan dirinya dengan iman dan amal shalih. Namun ziarah kubur, yang diistilahkan oleh orang jawa dengan nyekar, yang dikhususkan untuk menyambut Ramadhan tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam. Apalagi mengkhusukan nyekar di kuburan leluhur. Ini adalah perkara baru dalam agama. Tak jarang dalam ziarah kubur tercampur dengan kemungkaran. Yaitu sang peziarah malah berdoa kepada penghuni kubur, meminta-minta pada orang yang sudah mati, atau ngalap berkah dari tanah kuburan! Ini merupakan perbuatan syirik!

3. Minta ma’af kepada sesama menjelang datangnya Ramadhan.

Dengan alasan agar menghadapi bulan Ramadhan dengan hati yang bersih, sudah terhapus beban dosa terhadap sesama. Bahkan di sebagian kalangan diyakini sebagai syarat agar puasanya sempurna.

Tidak diragukan, bahwa meminta ma’af kepada sesama adalah sesuatu yang dituntunkan dalam agama, meningat manusia adalah tempat salah dan lupa. Meminta ma’af di sini umum sifatnya, bahkan setiap saat harus kita lakukan jika kita berbuat salah kepada sesama, tidak terkait dengan waktu atau acara tertentu. Mengkaitkan permintaan ma’af dengan Ramadhan, atau dijadikan termasuk cara untuk menyambut Ramadhan, maka jelas ini membuat hal baru dalam agama. Amaliah ini bukan bagian dari tuntunan syari’at Islam.

Itulah beberapa contoh amalan yang tidak ada tuntunan dalam syari’at yang dijadikan acara dalam menyambut bulan Ramadhan. Sayangnya, amaliah tersebut banyak tersebar di kalangan kaum muslimin.

Semestinya dalam menyambut Ramadhan Mubarak ini kita mempersiapkan iman dan niat ikhlash kita. Hendaknya kita berniat untuk benar-benar mengisi Ramadhan ini dengan meningkatkan ibadah dan amal shalih. Baik puasa itu sendiri, memperbaiki kualitas ibadah shalat kita, berjama’ah di masjid, qiyamul lail (shalat tarawih), tilawatul qur’an, memperbanyak dzikir, shadaqah, dan berbagai amal shalih lainnya.

Tentunya itu semua butuh iman dan niat yang ikhlash, disamping butuh ilmu tentang bagaimana tuntunan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam melaksanakan berbagai amal shalih tersebut. agar amal kita menjadi amal yang diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Juga perlu adanya kesiapan fisik, agar tubuh kita benar-benar sehat sehingga bisa menjalankan berbagai ibadah dan amal shalih pada bulan Ramadhan dengan lancar.

Puncak dari itu semua adalah semoga puasa dan semua amal ibadah kita pada bulan Ramadhan ini benar-benar bisa mengantarkan kita pada derajat taqwa di sisi Allah ‘Azza wa Jalla.

Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang gagal dalam Ramadhan ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع، ورب قائم ليس له من قيامه إلا السهر

“Berapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak ada yang ia dapatkan dari puasanya kecuali rasa lapar saja. Dan berapa banyak orang menegakkan ibadah malam hari, namun tidak ada yang ia dapatkan kecuali hanya begadang saja.” (HR. Ibu Majah)

Juga beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

إن جبريل عليه السلام أتاني فقال من أدرك شهر رمضان فلم يغفر له فدخل النار فأبعده الله قل آمين فقلت آمين

“Sesungguhnya Jibril ‘alaihis salam mendatangiku, dia berkata : ‘Barangsiap yang mendapati bulan Ramadhan namun tidak menyebakan dosanya diampuni dia akan masuk neraka dan Allah jauhkan dia. Katakan amin (wahai Muhammad). Maka aku pun berkata : Amin.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ahmad)

Semoga kita termasuk orang yang mendapat keutamaan dan fadhilah dalam bulan Ramadhan ini. Semoga Allah menyatukan hati-hati kita di atas Islam dan Iman. Dan semoga Allah menjadikan bulan Ramadhan ini sebagai jembatan menuju keridhaan Allah ‘Azza wa Jallah dan meraih ketaqwaan kepada-Nya.

Wallähu a’lam..

(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=340&print=1)

Buruknya Haus akan Kekuasaan

Buruknya Haus Akan Kekuasaan

Kamis, 09 April 2009 - 22:39:44 :: kategori Aqidah
Penulis: Redaksi Buletin Jum’at Al-Atsariyyah

Lain dulu lain sekarang. Mungkin ungkapan ini cocok dengan keadaan kaum muslimin pada hari ini. Mereka telah terhempas jauh dari tuntunan Allah -Ta’ala-, dan Rasul-Nya -Shallallahu alaihi wa sallam- . Besarnya gelombang syahwat dan syubhat membuat mereka terpisah jauh dari panutan mereka yaitu para sahabat nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para shalafush shaleh. Mereka beraqidah, bukan dengan aqidah Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabatnya. Mereka beribadah, bukan dengan ibadah yang dicontohkan oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabatnya. Mereka bermu’amalah, bukan dengan mu’amalah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , dan para sahabat. Akhirnya, Allah Ta’ala membiarkan mereka memilih jalannya sendiri dan memalingkan mereka dari kebenaran, kemana mereka mau berpaling sebagai hukuman kepada mereka atas kedurhakaannya kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, dan akibat mereka tidak mau mengikuti jalannya para sahabat.

Allah -Ta’ala- berfirman,

“Barang siapa yang durhaka kepada Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti selain jalan orang-orang beriman (para sahabat) Kami biarkan dia dalam kesesatannya dan kelak kami akan masukkan mereka ke dalam neraka Jahannam, dan Jahannam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (QS. An-Nisaa’ :115)

Jika kita mau memperhatikan kondisi kaum muslimin pada hari ini dan membandingkannya dengan para sahabat dan pengikut mereka yang setia, maka kita akan mendapatkan perbedaan yang sangat jauh. Pada hari ini, kaum muslimin berlomba-lomba dan haus kekuasaan untuk mendapatkan jabatan dan menjadi pemimpin. Padahal para salaf terdahulu menjauhi dan menghindarinya.

Segala cara mereka tempuh, tanpa peduli lagi dengan halal tidaknya. Maka nampaklah gambar-gambar mereka terpampang di setiap sudut jalan dengan kata-kata yang menggoda berharap agar mereka dipilih oleh masyarakat. Mulai dari orang kaya sampai guru ngaji; yang tua maupun yang muda, semua berebut kursi jabatan. Sungguh sial para pengemis kekuasaan tersebut; mereka telah menghamburkan harta dimana-mana demi meraih kekuasaan. Andaikan harta yang mereka hamburkan dalam pesta demokrasi itu mau dikumpulkan, lalu disedekahkan di jalan Allah, niscaya banyak orang yang akan merasakan manfaatnya. Tapi demikianlah setan menghiasi kehidupan dunia ini dengan segala macam tipuannya untuk membinasakan manusia, dan membuat mereka rugi di dunia.

Para salafush shaleh terdahulu sangat takut jika mereka diberikan kekuasaan. Sebab mereka tahu dan pahami besarnya konsekuensi dan pertanggung jawaban kekuasaan kelak di sisi Allah -Ta’ala-

Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ, فَاْلأَمِيْرُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Ingatlah, setiap orang diantara kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang amir (pemimpin masyarakat) yang berkuasa atas manusia adalah pemimpin, dan ia akan ditanya tentang rakyatnya". [HR. Bukhari (5200) dan Muslim (4701)]

Seorang yang mau menjadi pemimpin dan penguasa, harus mengetahui betul bahwa kekuasaan adalah amanah yang amat berat dipundak, dan tanggung jawab yang amat besar di sisi Allah, sebab ia harus menunaikan hak orang banyak, dan berbuat adil kepada mereka sebagaimana halnya mereka ingin agar rakyat menunaikan tugasnya di hadapan dirinya. Sungguh tugas ini amat berat digenggam, dan amat berbahaya. Tak heran jika Panutan kita, Nabi Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- mengingatkan kita tentang bahayanya kekuasaan, dan orang yang memintanya.

Abdur Rahman bin Samuroh -radhiyallahu ‘anhu- berkata, "Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepadaku,

يَا عَبْدَ الرَّحْمنِ بْنَ سَمُرَةَ لاَ تَسْأَلِ اْلإِمَارَةَ, فَإِنَّكَ إِنْ أُوْتِيْتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا, وَإِنْ أُوْتِيْتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا

"Wahai Abdur Rahman bin Samuroh, janganlah engkau meminta kekuasaan. Karena jika kau diberi kekuasaan dari hasil meminta, maka engkau akan diserahkan kepada kekuasaan itu (yakni, dibiarkan oleh Allah & tak akan ditolong, pent.). Jika engkau diberi kekuasaan, bukan dari hasil meminta, maka engkau akan ditolong". [HR. Al-Bukhoriy (6622, 6722, 7146, & 7147), dan Muslim (4257, & 4692)]

Abu Musa Al-Asy’ariy-radhiyallahu ‘anhu- berkata,

دَخَلْتُ عَلَى النَّبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَرَجُلاَنِ مِنْ بَنِيْ عَمِّيْ, فَقَالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَمِّرْنَا عَلَى بَعْضِ مَا وَلاَّكَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ, وَقَالَ الآخَرُ مِثْلَ ذَلِكَ, فَقَالَ: إِنَّا,وَاللهِ ! لاَ نُوَلِّيْ عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلاَ أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ

"Aku pernah masuk menemui Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersama dua orang sepupuku. Seorang diantara mereka berkata, "Wahai Rasulullah, jadikanlah kami pemimpin dalam perkara yang Allah -Azza wa Jalla- berikan kepadamu. Orang kedua juga berkata demikian. Maka beliau bersabda, "Demi Allah, sesungguhnya kami tidak akan menyerahkan pekerjaan ini kepada orang yang memintanya, dan tidak pula orang yang rakus kepadanya". [HR. Al-Bukhoriy (7149), dan Muslim (1733)]

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

لَنْ أَوْ لاَ نَسْتَعْمِلُ عَلَى عَمَلِنَا مَنْ أَرَادَهُ

"Kami tak akan mempekerjakan dalam urusan kami orang yang menginginkannya". [HR. Al-Bukhoriy (2261, 6923, & 7156), dan Muslim (1733)]

Seorang yang meminta kekuasaan dan rakus terhadapnya akan mengalami penyesalan, sebab ia bukan ahlinya. Kekuasaan menjadi sebuah kenikmatan sementara, sedang kesusahan dan tanggung jawab akan menanti di Padang Mahsyar.

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُوْنَ عَلَى اْلإِمَارَةِ وَسَتَكُوْنُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ, فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الفَاطِمَةُ

"Sesungguhnya kalian kelak akan rakus terhadap kekuasaan, dan kekuasan itu akan menjadi penyesalan pada hari kiamat. Kekuasaan adalah sebaik-baik penetek(yakni, awalnya penuh kelezatan dan kenikmatan, pent.), dan sejelek-jelek penyapih (yakni, di akhirnya, saat terjadi kudeta, dan pertanggungjawaban di hari akhir, pent.)". [HR. Al-Bukhoriy (6729), dan An-Nasa’iy (4211 & 5385)]

Sungguh nasihat dan wejangan berharga ini seyogyanya menjadi peringatan bagi kaum muslimin tentang beratnya tanggung jawab menjadi seorang pemimpin. Hendaknya jangan berani meminta kekuasaan. Sebelum seorang diberi kekuasaan dan tanggung jawab, hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dan takut akan azab-Nya dengan membentengi diri mereka dengan ilmu sebelum menjadi pemimpin.

Seorang ulama’ tabi’in, Al-Ahnaf bin Qois Al-Bashriy -rahimahullah- berkata, “Umar bin Khattab pernah mengatakan kepada kami, “Pelajarilah ilmu agama sebelum kalian memegang kekuasaan”. Sufyan berkomentar, “Karena seseorang yang telah mengetahui ilmu agama, ia tidak akan berhasrat lagi mengejar kekuasaan.” [Lihat Shifatush shafwah (2/236)]

Demikian pula para salaf yang lain, mereka sangat takut jika diberi kekuasaan. Al-Miswar bin Makhromah-radhiyallahu ‘anhu- bekata, “Ketika Abdur Rahman bin Auf diberi mandat dalam majlis syura (dewan musyawarah pemilihan khalifah dari kalangan ulama yang cerdik dan pandai). Beliau adalah orang yang paling kuidamkan untuk menduduki jabatan khalifah. Kalau beliau enggan, sebaiknya Sa’ad. Tiba-tiba Amru bin Ash menjumpaiku dan berkata, “Apa kira-kira pandangan pamanmu Abdur Rahman bin Auf, kalau ia menyerahkan jabatan ini kepada orang lain, padahal dia tahu bahwa dirinya lebih baik dari orang itu?”. Aku segera menemui Abdurrahman dan menceritakan kepada beliau pertanyaan itu. Beliau lalu berkomentar, “Seandainya ada orang meletakkan pisau dileherku lalu menusuknya hingga tembus, itu lebih kusukai daripada menerima jabatan tersebut”. [Lihat Siyar Al-A’lam An-Nubala’ (1/87-88)].

Utsman bin Affan pernah mengeluh karena mimisan (keluar darah dari hidung), lalu beliau memanggil Humran. Beliau berkata, “Tuliskan mandat untuk Abdurrahman untuk menggantikan aku bila aku meninggal". Maka Humran pun menuliskan mandat itu. Setelah itu, Humran datang menjumpai Abdur Rahman seraya berkata, “ Ada kabar gembira”. Abdur Rahman bertanya, “Kabar apakah itu?”. Humran berkata, “Utsman telah menuliskan mandat untuk anda sepeninggalannya”. Abdur Rahman pun segera berdiri di antara makam dan mimbar Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- (yakni, di Raudhah), lalu berdo’a, “Ya Allah apabila penyerahan jabatan dari Utsman sepeninggalnya betul-betul terjadi, maka matikanlah aku sebelum itu”. Tak lebih enam bulan berselang, beliau pun wafat. [Lihat Siyar Al-A’lam An-Nubala’ (1/88)]

Yazib bin Al-Muhallab ketika diangkat sebagai gubernur Khurasan, ia membuat pernyataan, “Beritahukanlah kepadaku tentang seorang laki-laki yang memiliki kepribadian yang luhur lagi sempurna”. Beliau lalu dikenalkan kepada Abu Burdah Al-Asy’ariy. Ketika Sang Gubernur menemui Abu Burdah, ia mendapatinya sebagai seorang lelaki yang memiliki keistimewaan. Ketika Abu Burdah berbicara, ternyata apa yang ia dengar dari ucapannya lebih baik dari apa yang ia lihat dari penampilannya. Sang Gubernur lantas berkata, “Aku akan menugaskanmu untuk urusan ini dan ini, yang termasuk dalam kekuasaanku". Abu Burdah meminta maaf karena tidak bisa menerimanya. Namun Sang Gubernur tidak menerima alasannya. Akhirnya Abu Bardah pun berkata, “Wahai Gubernur, sudikan anda mendengarkan apa yang disampaikan oleh ayahku? Bahwa ia pernah mendengar Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda”. Gubernur berkata, “Sampaikanlah”. Abu Bardah berkata, “Sesungguhnya Ayahku (Abu Musa Al-‘Asy’ariy) telah mendengar Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda:

“Barang siapa yang ditugaskan untuk memikul suatu pekerjaan yang dia tahu bahwa dirinya bukanlah orang yang ahli atau pantas dalam pekerjaan tersebut, bersiap-siaplah ia masuk ke dalam neraka”.

Aku bersaksi wahai Gubernur, "Bahwa aku bukanlah orang yang ahli atau pantas dalam urusan yang anda tawarkan". Sang Gubernur justru berkata, “Dengan ucapanmu itu, kamu justru membuat kami makin berhasrat dan senang menaruh kepercayaan kepadamu. Laksanakanlah dengan segala tugas-tugasmu. Kami tidak bisa menerima alasanmu”. Maka lelaki itu pun menjalankan tugasnya di antara mereka selama beberapa waktu. Lalu ia meminta ijin untuk dapat menemui Gubernur, dan ia diijinkan. Lalu ia berkata, “Wahai Gubernur, sudikan anda mendengarkan apa yang disampaikan ayahku kepadaku bahwa ia mendengar Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “terlaknatlah orang yang meminta atas nama Allah. Terlaknatlah orang yang diminta atas nama Allah, lalu tidak mengabulkan permintaan si peminta, selama ia (si peminta) tidak meminta perkara yang memutuskan persaudaraan”.

Sekarang aku minta atas nama Allah untuk tidak menjalankan tugas lagi, dan memaafkan saya atas pekerjaan yang telah saya lakukan.” Maka sang Gubernur pun menerima alasannya. [Lihat Siyar Al-A’lam An-Nubala’ (4/345)]

Sufyan berkata, “Aku tidak pernah melihat kezuhudan yang lebih sulit daripada kezuhudan terhadap kekuasaan. Kita bisa dapati orang zuhud dalam hal makanan, minuman, harta, dan pakaian, namun kalau kita berikan kepadanya kekuasaan, ia akan mempertahankannya dan berani bermusuhan membelanya”. [Lihat Siyar Al-A’lam An-Nubala’ (7/262)]

Itulah sebagian dari nasihat dan mutiara hikmah dan petuah salafush shaleh yang tinggi mutunya, mahal harganya, dan besar faedahnya. Kalimat yang muncul dari lisan generasi terbaik umat ini. Yakni sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in -radhiyallahu anhum-.

Allah -Ta’ala- berfirman ketika memuji mereka,

“Orang-orang yang terduhulu lagi pertama dari kalangan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dan mereka ridho kepada Allah dan Dia menyiapkan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selamanya. Itulah kemenangan yang besar”. ( QS. At-Taubah: 100)

Ibnu Katsir berkata tentang ayat ini, “Allah mengabarkan tentang ridhonya kepada orang-orang beriman dari kalangan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, serta keridhoan mereka kepada Allah. Dengan apa yang Allah telah siapkan mereka berupa surga-surga yang nikmat dan kenikmatan yang abadi [Lihat Tafsir Al-Qur’anil Adzim (2/398)]

Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah di zamanku, kemudian setelahnya (tabi’in), kemudian setelahnya (tabi’ut-tabi’in)”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Asy-Syahadat (2509), dan Muslim dalam Fadho’il Ash-Shohabah (2533)]

Ayat dan hadits di atas menjelaskan kepada kita tentang keutamaan dan kedudukan yang agung yang telah diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada para sahabat dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik. Karena itu, hendaknya kita menjadikan mereka sebagai panutan dan suri teladan yang baik. Merekalah yang dikenal dengan "Salafush Sholih" (Pendahulu yang Baik)

Alangkah indahnya ucapan Abdullah bin Mas’ud-radhiyallahu ‘anhu-, “Barangsiapa yang ingin mengambil teladan maka hendaklah ia mengambil teladan pada orang yang telah meninggal (yakni, para sahabat), sebab orang yang masih hidup tidaklah aman dari ujian. Mereka adalah para sahabat nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-, mereka adalah manusia terbaik umat ini, yang paling bagus hatinya, yang paling dalam ilmunya, dan paling sedikit membebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Maka kenalilah keutamaan mereka! Ikutilah jalan mereka, dan berpegang teguhlah dengan akhlak dan agama mereka semampu kalian, karena mereka berada pada petunjuk yang lurus [HR. Abu Nua’im dalam Al-Hilyah (1/305)]

Al-Imam Abu Amer Al-Auza’iy-rahimahullah- berkata, “Sabarkanlah dirimu di atas sunnah. Berhentilah di mana kaum itu (para sahabat) berhenti. Berucaplah dengan apa yang mereka ucapkan, tahanlah (dirimu) dari apa yang mereka menahan diri darinya, dan tempuhlah jalan salafush shalehmu (pendahulumu yang shaleh). Karena sesungguhnya apa yang engkau leluasa (melakukannya) leluasa pula bagi mereka”. [HR. Al-Lalikaa’iy dalam Syarh I’tiqod Ahlis Sunnah (no.315), Al-Ajurriy dalam Asy-Syari’ ah (1/148)]

Inilah beberapa buah petikan nasihat dari kehidupan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabatnya yang jauh dari ketamakan terhadap kekuasaan. Mereka amat takut menerima kekuasaan; berbeda dengan orang-orang di akhir zaman ini, mereka berlomba-lomba meminta kekuasaan dengan berbagai macam dalih, seperti "Demi Islam". Padahal semuanya demi kursi!! Islam tak butuh kepada perjuangan yang jauh dari petunjuk Islam. Fa’tabiruu ya ulil abshor.

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 98 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

(Dikutip dari http://almakassari.com/?p=329)

Kesesatan Demokrasi (Bukan dari Rakyat)

Bukan dari Rakyat

Kamis, 09 April 2009 - 22:40:51 :: kategori Aqidah
Penulis: Redaksi Buletin Jum’at Al-Atsariyyah

Menjelang pesta demokrasi alias pemilu, begitu banyak persiapan yang dilakukan para pengusungnya, dari kota sampai ke desa; berjajar partai-partai yang akan turun ke kancah politik. Mulai dari partai senior sampai partai junior, bahkan partai yang menisbahkan dirinya kepada Islam pun tidak mau ketinggalan mengambil posisi dalam memeriahkan pesta demokrasi. Tak ada satu jalan pun kecuali telah dipenuhi dengan baleho-baleho para caleg, spanduk-spanduk partai, stiker, dan atribut lainnya. Beribu-ribu ungkapan dan janji yang tertulis hampir di setiap sudut kota. Semuanya terkadang buat bingung; yang mana harus dipilih?

Adanya pesta raksasa semodel ini terkadang membuat orang lupa segalanya sehingga ia tak pernah mau tahu apakah menerapkan demokrasi beserta tetek bengeknya dibolehkan dalam agama kita??! Selain itu, banyak diantara manusia yang masih salah paham, sehingga menyandarkan demokrasi kepada Islam atau memasukkannya ke dalam Islam dengan menamakannya sebagai siyasah syar’iyyah (politik Islam). Padahal Islam sangat bertentangan dengan demokrasi. Jadi, tak mungkin disebut dengan siyasah syar’iyyah !? Orang yang beranggapan seperti itu hanya berbicara tanpa dalil, sampai setan pun tidak akan bisa membantunya untuk mendatangkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebab suatu perkara disebut "syar’i" bila bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sumber hukum tertinggi bagi manusia. Adapun demokrasi, maka ia tidak bersumber dari keduanya. Bahkan demokrasi itu bersumber dari pikiran dan ide manusia yang tak lepas dari segala sifat kelemahan yang dimilikinya. Demokrasi adalah ide lancang yang dicanangkan pertama kali oleh orang kafir sampai hari ini demi membabat dan menyingkirkan syari’at Allah yang sempurna. [lihat Haqiqoh Ad-Dimuqratiyyah (hal. 16 & 19)]

Kedudukan DEMOKRASI ini akan semakin jelas, jika kita mengetahui maknanya. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani dan tersusun dari dua kata. Kata pertama adalah “Demo” yang bermakna rakyat atau penduduk. Kata yang kedua adalah “Krasi” yang berasal dari kata “Kratia” yang berarti aturan hukum dan kekuasaan. Dua kata Yunani ini, kalau digabungkan, menjadi “Demokrasi” yang berarti pemerintahan dari rakyat.

Jadi, DEMOKRASI adalah hukum dari rakyat untuk rakyat sendiri, dalam artian suara rakyat adalah hukum dan kekuasaan tertinggi. Dalam prakteknya, demokrasi tergambar dalam suara terbanyak. Keputusan apapun yang dipilih oleh suara terbanyak, maka itulah yang harus diambil dan diterapkan. [Lihat Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyf Mafasid wa Syubuhat Al-Intikhob (hal.16) karya Syaikh Abu Nashr Al-Imam]

Subhanallah , teori semacam ini amat bertentangan dengan Al-Quran, dan As-Sunnah. Karena di dalam syariat islam, hukum hanya milik Allah. Segala keputusan manusia harus kembali kepada Allah (Al-Qur’an), dan Rasul-Nya (Sunnah).

“Hukum (keputusan) itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia”. (QS. Yusuf :40)

Allah berfirman kepada Rasul-Nya:

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka dengan sesuatu yang diturunkan Allah”. (QS. Al-Maidah :49)

Allah menjelaskan bahwa hukum itu bukanlah menjadi milik rakyat dan para anggota parlemen, tapi milik Allah saja. Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk memutuskan perkara diantara manusia dengan wahyu yang Allah turunkan berupa Al-Qur’an dan Sunnah.

Syaikh Muhammad Aman Al-Jamiy-rahimahullah- berkata, "Tidak ragu lagi bahwa sistem demokrasi adalah sistem mulhid (atheis) jahiliyyah, tak cocok bagi kita di negeri ini (KSA), bahkan tak cocok bagi semua negeri-negeri Islam yang beriman dengan aturan Islam…Jika rakyat yang menetapkan aturan hidupnya; yang menetapkan segala keputusan, dan melaksanakan keputusan sang hakim yang menganut paham demokrasi. Jika demikian halnya, maka apa lagi yang tersisa bagi Allah Robbul alamin Yang Menciptakan para hamba, dan mengutus rasul-rasul-Nya kepada mereka serta menurunkan kepada mereka kitab-kitab-Nya yang mengandung aturan yang rinci lagi adil, tak ada kecurangan, dan kekurangan padanya. Jadi, Allah-lah saja Yang Menetapkan syari’at. Dia telah menetapkan syari’at yang adil". [Lihat Haqiqoh Ad-Dimuqratiyyah (hal. 14-15) karya Al-Jamiy]

Selain itu, manusia yang merupakan makhluk lemah tidak mungkin akan menyamai syari’at dan petunjuk yang Allah tuangkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, walaupun seluruh manusia bersatu merancang keputusan, perundang-undangan, dan aturan hidup, maka mereka tak mungkin akan mampu menandinginya. Allah -Ta’ala- berfirman,

"Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya)-, maka peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir". (QS. Al-Baqoroh: 23-24).

Al-Hafizh Ibnu Katsir Asy-Syafi’iy-rahimahullah- berkata, "Ini juga merupakan mu’jizat yang lain, yakni Allah mengabarkan berita yang pasti, tanpa takut, dan khawatir bahwa Al-Qur’an ini tidaklah mungkin akan dihadapi (dilawan) dengan sesuatu yang semisalnya selama-lamanya. Demikianlah realitanya; Al-Qur’an tak pernah bisa dihadapi dari dulu sampai zaman kita sekarang, dan memang tak mungkin!! Bagaimana mungkin hal itu terjadi bagi seseorang, sedang Al-Qur’an adalah firman Allah Sang Maha Pencipta segala sesuatu; bagaimana bisa firman (ucapan) Sang Maha Pencipta diserupai oleh ucapan makhluk?!!" [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (1/91)]

Jadi, petunjuk terbaik, dan paling sempurna; hukum yang paling lengkap dan universal serta cocok di setiap tempat dan zaman adalah Al-Qur’an yang berisi segala kebaikan dunia dan akhirat.

Para Pembaca yang budiman, DEMOKRASI yang merupakan produk buatan manusia yang banyak memiliki kekurangan, dan kebatilan. Diantara kebatilan-kebatilan demokrasi:

* Menentukan Hukum Berdasarkan Suara Terbanyak

Banyaknya manusia yang memilih dan menetapkan suatu perkara bukanlah menjadi tolok ukur bahwa perkara itu benar dan baik. Tapi segala perkara harus ditimbang dan diukur dengan wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah).

Jika suatu perkara dikembalikan dan diukur dengan pikiran dan ide kebanyakan orang, maka yakinlah bahwa perkara-perkara itu akan banyak memiliki kekurangan dan pelanggaran; jauh dari jalan Allah. Jadi, manusia –bagamanapun banyaknya- bukanlah pengambil keputusan tertinggi, dan bukan sumber hukum tertinggi, karena kebanyakan manusia jauh dari jalan Allah, dan memiliki sifat-sifat buruk.

Allah -Ta’ala- berfirman,

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka. Dan mereka tidak lain hanyalah berdusta”.( Al-An’am :116)

Ahli Tafsir Jazirah Arab, Al-Imam As-Sa’diy-rahimahullah- berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa banyaknya pengikut tidak bisa menjadi dalil kebenaran. Sebaliknya, sedikitnya pengikut tidak bisa dijadikan dalil bahwa itulah yang batil. Bahkan kenyataan menunjukkan kebalikannya, pelaku kebenaran sedikit jumlahnya, namun mereka besar kadar dan pahalanya di sisi Allah. Bahkan yang wajib dijadikan dalil untuk mengetahui kebenaran dan kebatilan adalah jalan-jalan yang bisa mengantar kepada hal itu (yakni, Al-Qur’an). [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal 233)]

Allah -Ta’ala- berfirman,

“Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Yusuf: 40)

Kalau ada diantara manusia yang mengetahui kebenaran, maka mereka pun kebanyakannya membenci kebenaran itu. Allah berfirman,

"Sesungguhnya kami benar-benar telah memhawa kebenaran kepada kamu tetapi kebanyakan di antara kamu benci pada kebenaran itu". (QS. Az-Zukhruf :78).

Diantara sifat buruk pada mayoritas manusia, mereka tak mau beriman. Allah -Ta’ala- menyebutkan sifat buruk ini dalam firman-Nya,

“D an sebagian besarmanusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya”. (QS. Yusuf :103)

Selain itu, kebanyakan manusia tidak pandai bersyukur kepada Allah, bahkan banyak yang mengingkari nikmat-nikmat Allah. Allah -Ta’ala- berfirman,

“Sesungguhnya allah mempunyai karunia terhadap manusia,tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur” (QS. Al-Baqarah:243)

Jika kita bandingkan antara orang yang murni imannya (bertauhid) dengan kaum musyrik, maka kita mendapati orang musyrik lebih banyak. Allah -Ta’ala- berfirman,

“ Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain). (QS.Yusuf: 106)

Pembaca yang Budiman, Allah mengabarkan tentang keadaan mayoritas manusia bahwa kebanyakannya tidak beriman, tidak bersyukur, tidak mengetahui, dan kebanyakan menyekutukan Allah serta benci kepada kebenaran. Lalu bagaimana mungkin memutuskan suatu hukum dengan pendapat mayoritas?! Padahal banyak diketahui bahwa mayoritas manusia sepakat untuk berbuat zhalim, melampaui batas, bahkan ingkar kepada Allah.

Andaikan hak suara di parlemenyang mengatas namakan Islam ada 69 suara dan yang menyelisihinya juga 69 suara. Lalu ditambah 1 suara dari orang kafir lagi dzolim, maka aspirasi yang menyuarakan hukum Al-Qur’an akan kalah dan terbuang !!! Karena dikalahkan oleh suara orang jahat tadi. Apakah perbuatan seperti ini bijak?!! Sama sekali tidak bijak, andaikan mereka berpikir !!!

* Menyamaratakan Manusia

Dalam ajang demokrasi semua orang posisinya sama; seorang ulama dan bertaqwa sama posisinya dengan orang yang jahil lagi dzolim. Orang yang sholeh sama posisinya dengan seorang pelacur; Pria sama kedudukannya dengan wanita. Demikianlah demokrasi, adapun di dalam Islam, semua diposisikan secara proporsional. Allah berfirman,

“Maka apakah patut kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang berdusta (orang kafir)? Mengapa kamu (berbuat demikian); bagaimanakah kamu mengambil keputusan. (QS. Al-Qalam : 35-36)

Allah berfirman:

“Maka apakah orang yang beriman seperti orang fasik (kafir)? Mereka tidak sama” . (QS. As-Sajdah : 18)

Allah -Ta’ala- berfirman membedakan dengan bijak antara pria & wanita,

"Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS. Al-Baqoroh: 228).

Ayat-ayat ini merobohkan prinsip kesetaraan dan kesamaan yang terdapat dalam sistem demokrasi yang zholim

* Menghilangkan Prinsip Loyalitas

Al-Wala’ (loyalitas) dan Al-Bara’ (tidak loyalitas) merupakan salah satu asas yang sangat penting di dalam islam. Oleh karena itu, kami akan menjelaskan apa arti Al-Wala’ dan Al-Bara’. Al-Wala’ adalah cinta karena Allah dan saling tolong menolong karena Allah. Al-Bara’ adalah benci karena Allah dan saling bermusuhan karena Allah. Adapun dasar perkara ini, firman Allah:

“Wahai orang-orang beriman! janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali (orang yang dicintai) dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Apakah kamu ingin memberi alasan yang jelas bagi Allah (untuk menyiksamu)? (QS.An-Nisaa’: 144)

Rasulullah bersabda,

مَنْ أَحَبَّ لِلّهِ وَأَبْغَضَ لِلّهِ وَأَعْطَى لِلّهِ وَمَنَعَ لِلّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ اْلإِيْمَانَ

“Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah dan menahan karena Allah, maka sungguh ia telah menyempurnakan imannya . [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (1864); di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami’ (5965)].

Jadi, Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita berloyal kepada orang-orang mukmin, dan membenci orang-orang kafir. Adapun dalam demokrasi, sikap ini disingkirkan dan dijauhkan dengan sejauh-jauhnya. Cinta dan benci tidaklah muncul karena Allah, namun muncul karena partai. Jika sesuai dengan tujuan partai, maka ia akan dirangkul dan dicintai; siapapun orangnya. Namun jika berseberangan dengan misi politiknya, walaupun dia seorang muslim yang beriman, maka dia memusuhinya. Lahaulah walakuata illa billah

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 85 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

(http://almakassari.com/?p=337)

Berhari Raya Bersama Muslimin dan Pemerintah

Berhari Raya Bersama Muslimin dan Pemerintah

Senin, 31 Oktober 2005 - 02:19:43 :: kategori Manhaj
Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar as Sewed

Hukum asal penentuan awal bulan Syawwal (Hari Raya 'Iedlul Fithri) adalah dengan ru'yatul hilal (melihat bulan sabit) berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar رضي الله عنهما bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ. (رواه البخاري ومسلم عن ابن عمر رضي الله عنهما)
Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal, dan janganlah kalian ber-iedlul Fithri hingga kalian melihatnya. Jika kalian terhalang untuk melihatnya, maka kalian perkirakanlah. (HR. Bukhari Muslim dari Ibnu Umar رضي الله عنهما)
"Memperkirakan" ketika hilal terhalang oleh awan atau lainnya adalah dengan menggenapkan bilangan bulan sebelumnya menjadi 30 hari. Sebagaimana disebutkan dalam hadits lain sebagai berikut:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ. (رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة رضي الله عنه)
Berpuasalah kalian jika kalian melihatnya (hilal) dan ber'iedlul Fithrilah kalian jika kalian melihatnya. Jika kalian terhalang untuk melihatnya, maka sempurnakanlah bilangan Sya'ban tiga puluh hari. (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah رضي الله عنه)
Maka jika yang terhalang adalah hilal
Syawwal, genapkanlah bulan Ramadlan 30 hari.

Penentuan Ramadlan, Syawwal, Haji dan lain-lain adalah tanggung jawab penguasa
Hari Raya adalah suatu amalan yang
bersifat jama'i (dilakukan secara berjama'ah), maka penguasalah yang berkewajiban untuk ru'yatul hilal atau orang-orang khusus yang mereka tugaskan, atau merekalah yang menerima berita-berita dari orang yang melihat hilal dan menentukan sah atau tidak sahnya. Oleh karena itu kita tidak bisa melaksanakan hari raya sendiri-sendiri dengan melihat hilal sendiri-sendiri.

Kewajiban rakyat -kaum muslimin - adalah mentaati penguasanya pada hasil keputusan mereka, hingga terjadilah kebersamaan yang dikehendaki oleh syariat Islam.
Berkata Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani رحمه الله dalam Tamamul Minnah: "Sesungguhnya untuk melihat hilal atau mencari berita tentang hilal dari negeri-negeri lain pada hari ini adalah perkara yang mudah, sebagaimana sudah dimaklumi. Namun yang demikian perlu perhatian serius dari para penguasa negara-negara Islam hingga (persatuan) akan terwujud menjadi kenyataan insya Allah tabaraka wa ta'ala". (Tamamul Minnah, hal. 398)

Perintah untuk mentaati penguasa tersebut adalah terus berlangsung walaupun penguasa tersebut dhalim atau fasik.
Berkata Imam ash-Shabuni رحمه الله dalam Aqidatus Salaf hal. 102: "Ahlul hadits berpendapat untuk menegakkan shalat Jum'at dan dua hari raya dan lain-lain dari shalat-shalat jama'ah di belakang setiap penguasa muslim yang baik atau pun yang jahat. Dan berpendapat untuk berjihad memerangi orang-orang kafir bersama mereka, walaupun penguasa tersebut dhalim dan jahat".
Berkata Imam al-Barbahari رحمه الله: "Ketahuilah bahwa kejahatan penguasa tidak mengurangi kewajiban yang Allah wajibkan melalui lisan nabi-Nya صلى الله عليه وسلم. Kejahatannya untuk diri mereka sendiri, sedangkan ketaatan dan kebaikanmu bersamanya tetap sempurna -Insya Allah. Yakni kebaikan berupa shalat jama'ah, Jum'at dan jihad bersama mereka dan segala sesuatu dari ketaatan yang dikerjakan bersama mereka, maka pahalamu sesuai dengan niatmu". (Syarhus Sunnah, al-Barbahari, hal. 116)

Berkata Abu Ja'far ath-Thahawi رحمه الله: "Haji dan jihad terus berlangsung bersama penguasa kaum muslimin, yang baik atau yang jahat, sampai hari kiamat; tidak terbatalkan dan tidak gugur (dengan kefasikan mereka). (Al-Aqidah ath-Thahawiyah, dengan syarh Ibnu Abil 'Izz, hal. 287)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله: "Dan mereka (ahlus sunnah wal jama'ah) memerintahkan kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar sesuai dengan apa yang diwajibkan oleh syari'at. Mereka berpendapat untuk menegakkan haji, shalat jum'at, dan hari raya bersama para penguasa, apakah mereka orang-orang baik ataukah orang-orang jelek. Dan berpendapat untuk menegakkan shalat jama'ah, jihad dan menegakkan nasehat untuk umat". (Aqidah Wasithiyah, Ibnu Taimiyah, hal. 257)

Berkata Syaikh Shalih al-Fauzan رحمه الله ketika menjelaskan ucapan Ibnu Taimiyah di atas sebagai berikut: "Yang demikian karena tujuan kaum muslimin adalah menyatukan kalimat dan menghindari perpecahan dan perselisihan. Karena penguasa yang fasik tidak lepas dari kedudukannya sebagai penguasa yang harus ditaati dan tidak boleh ditentang, apalagi jika sampai berakibat menelantarkan kewajiban-kewajiban dan menumpahkan darah". (Syarh Aqidah al-Washithiyah, Syaikh Shalih Fauzan, hal. 216)

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin رحمه الله ketika menjelaskan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di atas sebagai berikut: "Mereka (ahlus sunnah wal jama'ah) berpendapat untuk menegakkan haji bersama para penguasa walaupun mereka fasik. Bahkan walaupun merekaeminum khamr ketika haji. Mereka tidak berkata: "Ini adalah imam faajir, kami tidak mau terima kepemimpinannya". Karena mereka berpendapat bahwa mentaati penguasa adalah wajib walaupun mereka fasik, selama kefasikannya tidak membawa pada kekafiran yang jelas yang di sisi Allah kita punya bukti…". (Syarh al-Aqidah al-Washithiyah, Syaikh Utsaimin, juz ke-2, hal. 337)
Beliau berkata pula: "Demikian pula menegakkan hari raya-hari raya bersama para penguasa yang mengimami shalat mereka. Apakah ia orang baik ataukah orang jelek. Dengan jalan yang damai ini, jelaslah bahwa agama Islam ini merupakan jalan tengah di antara orang yang berlebih-lebihan dan orang-orang yang melalaikan". (sumber yang sama hal. 336)

Berkata Ibnu Abil 'Izz al-Hanafi رحمه الله: "Telah ditunjukkan oleh dalil-dalil dari kitab dan sunnah serta ijma' para salaful ummah bahwa para penguasa, pemimpin shalat, hakim, panglima perang dan pengurus zakat ditaati dalam perkara-perkara ijtihad. Dan tidaklah mereka mentaati anak buahnya dalam perkara ijtihad, tetapi rakyatlah yang harus mentaatinya dalam masalah-masalah tersebut. Dan hendaklah mereka menyerahkan pendapatnya kepada penguasa tersebut, karena kepentingan umum dan persatuan serta bahayanya perpecahan dan pertikaian adalah lebih diperhatikan daripada masalah-masalah pribadi atau kelompok." (Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 376)

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin رحمه الله: "Jika ada yang bertanya: "Mengapa kita mesti shalat di belakang mereka dan mengikuti mereka dalam haji, jihad, Jum'at dan hari raya?" Kita katakan bahwa mereka adalah penguasa kita yang kita beragama dengan mentaati mereka, karena perintah Allah سبحانه وتعالى:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ... (النساء: 59)
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah
Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian…" (an-Nisaa': 59)

Dan sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم:
إِنَّهَا سَتَكُونُ بَعْدِي أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَأْمُرُ مَنْ أَدْرَكَ مِنَّا ذَلِكَ قَالَ تُؤَدُّونَ الْحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ . (رواه مسلم)
Sesungguhnya akan terjadi setelahku kedhaliman-kedhaliman dan perkara-perkara yang kalian ingkari. Mereka bertanya: "Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada orang yang mengalami masa tersebut dari kami?" Beliau menjawab: "Tunaikanlah hak-hak mereka atas kalian, dan mintalah kepada Allah hak-hak kalian. (HR. Muslim)
Yang dimaksud "hak-hak mereka (para penguasa)" adalah ketaatan kepada mereka pada selain kemaksiatan. (Syarh al-Aqidah al-Washithiyah, Syaikh Utsaimin, juz ke-2, hal. 339)

Dengan kita mengikuti ucapan-ucapan para ulama di atas, niscaya akan terwujud kebersamaan yang disebutkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam hadits yang sudah kita sebutkan pada edisi ke-80, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ. (رواه الترمذي وقال: حديث غريب حسن )
Puasa itu adalah hari ketika kalian seluruhnya berpuasa, Iedlul Fithri adalah hari di mana seluruh kalian berbuka (yakni tidak berpuasa lagi –pent.) dan Iedlul Adha adalah hari ketika kalian seluruhnya menyembelih kurban. (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah رضي الله عنه, dengan Tuhfatul Ahwadzi, 2/37)

Adapun cara para penguasa menentukan hari raya tersebut, apakah dengan ru'yah atau dengan hisab, maka merekalah yang bertanggung jawab di hadapan Allah سبحانه وتعالى.

Hadits di atas di samping merupakan dalil untuk berpuasa bersama kaum muslimin, juga merupakan dalil berhari raya bersama mereka.

Berkata ash-Shan'ani dalam Subulus Salam 2/72: "Pada hadits ini ada dalil bahwa yang teranggap dalam menetapkan hari raya adalah kebersamaan manusia. Dan bahwasanya seorang yang menyendiri dalam mengetahui masuknya hari raya dengan melihat hilal (bulan sabit) tetap wajib mengikuti kebanyakan manusia. Hukum ini harus dia ikuti, apakah dalam waktu shalat, ber'iedlul Fithri atau pun berkurban".

Disamping itu ada pula hadits mauquf yang semakna dengan ini dari Aisyah رضي الله عنها dikeluarkan oleh al-Baihaqi dari jalan Abu Hanifah, Ia berkata: Menyampaikan kepadaku Ali bin Aqmar, dari Masruq, bahwa ia mendatangi rumah Aisyah pada hari Arafah (dalam keadaan tidak berpuasa –pent.). Aisyah رضي الله عنها berkata: "Berilah Masruq minuman dan perbanyaklah halwa untuknya!" Masruq berkata: "Tidaklah menghalangiku untuk berpuasa pada hari ini, kecuali aku khawatir hari ini adalah hari raya nahr (iedlul Adha). Maka Aisyah pun berkata:
النَّحْرُ يَوْمَ يَنْحَرُ النَّاسُ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ. (رواه البيهقي)
Hari raya Nahr adalah hari manusia menyembelih, dan iedlul Fithri adalah hari ketika manusia berbuka (yakni tidak lagi berpuasa).
(Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin alAlbani, hal. 442)

Disebutkan pula ucapan senada oleh Ibnul Qayyim رحمه الله dalam Tahdzibu as-Sunan, 3/214: "Dikatakan bahwa pada hadits ini terdapat bantahan atas orang yang berkata: "Sesungguhnya barangsiapa yang melihat munculnya bulan Sabit dengan mengukur hisabnya atau menghitung tempat-tempat terbitnya, boleh baginya berpuasa dan beriedlul Fithri sendiri, tidak seperti orang yang tidak mengetahuinya". Dikatakan bahwa seorang yang melihat munculnya bulan sabit sendirian, tetapi hakim tidak menerima persaksiannya, maka dia tidak boleh berpuasa sebagaimana manusia pun belum berpuasa". (Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani)

Demikian pula tentunya siapa yang melihat hilal Syawwal sendirian, namun penguasa tidak menerima persaksiannya, maka dia tidak boleh berhari raya sendirian.

Berkata Abul Hasan as-Sindi dalam catatan kakinya terhadap Sunan Ibnu Majah, setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah dalam riwayat di atas sebagai berikut: "Tampaknya makna hadits ini adalah bahwa perkara-perkara tersebut bukan haknya pribadi-pribadi seseorang tertentu. Dan tidak boleh seseorang menyendiri dalam masalah tersebut, tetapi urusan ini dikembalikan kepada imam dan jama'ah kaum muslimin seluruhnya. Wajib bagi setiap pribadi mengikuti kebanyakan manusia dan penguasanya. Dengan demikian jika seseorang melihat hilal, tetapi penguasa menolaknya, maka semestinya dia tidak tidak menetapkan perkara-perkara tadi pada dirinya sendirian, sebaliknya wajib baginya mengikuti kebanyakan manusia". (Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani)

Maka nasehat kita kepada para penguasa adalah: tentukanlah awal bulan Ramadlan, Syawwal dan lain-lain dengan ru'yatul hilal di mana pun hilal itu terlihat, walaupun di negara-negara lain.

Dan nasehat kita kepada kaum muslimin adalah: taatilah penguasa; berpuasa dan ber'iedhul Fithrilah bersama mereka, dan janganlah berpecah-belah.

[Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Ongkos cetak dll Rp. 200,-/exp. tambah ongkos kirim. Pesanan min 50 exp. bayar 4 edisi di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab & Pimpinan Redaksi: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Sekretaris: Ahmad Fauzan/Abu Urwah, HP 081564634143; Sirkulasi/pemasaran: Arief Subekti HP 081564690956. Untuk memperdalam ilmu dan informasi dakwah baca: majalah Asy-Syari'ah & An-Nasihah atau klik www.asysyariah.com dan www.salafy.or.id.]

(Dikutip dari bulletin Manhaj Salaf, Edisi: 84/Th. II, tanggal 24 Ramadlan 1426 H/28 Oktober 2005 M, judul asli Berhari Raya Bersama Kaum Muslimin dan Penguasanya, penulis asli Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed)
Berhari Raya Bersama Muslimin dan Pemerintah

Senin, 31 Oktober 2005 - 02:19:43 :: kategori Manhaj
Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar as Sewed

Hukum asal penentuan awal bulan Syawwal (Hari Raya 'Iedlul Fithri) adalah dengan ru'yatul hilal (melihat bulan sabit) berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar رضي الله عنهما bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ. (رواه البخاري ومسلم عن ابن عمر رضي الله عنهما)
Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal, dan janganlah kalian ber-iedlul Fithri hingga kalian melihatnya. Jika kalian terhalang untuk melihatnya, maka kalian perkirakanlah. (HR. Bukhari Muslim dari Ibnu Umar رضي الله عنهما)
"Memperkirakan" ketika hilal terhalang oleh awan atau lainnya adalah dengan menggenapkan bilangan bulan sebelumnya menjadi 30 hari. Sebagaimana disebutkan dalam hadits lain sebagai berikut:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ. (رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة رضي الله عنه)
Berpuasalah kalian jika kalian melihatnya (hilal) dan ber'iedlul Fithrilah kalian jika kalian melihatnya. Jika kalian terhalang untuk melihatnya, maka sempurnakanlah bilangan Sya'ban tiga puluh hari. (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah رضي الله عنه)
Maka jika yang terhalang adalah hilal
Syawwal, genapkanlah bulan Ramadlan 30 hari.

Penentuan Ramadlan, Syawwal, Haji dan lain-lain adalah tanggung jawab penguasa
Hari Raya adalah suatu amalan yang
bersifat jama'i (dilakukan secara berjama'ah), maka penguasalah yang berkewajiban untuk ru'yatul hilal atau orang-orang khusus yang mereka tugaskan, atau merekalah yang menerima berita-berita dari orang yang melihat hilal dan menentukan sah atau tidak sahnya. Oleh karena itu kita tidak bisa melaksanakan hari raya sendiri-sendiri dengan melihat hilal sendiri-sendiri.

Kewajiban rakyat -kaum muslimin - adalah mentaati penguasanya pada hasil keputusan mereka, hingga terjadilah kebersamaan yang dikehendaki oleh syariat Islam.
Berkata Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani رحمه الله dalam Tamamul Minnah: "Sesungguhnya untuk melihat hilal atau mencari berita tentang hilal dari negeri-negeri lain pada hari ini adalah perkara yang mudah, sebagaimana sudah dimaklumi. Namun yang demikian perlu perhatian serius dari para penguasa negara-negara Islam hingga (persatuan) akan terwujud menjadi kenyataan insya Allah tabaraka wa ta'ala". (Tamamul Minnah, hal. 398)

Perintah untuk mentaati penguasa tersebut adalah terus berlangsung walaupun penguasa tersebut dhalim atau fasik.
Berkata Imam ash-Shabuni رحمه الله dalam Aqidatus Salaf hal. 102: "Ahlul hadits berpendapat untuk menegakkan shalat Jum'at dan dua hari raya dan lain-lain dari shalat-shalat jama'ah di belakang setiap penguasa muslim yang baik atau pun yang jahat. Dan berpendapat untuk berjihad memerangi orang-orang kafir bersama mereka, walaupun penguasa tersebut dhalim dan jahat".
Berkata Imam al-Barbahari رحمه الله: "Ketahuilah bahwa kejahatan penguasa tidak mengurangi kewajiban yang Allah wajibkan melalui lisan nabi-Nya صلى الله عليه وسلم. Kejahatannya untuk diri mereka sendiri, sedangkan ketaatan dan kebaikanmu bersamanya tetap sempurna -Insya Allah. Yakni kebaikan berupa shalat jama'ah, Jum'at dan jihad bersama mereka dan segala sesuatu dari ketaatan yang dikerjakan bersama mereka, maka pahalamu sesuai dengan niatmu". (Syarhus Sunnah, al-Barbahari, hal. 116)

Berkata Abu Ja'far ath-Thahawi رحمه الله: "Haji dan jihad terus berlangsung bersama penguasa kaum muslimin, yang baik atau yang jahat, sampai hari kiamat; tidak terbatalkan dan tidak gugur (dengan kefasikan mereka). (Al-Aqidah ath-Thahawiyah, dengan syarh Ibnu Abil 'Izz, hal. 287)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله: "Dan mereka (ahlus sunnah wal jama'ah) memerintahkan kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar sesuai dengan apa yang diwajibkan oleh syari'at. Mereka berpendapat untuk menegakkan haji, shalat jum'at, dan hari raya bersama para penguasa, apakah mereka orang-orang baik ataukah orang-orang jelek. Dan berpendapat untuk menegakkan shalat jama'ah, jihad dan menegakkan nasehat untuk umat". (Aqidah Wasithiyah, Ibnu Taimiyah, hal. 257)

Berkata Syaikh Shalih al-Fauzan رحمه الله ketika menjelaskan ucapan Ibnu Taimiyah di atas sebagai berikut: "Yang demikian karena tujuan kaum muslimin adalah menyatukan kalimat dan menghindari perpecahan dan perselisihan. Karena penguasa yang fasik tidak lepas dari kedudukannya sebagai penguasa yang harus ditaati dan tidak boleh ditentang, apalagi jika sampai berakibat menelantarkan kewajiban-kewajiban dan menumpahkan darah". (Syarh Aqidah al-Washithiyah, Syaikh Shalih Fauzan, hal. 216)

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin رحمه الله ketika menjelaskan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di atas sebagai berikut: "Mereka (ahlus sunnah wal jama'ah) berpendapat untuk menegakkan haji bersama para penguasa walaupun mereka fasik. Bahkan walaupun merekaeminum khamr ketika haji. Mereka tidak berkata: "Ini adalah imam faajir, kami tidak mau terima kepemimpinannya". Karena mereka berpendapat bahwa mentaati penguasa adalah wajib walaupun mereka fasik, selama kefasikannya tidak membawa pada kekafiran yang jelas yang di sisi Allah kita punya bukti…". (Syarh al-Aqidah al-Washithiyah, Syaikh Utsaimin, juz ke-2, hal. 337)
Beliau berkata pula: "Demikian pula menegakkan hari raya-hari raya bersama para penguasa yang mengimami shalat mereka. Apakah ia orang baik ataukah orang jelek. Dengan jalan yang damai ini, jelaslah bahwa agama Islam ini merupakan jalan tengah di antara orang yang berlebih-lebihan dan orang-orang yang melalaikan". (sumber yang sama hal. 336)

Berkata Ibnu Abil 'Izz al-Hanafi رحمه الله: "Telah ditunjukkan oleh dalil-dalil dari kitab dan sunnah serta ijma' para salaful ummah bahwa para penguasa, pemimpin shalat, hakim, panglima perang dan pengurus zakat ditaati dalam perkara-perkara ijtihad. Dan tidaklah mereka mentaati anak buahnya dalam perkara ijtihad, tetapi rakyatlah yang harus mentaatinya dalam masalah-masalah tersebut. Dan hendaklah mereka menyerahkan pendapatnya kepada penguasa tersebut, karena kepentingan umum dan persatuan serta bahayanya perpecahan dan pertikaian adalah lebih diperhatikan daripada masalah-masalah pribadi atau kelompok." (Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 376)

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin رحمه الله: "Jika ada yang bertanya: "Mengapa kita mesti shalat di belakang mereka dan mengikuti mereka dalam haji, jihad, Jum'at dan hari raya?" Kita katakan bahwa mereka adalah penguasa kita yang kita beragama dengan mentaati mereka, karena perintah Allah سبحانه وتعالى:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ... (النساء: 59)
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah
Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian…" (an-Nisaa': 59)

Dan sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم:
إِنَّهَا سَتَكُونُ بَعْدِي أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَأْمُرُ مَنْ أَدْرَكَ مِنَّا ذَلِكَ قَالَ تُؤَدُّونَ الْحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ . (رواه مسلم)
Sesungguhnya akan terjadi setelahku kedhaliman-kedhaliman dan perkara-perkara yang kalian ingkari. Mereka bertanya: "Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada orang yang mengalami masa tersebut dari kami?" Beliau menjawab: "Tunaikanlah hak-hak mereka atas kalian, dan mintalah kepada Allah hak-hak kalian. (HR. Muslim)
Yang dimaksud "hak-hak mereka (para penguasa)" adalah ketaatan kepada mereka pada selain kemaksiatan. (Syarh al-Aqidah al-Washithiyah, Syaikh Utsaimin, juz ke-2, hal. 339)

Dengan kita mengikuti ucapan-ucapan para ulama di atas, niscaya akan terwujud kebersamaan yang disebutkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam hadits yang sudah kita sebutkan pada edisi ke-80, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ. (رواه الترمذي وقال: حديث غريب حسن )
Puasa itu adalah hari ketika kalian seluruhnya berpuasa, Iedlul Fithri adalah hari di mana seluruh kalian berbuka (yakni tidak berpuasa lagi –pent.) dan Iedlul Adha adalah hari ketika kalian seluruhnya menyembelih kurban. (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah رضي الله عنه, dengan Tuhfatul Ahwadzi, 2/37)

Adapun cara para penguasa menentukan hari raya tersebut, apakah dengan ru'yah atau dengan hisab, maka merekalah yang bertanggung jawab di hadapan Allah سبحانه وتعالى.

Hadits di atas di samping merupakan dalil untuk berpuasa bersama kaum muslimin, juga merupakan dalil berhari raya bersama mereka.

Berkata ash-Shan'ani dalam Subulus Salam 2/72: "Pada hadits ini ada dalil bahwa yang teranggap dalam menetapkan hari raya adalah kebersamaan manusia. Dan bahwasanya seorang yang menyendiri dalam mengetahui masuknya hari raya dengan melihat hilal (bulan sabit) tetap wajib mengikuti kebanyakan manusia. Hukum ini harus dia ikuti, apakah dalam waktu shalat, ber'iedlul Fithri atau pun berkurban".

Disamping itu ada pula hadits mauquf yang semakna dengan ini dari Aisyah رضي الله عنها dikeluarkan oleh al-Baihaqi dari jalan Abu Hanifah, Ia berkata: Menyampaikan kepadaku Ali bin Aqmar, dari Masruq, bahwa ia mendatangi rumah Aisyah pada hari Arafah (dalam keadaan tidak berpuasa –pent.). Aisyah رضي الله عنها berkata: "Berilah Masruq minuman dan perbanyaklah halwa untuknya!" Masruq berkata: "Tidaklah menghalangiku untuk berpuasa pada hari ini, kecuali aku khawatir hari ini adalah hari raya nahr (iedlul Adha). Maka Aisyah pun berkata:
النَّحْرُ يَوْمَ يَنْحَرُ النَّاسُ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ. (رواه البيهقي)
Hari raya Nahr adalah hari manusia menyembelih, dan iedlul Fithri adalah hari ketika manusia berbuka (yakni tidak lagi berpuasa).
(Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin alAlbani, hal. 442)

Disebutkan pula ucapan senada oleh Ibnul Qayyim رحمه الله dalam Tahdzibu as-Sunan, 3/214: "Dikatakan bahwa pada hadits ini terdapat bantahan atas orang yang berkata: "Sesungguhnya barangsiapa yang melihat munculnya bulan Sabit dengan mengukur hisabnya atau menghitung tempat-tempat terbitnya, boleh baginya berpuasa dan beriedlul Fithri sendiri, tidak seperti orang yang tidak mengetahuinya". Dikatakan bahwa seorang yang melihat munculnya bulan sabit sendirian, tetapi hakim tidak menerima persaksiannya, maka dia tidak boleh berpuasa sebagaimana manusia pun belum berpuasa". (Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani)

Demikian pula tentunya siapa yang melihat hilal Syawwal sendirian, namun penguasa tidak menerima persaksiannya, maka dia tidak boleh berhari raya sendirian.

Berkata Abul Hasan as-Sindi dalam catatan kakinya terhadap Sunan Ibnu Majah, setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah dalam riwayat di atas sebagai berikut: "Tampaknya makna hadits ini adalah bahwa perkara-perkara tersebut bukan haknya pribadi-pribadi seseorang tertentu. Dan tidak boleh seseorang menyendiri dalam masalah tersebut, tetapi urusan ini dikembalikan kepada imam dan jama'ah kaum muslimin seluruhnya. Wajib bagi setiap pribadi mengikuti kebanyakan manusia dan penguasanya. Dengan demikian jika seseorang melihat hilal, tetapi penguasa menolaknya, maka semestinya dia tidak tidak menetapkan perkara-perkara tadi pada dirinya sendirian, sebaliknya wajib baginya mengikuti kebanyakan manusia". (Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani)

Maka nasehat kita kepada para penguasa adalah: tentukanlah awal bulan Ramadlan, Syawwal dan lain-lain dengan ru'yatul hilal di mana pun hilal itu terlihat, walaupun di negara-negara lain.

Dan nasehat kita kepada kaum muslimin adalah: taatilah penguasa; berpuasa dan ber'iedhul Fithrilah bersama mereka, dan janganlah berpecah-belah.

[Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Ongkos cetak dll Rp. 200,-/exp. tambah ongkos kirim. Pesanan min 50 exp. bayar 4 edisi di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab & Pimpinan Redaksi: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Sekretaris: Ahmad Fauzan/Abu Urwah, HP 081564634143; Sirkulasi/pemasaran: Arief Subekti HP 081564690956. Untuk memperdalam ilmu dan informasi dakwah baca: majalah Asy-Syari'ah & An-Nasihah atau klik www.asysyariah.com dan www.salafy.or.id.]

(Dikutip dari bulletin Manhaj Salaf, Edisi: 84/Th. II, tanggal 24 Ramadlan 1426 H/28 Oktober 2005 M, judul asli Berhari Raya Bersama Kaum Muslimin dan Penguasanya, penulis asli Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed)

Jangan Ghuluw di dalam Beribadah

Senin, 11-Januari-2010, Penulis: Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar

JANGAN GHULUW DALAM BERIBADAH

Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah golongan yang selamat. Di dalam segala hal, mereka selalu berada pada sikap yang dilandaskan oleh hujjah dan dalil. Berada di atas manhaj wasathiyyah (pertengahan). Tidak berlebihan, tidak pula menggampangkan.

Merekalah yang dimaksud oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan (perbuatan) kamu.” (Al-Baqarah:143)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk mengikuti jalan mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain). Karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (Al-An’am:153)
Mengapa Ahlus Sunnah yang berhak menyandang kemuliaan ini? Karena mereka adalah golongan yang selalu berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah dengan penuh ilmu, bashirah, fiqih, dan hikmah. Oleh karena itu, mereka benar-benar jauh dari sikap ghuluw, dalam rangka mengamalkan bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersikap sederhana di dalam beribadah.

Dalil tentang Wajibnya Beribadah Tanpa Disertai Ghuluw
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu di dalam Shahihnya membuat sebuah bab dengan judul Dibencinya beribadah secara berlebihan. Kemudian beliau membawakan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا امْرَأَةٌ، قَالَ: مَنْ هَذِهِ؟ قَالَتْ: فُلَانَةُ تَذْكُرُ مِنْ صَلَاتِهَا. قَالَ: مَهْ، عَلَيْكُمْ بِمَا تُطِيقُونَ فَوَاللهِ لاَ يَملُّ الله حَتَّى تَملُّوا. وَكَانَ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَيْهِ مَا دَاوَمَ عَلَيْه صَاحِبُهُ
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari masuk menemui Aisyah radhiyallahu ‘anha. Pada waktu itu ada seorang wanita di sisinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapakah wanita itu?” Aisyah menjawab, “Fulanah, dia sedang menceritakan tentang (lamanya) shalat malamnya.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing, “Cegahlah dia, hendaknya kalian beramal sesuai dengan kemampuan. Demi Allah, Allah tidak akan jemu sampai kalian sendiri yang merasa jemu.”
Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan juga bahwa ibadah yang paling beliau senangi adalah ibadah yang selalu dijaga oleh pelakunya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Tentang alasan dibencinya beribadah secara berlebihan, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu menukil pernyataan Ibnu Bathal rahimahullahu sebagaimana dalam Fathul Bari, “Hal tersebut dibenci karena dikhawatirkan munculnya sikap jenuh sehingga malah meninggalkan ibadah tersebut secara keseluruhan.”
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu ketika menjelaskan hadits ini berkata, “Di dalam hadits ini pun terdapat penjelasan bahwa sudah seyogianya seorang hamba tidak memaksakan diri dalam ketaatan dan banyaknya amal. Karena hal tersebut akan menimbulkan kejenuhan yang justru berakibat ia meninggalkan ibadah tersebut. Keberadaan dirinya yang selalu menjaga amalan walaupun sedikit tentu lebih afdhal.
Telah sampai berita kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma berkeinginan, “Sungguh aku akan selalu berpuasa setiap hari dan melaksanakan qiyaamullail selama aku masih hidup.” Beliau mengucapkan hal ini karena benar-benar mencintai kebaikan. Namun, setelah berita ini sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau ditanya, “Apakah engkau benar-benar mengucapkan hal tersebut?” Abdullah bin ‘Amr menjawab, “Benar, ya Rasulullah.” Nabi membimbing, “Sesungguhnya engkau tidak akan mampu melaksanakan hal tersebut.” Lantas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk berpuasa tiga hari setiap bulannya. Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya saya mampu untuk berpuasa lebih dari itu.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengarahkan, “Berpuasalah sehari dan berbukalah pada hari berikutnya.” Abdullah radhiyallahu ‘anhu masih saja mengatakan, “Sesungguhnya saya mampu untuk berpuasa lebih dari itu.” Pada akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada puasa yang lebih afdhal dari ini. Inilah puasa Nabi Dawud.” Pada masa tuanya, Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma merasakan betapa beratnya berpuasa sehari dan berbuka pada hari berikutnya. Lalu ia pun berkata, “Duhai kiranya aku mau menerima keringanan yang diberikan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Sehingga, Abdullah pun berpuasa selama lima belas hari secara berturut-turut dan berbuka selama limabelas hari berturut-turut juga.
Di dalam kisah ini terdapat dalil bahwa semestinya seorang hamba beribadah dengan cara yang sederhana. Tidak ghuluw dan tidak pula memandang remeh. Sehingga dia mampu melaksanakannya secara kontinyu. Dan, amalan yang paling dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah yang pelaksanaannya kontinu walaupun sedikit. Wallahu Al-Muwaffiq.” (Syarah Riyadhus Shalihin)
Dalil berikutnya yang memerintahkan kita untuk beribadah tanpa disertai sikap ghuluw adalah sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim rahimahumallah dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
Tiga orang sahabat datang ke rumah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ingin menanyakan tentang ibadah yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah mereka memperoleh kabar tentang ibadah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka merasa seakan-akan ibadah Nabi sedikit. Mereka menyatakan, “Di manakah posisi kita dibandingkan Nabi? Padahal Nabi telah mendapatkan ampunan untuk dosa yang telah lewat dan yang akan terjadi.”
Akhirnya salah seorang di antara mereka berkata, “Adapun saya, saya akan menegakkan shalat malam selamanya (tidak akan tidur malam).”
Yang kedua berkata lain, “Sedangkan saya akan berpuasa selamanya dan tidak ingin berbuka walau sehari.”
Adapun sahabat terakhir bertekad, “Saya akan menjauhi wanita dan tidak ingin menikah selamanya.”
Kemudian, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui mereka dan bertanya:
أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا؟ أَمَا وَاللهِ، إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Apakah benar kalian yang mengatakan demikian dan demikian? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah manusia yang paling takut kepada Allah dibandingkan kalian. Aku adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah dibandingkan kalian. Akan tetapi, aku berpuasa dan tetap berbuka. Aku shalat malam dan terkadang juga tidur. Aku pun menikahi kaum wanita. Maka, barangsiapa membenci sunnahku, dia tidak termasuk golonganku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu dalam syarah hadits menyatakan, “(Alasan kedatangan ketiga sahabat tersebut) karena amalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang zhahir diketahui oleh kaum muslimin secara umum. Seperti amalan beliau di dalam masjid, di pasar, atau yang dilakukan beliau di tengah masyarakat bersama para sahabat. Jenis amalan seperti ini zhahir dan telah diketahui oleh kebanyakan sahabat di kota Madinah. Ada pula amalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sifatnya sirr (tersembunyi). Sehingga hanya keluarga beliau yang mengetahuinya. Demikian pula diketahui oleh sebagian sahabat yang melayani kebutuhan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik, dan lain-lain g. Maka, datanglah ketiga sahabat tersebut ke rumah istri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakan ibadah beliau ketika berada di dalam rumah.” (Syarah Riyadhus Shalihin)
Dikarenakan para sahabat memiliki semangat tinggi untuk berbuat kebajikan, maka mereka menganggap kecil ibadah yang telah mereka lakukan selama ini. Sehingga masing-masing bertekad untuk memilih satu bentuk ibadah. Salah seorang dari mereka bertekad untuk berpuasa setiap hari, yang kedua hendak qiyamul lail sepanjang malam, adapun yang ketiga hendak menjauhi wanita dan tidak akan menikah.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata, “Sederhana di dalam menjalankan ibadah merupakan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karenanya tidak seharusnya engkau, wahai hamba, memberat-beratkan diri. Berjalanlah dengan perlahan sebagaimana pembahasan yang lalu.” (Syarah Riyadhus Shalihin)
Dalil berikutnya tentang wajibnya beribadah tanpa sikap ghuluw adalah hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim.
دَخَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم الْمَسْجِدَ فَإِذَا حَبْلٌ مَمْدُودٌ بَيْنَ السَّارِيَّتَيْنِ فَقَالَ: مَا هَذَا الْحَبْلُ؟ قَالُوا: هَذَا حَبْلٌ لِزَيْنَبَ فَإِذَا فَتَرَتْ تَعَلَّقَتْ. فَقَالَ النَّبِيُّ n: لاَ، حَلُّوهُ لِيُصَلِّ أَحَدُكُمْ نَشَاطَهُ فَإِذَا فَتَرَ فَلْيَقْعُدْ
Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid. Beliau mendapatkan seutas tali terikat di antara dua tiang masjid. Lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Tali untuk apa ini?” Para sahabat menjawab, “Tali ini milik Zainab. Apabila dia merasa capek shalat, dia pun bergantung dengan tali.” Maka Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan, “Lepaskan tali ini, hendaknya siapapun di antara kalian menegakkan shalat dalam keadaan giat. Apabila dia merasa capek, hendaknya dia tidur.”
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu menjelaskan hadits ini, “Di dalam hadits ini terdapat dalil tentang tidak semestinya seorang hamba terlalu berdalam dan berlebihan di dalam ibadah. Ia memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang tidak mampu ia lakukan. Seharusnya ia menegakkan shalat ketika dalam keadaan semangat. Apabila ia merasa lelah hendaknya ia berhenti dan tidur. Karena, seseorang yang shalat dalam keadaan lelah, konsentrasinya akan buyar, jenuh, dan jemu. Bahkan mungkin saja dia akan membenci ibadah tersebut. Mungkin juga dia ingin mendoakan kebaikan untuk dirinya, ternyata malah ia mendoakan kejelekan untuk dirinya sendiri.” (Syarah Riyadhus Shalihin)
Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing kita untuk beristirahat dan tidur apabila rasa kantuk benar-benar mengganggu. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلىَّ وَهُوَ نَاعِسٌ لاَ يَدْرِي لَعَلَّهُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ
“Apabila salah seorang di antara kalian merasakan kantuk sementara ia sedang shalat, hendaknya dia tidur sampai hilang rasa kantuknya. Karena, mungkin saja ada di antara kalian yang shalat dalam keadaan mengantuk, dia tidak menyadari, inginnya dia memohon maghfirah. Ternyata malah mendoakan celaka untuk dirinya sendiri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Demikian juga persaksian para sahabat tentang shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Shalat beliau benar-benar sederhana, tidak terlalu dan tidak selalu panjang, tidak pula terlalu pendek. Al-Imam Muslim rahimahullahu meriwayatkan sebuah hadits di dalam Shahihnya dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, dia bercerita:
كُنْتُ أُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَكَانَتْ صَلاَتُهُ قَصْدًا وَخُطْبَتُهُ قَصْدًا
“Aku selalu melaksanakan shalat bersama Rasulullah, dan shalat beliau selalu sederhana (tidak terlalu panjang juga tidak terlalu singkat), khutbah beliau pun demikian.” (HR. Muslim)
Saudaraku, hafizhakallah. Sungguh para pendahulu kita dari generasi salaf telah menuntun kita untuk menjauhi sikap ghuluw di dalam beribadah. Di dalam riwayat yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari (no. 1968) disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan Salman Al-Farisi dengan Abu Ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhuma. Suatu hari Salman datang berkunjung ke rumah Abu Ad-Darda’. Ketika itu Salman melihat Ummu Ad-Darda’, istri Abu Ad-Darda’, menggunakan pakaian sederhana sekali dan tidak berhias.1
Lalu Salman bertanya, “Ada masalah apa?” Ia menjawab, “Saudaramu, Abu Ad-Darda’, dia tidak lagi membutuhkan dunia.”
Kemudian datanglah Abu Ad-Darda’ untuk membuatkan makanan dan mempersilakan Salman untuk menyantap hidangan. Sementara Abu Ad-Darda’ tidak menyentuh hidangan tersebut karena sedang berpuasa. Salman berkata, “Saya tidak akan menyantap makanan ini kecuali engkau harus menemaniku makan.” Abu Ad-Darda’ kemudian menyantap makanan tersebut. Di saat tiba malam hari, Abu Ad-Darda’ bangkit untuk melaksanakan qiyamullail. Salman memberikan nasihat agar Abu Ad-Darda’ istirahat dan tidur. Abu Ad-Darda’ pun menurut dan segera tidur. Di pertengahan malam, Abu Darda ingin melaksanakan qiyamullail. Salman masih memberikan nasihat yang sama, agar Abu Ad-Darda’ istirahat dan tidur. Setelah masuk akhir malam, Salman pun membangunkan Abu Ad-Darda’, “Bangunlah sekarang.” Mereka berdua lalu menegakkan qiyamullail.
Setelah itu Salman menyampaikan:
إِنّ لِرَبَِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ
“Sesungguhnya Rabb-mu memiliki hak darimu, dirimu pun memiliki hak juga. Demikian pula keluargamu memiliki hak yang harus engkau tunaikan. Maka, tunaikanlah hak masing-masing.”
Setelah itu, ia menemui Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menceritakan kisahnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salman memang benar.”
Betapa rahmatnya Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap segenap hamba-Nya yang telah menjadikan syariat ini mudah. Jangan nodai keagungan rahmat-Nya dengan sikap-sikap ghuluw. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah:185)
Setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berwudhu dan mandi karena janabah. Demikian pula bertayammum ketika sakit atau tidak mendapatkan air. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَا يُرِيدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu.” (Al-Ma’idah: 6)
Demikian pula dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan hal yang sama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَجَاهِدُوا فِي اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Al-Hajj:78)

Penutup
Kita menutup pembahasan ini dengan menukilkan sebuah wasiat yang telah dititipkan oleh Salafunaa Ash-Shalih agar kita meraih kemuliaan di sisi Allah Rabbul ‘Alamin.
Al-Imam Qatadah bin Di’amah As-Sadusi rahimahullahu berpesan, “Waspadalah dan berhati-hatilah dari sikap memberat-beratkan diri, berlebih-lebihan, dan ghuluw serta merasa ujub sendiri. Hendaknya kalian bersikap tawadhu’, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meninggikan derajat kalian.” (Siyar A’lam An-Nubala’)

1 Hal ini terjadi sebelum turunnya ayat hijab.
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=784

Membongkar Kesesatan 'Hizbut Tahrir'

Membongkar Kesesatan Hizbut Tahrir : Khilafah Islamiyyah
Sabtu, 27 Agustus 2005 - 09:50:23 :: kategori Firqoh-Firqoh
Penulis: Al-Ustadz Abu Abdillah Luqman Ba’abduh
.: :.
Ketika kaum muslimin, terkhusus para aktivisnya, telah menjauhi dan meninggalkan metode dan cara yang ditempuh oleh para nabi dan generasi Salaful Ummah di dalam mengatasi problematika umat dalam upaya mewujudkan Daulah Islamiyyah, tak pelak lagi mereka akan mengikuti ra`yu dan hawa nafsu. Karena tidak ada lagi setelah Al-Haq yang datang dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya n serta Salaful Ummah, kecuali kesesatan.
Sebagaimana firman Allah:
فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ
“Maka apakah setelah Al Haq itu kecuali kesesatan?” (Yunus: 32)

Dengan cara yang mereka tempuh ini, justru mengantarkan umat ini kepada kehancuran dan perpecahan, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutlah dia, dan janganlah kalian mengikuti As-Subul (jalan-jalan yang lain), karena jalan-jalan itu menyebabkan kalian tercerai berai dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah Ta’alaepadamu agar kalian bertaqwa.” (Al-An’am: 153)

Diantara cara-cara sesat yang mereka tempuh antara lain:
1. Penyelesaian problem umat melalui jalur politik dengan ikut terjun langsung atau tidak langsung dalam panggung politik dengan berbagai macam alasan untuk membenarkan tindakan mereka.

Diantara mereka ada yang beralasan bahwa tidak mungkin Daulah Islamiyyah akan terwujud kecuali dengan cara merebut kekuasaan melalui jalur politik, yaitu dengan memperbanyak perolehan suara dukungan dan kursi jabatan dalam pemerintahan. Sehingga dengan banyaknya dukungan dan kursi di pemerintahan, syariat Islam bisa diterapkan. Walaupun dalam pelaksanaannya, mereka rela untuk mengadopsi dan menerapkan sistem politik Barat (kufur) yang bertolak belakang seratus delapan puluh derajat dengan Islam.

Mereka sanggup untuk berdusta dengan menyebarkan isu-isu negatif terhadap lawan politiknya. Bila perlu, merekapun sanggup untuk mencampakkan prinsip-prisip Islam yang paling utama dalam rangka untuk memuluskan ambisi mereka, baik melalui acara ‘kontrak politik’ atau yang semisalnya.(1) Bahkan tidak jarang merekapun sanggup untuk berdusta atas nama Ulama Ahlus Sunnah dengan mencuplik fatwa-fatwa para ulama tersebut dan mengaplikasikannya tidak pada tempatnya. Cara ini lebih banyak dipraktekkan oleh kelompok Al-Ikhwanul Muslimun.

Sebagian kelompok lagi beralasan bahwa melalui politik ini akan bisa direalisasikan amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa, yaitu dengan menekan dan memaksa mereka menerapkan hukum syariat Islam dan meninggalkan segala hukum selain hukum Islam.
Walaupun sepintas lalu mereka tampak ‘menghindarkan diri’ untuk terjun langsung ke panggung politik demokrasi seperti halnya kelompok pertama, namun ternyata mereka menerapkan cara-cara Khawarij di dalam melaksanakan aktivitas politiknya. Yaitu melalui berbagai macam orasi politik yang penuh dengan provokasi, atau dengan berbagai aksi demonstrasi dengan menggiring anak muda-mudi sebagaimana digiringnya gerombolan kambing oleh penggembalanya.

Kemudian mereka menamakan tindakan-tindakan tersebut sebagai tindakan kritik dan kontrol serta koreksi terhadap penguasa, atau terkadang mereka mengistilahkannya dengan amar ma’ruf nahi munkar. Yang ternyata tindakan mereka tersebut justru mendatangkan kehinaan bagi kaum muslimin serta ketidakstabilan bagi kehidupan umat Islam, baik sebagai pribadi muslim ataupun sebagai warga negara di banyak negeri. Dengan ini, semakin pupuslah harapan terwujudnya Daulah Islamiyyah. Cara ini lebih banyak dimainkan oleh kelompok Hizbut Tahrir.

Maka Ahlus Sunnah menyatakan kepada mereka, baik kelompok Al-Ikhwanul Muslimun ataupun Hizbut Tahrir serta semua pihak yang menempuh cara mereka, tunjukkan kepada umat ini satu saja Daulah Islamiyyah yang berhasil kalian wujudkan dengan cara yang kalian tempuh sepanjang sejarah kelompok kalian. Di Mesir kalian telah gagal total, bahkan harus ditebus dengan dieksekusinya tokoh-tokoh kalian di tiang gantungan atau ditembak mati, dan semakin suramnya nasib dakwah. Di Al-Jazair pun ternyata juga pupus bahkan berakhir dengan pertumpahan darah dan perpecahan.

Atau mungkin kalian akan menyebut Sudan, sebagai Daulah Islamiyyah yang berhasil kalian dirikan, dimana kalian berhasil dalam Pemilu di negeri tersebut. Namun apa yang terjadi setelah itu…? Wakil Presidennya adalah seorang Nashrani, lebih dari 10 orang menteri di kabinet adalah Nashrani. Atau mungkin kalian menganggap itu sebagai kesuksesan di panggung politik di negeri Sudan, ketika kalian berhasil ‘mengorbitkan’ salah satu pembesar kalian di negeri tersebut dan memegang salah satu tampuk kepemimpinan tertinggi di negeri itu, yaitu Hasan At-Turabi. Apakah orang seperti dia yang kalian banggakan, orang yang berakidah dan berpemikiran sesat?! Simak salah satu ucapan dia: “Aku ingin berkata bahwa dalam lingkup daulah yang satu dan perjanjian yang satu, boleh bagi seorang muslim – sebagaimana boleh pula bagi seorang Nashrani– untuk mengganti agamanya.”(2)

Kami pun mengatakan kepada kelompok Hizbut Tahrir dengan pernyataan yang sama. Bagaimana Allah akan memberikan keberhasilan kepada kalian sementara kalian menempuh cara-cara Khawarij yang telah dikecam keras oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dalam sekian banyak haditsnya?

Dimana prinsip dan dakwah kalian –wahai Hizbut Tahrir—dibanding manhaj yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dalam menyampaikan nasehat kepada penguasa, sebagaimana hadits beliau, dari shahabat ‘Iyadh bin Ghunm: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانِ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاَنِيَةً، وَلَكِنْ يَأْخُذُ بِيَدِهِ فَيَخْلُو بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلاَّ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang hendak menasehati seorang penguasa, maka jangan dilakukan secara terang-terangan (di tempat umum atau terbuka dan yang semisalnya, pent). Namun hendaknya dia sampaikan kepadanya secara pribadi, jika ia (penguasa itu) menerima nasehat tersebut maka itulah yang diharapkan, namun jika tidak mau menerimanya maka berarti ia telah menunaikan kewajibannya.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Baihaqi. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani di dalam Zhilalul Jannah hadits no. 1096)

2. Jenis cara batil yang kedua adalah melalui tindakan atau gerakan kudeta/revolusi terhadap penguasa yang sah, dengan alasan mereka telah kafir karena tidak menerapkan hukum/syariat Islam dalam praktek kenegaraannya. Kelompok pergerakan ini cenderung menamakan tindakan teror dan kudeta yang mereka lakukan dengan nama jihad, yang pada hakekatnya justru tindakan tersebut membuat kabur dan tercemarnya nama harum jihad itu sendiri. Mereka melakukan pengeboman di tempat-tempat umum sehingga tak pelak lagi warga sipil menjadi korban. Bahkan tak jarang di tengah-tengah mereka didapati sebagian umat Islam yang tidak bersalah dan tidak mengerti apa-apa. Cara-cara seperti ini lebih banyak diperankan oleh kelompok-kelompok radikal semacam Jamaah Islamiyyah, demikian juga Usamah bin Laden –salah satu tokoh Khawarij masa kini— dengan Al-Qaeda-nya beserta para pengikutnya dari kalangan pemuda yang tidak memiliki bekal ilmu syar’i dan cenderung melandasi sikapnya di atas emosi. Cara-cara yang mereka lakukan ini merupakan salah satu bentuk pengaruh pemikiran-pemikiran sesat dari tokoh-tokoh mereka, seperti:
a. Abul A’la Al-Maududi, dimana dia menyatakan: “…Mungkin telah jelas bagi anda semua dari tulisan-tulisan dan risalah-risalah kita bahwa tujuan kita yang paling tinggi yang kita perjuangkan adalah: MENGADAKAN GERAKAN PENGGULINGAN KEPEMIMPINAN. Dan yang saya maksudkan dengan itu adalah untuk membersihkan dunia ini dari kekotoran para pemimpin yang fasiq dan jahat. Dan dengan itu kita bisa menegakkan imamah yang baik dan terbimbing. Itulah usaha dan perjuangan yang bisa menyampaikan ke sana. Itu adalah cara yang lebih berhasil untuk mencapai keridhaan Allah dan mengharapkan wajah-Nya yang mulia di dunia dan akhirat.” (Al-Ushusul Akhlaqiyyah lil Harakah Al-Islamiyyah, hal. 16)

Al-Maududi juga berkata: “Kalau seseorang ingin membersihkan bumi ini dan menukar kejahatan dengan kebaikan… tidak cukup bagi mereka hanya dengan berdakwah mengajak manusia kepada kebaikan dan mengagungkan ketakwaan kepada Allah serta menyuruh mereka untuk berakhlak mulia. Tapi mereka harus mengumpulkan beberapa unsur (kekuatan) manusia yang shalih sebanyak mungkin, kemudian dibentuk (sebagai suatu kekuatan) untuk merebut kepemimpinan dunia dari orang-orang yang kini sedang memegangnya dan mengadakan revolusi.” (Al-Ususul Akhlaqiyah lil Harakah Al-Islamiyyah, hal. 17-18)

b. Sayyid Quthb. Pernyataan Sayyid Quthb dalam beberapa karyanya yang mengarahkan dan menggiring umat ini untuk menyikap lingkungan dan masyarakat serta pemerintahan muslim sebagai lingkungan, masyarakat, dan pemerintahan yang kafir dan jahiliyah. Pemikiran ini berujung kepada tindakan kudeta dan penggulingan kekuasaan sebagai bentuk metode penyelesaian problema umat demi terwujudnya Khilafah Islamiyyah.
Metode berpikir seperti tersebut di atas disuarakan pula oleh tokoh-tokoh mereka yang lainnya seperti Sa’id Hawwa, Abdullah ‘Azzam, Salman Al-‘Audah, DR. Safar Al-Hawali, dan lain-lain.(3)

Buku-buku dan karya-karya mereka telah tersebar luas di negeri ini, yang cukup punya andil besar dalam menggiring para pemuda khususnya untuk berpemikiran radikal serta memilih cara-cara kekerasan untuk mengatasi problematika umat ini dan menggapai angan yang mereka canangkan. Maka wajib bagi semua pihak dari kalangan muslimin untuk berhati-hati dan tidak mengkonsumsi buku fitnah karya tokoh-tokoh Khawarij.

Demikian juga buku-buku kelompok Syi’ah Rafidhah yang juga syarat dengan berbagai provokasi kepada umat ini untuk melakukan berbagai aksi dan tindakan teror terhadap penguasa. Mudah-mudahan Allah Ta’ala memberikan taufiq-Nya kepada pemerintah kita agar mereka bisa mencegah peredaran buku-buku sesat dan menyesatkan tersebut di tengah-tengah umat, demi terwujudnya stabilitas keamanan umat Islam di negeri ini.

Khilafah Islamiyyah bukan Tujuan Utama Dakwah para Nabi
Dari penjelasan-penjelasan di atas jelas bagi kita, bahwa banyak dari kalangan aktivis pergerakan-pergerakan Islam yang menyatakan bahwa permasalahan Daulah Islamiyyah merupakan permasalahan yang penting, bahkan terpenting dalam masalah agama dan kehidupan.

Dari situ muncul beberapa pertanyaan besar yang harus diketahui jawabannya oleh setiap muslim, yaitu: Apakah penegakan Daulah Islamiyyah adalah fardhu ‘ain (kewajiban atas setiap pribadi muslim) yang harus dipusatkan atau dikosentrasikan pikiran, waktu, dan tenaga umat ini untuk mewujudkannya?
Kemudian: Benarkah bahwa tujuan utama dakwah para nabi adalah penegakan Daulah Islamiyyah?

Maka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, mari kita simak penjelasan para ulama besar Islam berikut ini.
Al-Imam Abul Hasan Al-Mawardi berkata di dalam kitabnya Al-Ahkam As-Sulthaniyah: “…Jika telah pasti tentang wajibnya (penegakan) Al-Imamah (kepemerintahan/kepemimpinan) maka tingkat kewajibannya adalah fardhu kifayah, seperti kewajiban jihad dan menuntut ilmu.” Sebelumnya beliau juga berkata: “Al-Imamah ditegakkan sebagai sarana untuk melanjutkan khilafatun nubuwwah dalam rangka menjaga agama dan pengaturan urusan dunia yang penegakannya adalah wajib secara ijma’, bagi pihak yang berwenang dalam urusan tersebut.” (Al-Ahkam As-Sulthaniyah, hal. 5-6)

Imamul Haramain menyatakan bahwa permasalahan Al-Imamah merupakan jenis permasalahan furu’. (Al-Ahkam As-Sulthaniyah, hal. 5-6)

Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata: “Maka anda melihat pernyataan mereka (para ulama) tentang permasalahan Al-Imamah bahwasanya ia tergolong permasalahan furu’, tidak lebih sebatas wasilah (sarana) yang berfungsi sebagai pelindung terhadap agama dan politik (di) dunia, yang dalil tentang kewajibannya masih diperselisihkan apakah dalil ‘aqli ataukah dalil syar’i…. Bagaimanapun, jenis permasalahan yang seperti ini kondisinya, yang masih diperselisihkan tentang posisi dalil yang mewajibkannya, bagaimana mungkin bisa dikatakan bahwa masalah Al-Imamah ini merupakan puncak tujuan agama yang paling hakiki?”

Demikian jawaban dari pertanyaan pertama. Adapun jawaban untuk pertanyaan kedua, mari kita simak penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :
“Sesungguhnya pihak-pihak yang berpendapat bahwa permasalahan Al-Imamah merupakan satu tuntutan yang paling penting dalam hukum Islam dan merupakan permasalahan umat yang paling utama (mulia) adalah suatu kedustaan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin, baik dari kalangan Ahlus Sunnah maupun dari kalangan Syi’ah (itu sendiri). Bahkan pendapat tersebut terkategorikan sebagai suatu kekufuran, sebab masalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya adalah perma-salahan yang jauh lebih penting daripada perma-salahan Al-Imamah. Hal ini merupakan permasalahan yang diketahui secara pasti dalam dienul Islam.” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, 1/16)
Kemudian beliau melanjutkan:
“…Kalau (seandainya) demikian (yakni kalau seandainya Al-Imamah merupakan tujuan utama dakwah para nabi, pent), maka (mestinya) wajib atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam untuk menjelaskan (hal ini) kepada umatnya sepeninggal beliau, sebagaimana beliau telah menjelaskan kepada umat ini tentang permasalahan shalat, shaum (puasa), zakat, haji, dan telah menentukan perkara iman dan tauhid kepada Allah Ta’ala serta iman pada hari akhir. Dan suatu hal yang diketahui bahwa penjelasan tentang Al-Imamah di dalam Al Qur`an dan As Sunnah tidak seperti penjelasan tentang perkara-perkara ushul (prinsip) tersebut… Dan juga tentunya Diantara perkara yang diketahui bahwa suatu tuntutan terpenting dalam agama ini, maka penjelasannya di dalam Al Qur`an akan jauh lebih besar dibandingkan masalah-masalah lain. Demikian juga penjelasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam terntang permasalahan (Al-Imamah) tersebut akan lebih diutamakan dibandingkan permasalahan-permasalahan lainnya. Sementara Al Qur`an dipenuhi dengan penyebutan (dalil-dalil) tentang tauhid kepada Allah Ta’ala, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta tanda-tanda kebesaran-Nya, tentang (iman) kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, para rasul-Nya, dan hari akhir. Dan tentang kisah-kisah (umat terdahulu), tentang perintah dan larangan, hukum-hukum had dan warisan. Sangat berbeda sekali dengan permasalahan Al-Imamah. Bagaimana mungkin Al Qur`an akan dipenuhi dengan selain permasalahan-permasalahan yang penting dan mulia?” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, 1/16)

Setelah kita membaca penjelasan ilmiah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di atas, lalu coba kita bandingkan dengan ucapan Al-Maududi, yang menyatakan bahwa:
1. Permasalahan Al-Imamah adalah inti permasalahan dalam kehidupan kemanusiaan dan merupakan pokok dasar dan paling mendasar.
2. Puncak tujuan agama yang paling hakiki adalah penegakan struktur Al-Imamah (kepemerintahan) yang shalihah dan rasyidah.
3. (Permasalahan Al-Imamah) adalah tujuan utama tugas para nabi.

Menanggapi hal itu, Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah berkata: “Sesungguhnya permasalahan yang terpenting adalah permasalahan yang dibawa oleh seluruh para nabi –alaihimush shalatu was salaam- yaitu permasalahan tauhid dan iman, sebagaimana telah Allah simpulkan dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ أُمَّةٍ رَسُوْلاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ
“Dan sesungguhnya telah Kami utus pada tiap-tiap umat seorang rasul (dengan tugas menyeru) beribadahlah kalian kepada Allah (saja) dan jauhilah oleh kalian thagut.” (An-Nahl: 36)

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُوْلٍ إِلاَّ نُوْحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُوْنِ
“Tidaklah Kami utus sebelummu seorang rasul-pun kecuali pasti kami wahyukan kepadanya: Sesungguhnya tidak ada yang berhak untuk diibadahi kecuali Aku, maka beribadahlah kalian semuanya (hanya) kepada-Ku.” (Al-Anbiya`: 25)

وَلَقَدْ أُوْحَي إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ
“Sungguh telah kami wahyukan kepadamu dan kepada (para nabi) yang sebelummu (bahwa) jika engkau berbuat syirik niscaya akan batal seluruh amalanmu dan niscaya engkau akan termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar: 65)

Inilah permasalahan yang terpenting yang karenanya terjadi permusuhan antara para nabi dengan umat mereka, dan karenanya ditenggelamkan pihak-pihak yang telah ditenggelamkan… Dan sesungguhnya puncak tujuan agama yang paling hakiki dan tujuan penciptaan jin dan manusia, serta tujuan diutusnya para Rasul, dan diturunkannya kitab-kitab suci adalah peribadatan kepada Allah (tauhid), serta pemurnian agama hanya untuk-Nya… Sebagaimana firman Allah:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُيْنِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

الر، كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيْمٍ خَبِيْرٍ. أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ اللهَ إِنَّنِي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيْرٌ وَبَشِيْرٌ
“Aliif Laam Raa. (Inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu. Agar kalian tidak beribadah kecuali kepada Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira kepadamu daripada-Nya.” (Hud: 1-2)

Demikian tulisan ini kami sajikan sebagai bentuk nasehat bagi seluruh kaum muslimin. Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Footnote :
1. Untuk lebih jelasnya tentang berbagai sepak terjang mereka yang menyimpang dalam politik, pembaca bisa membaca kitab Madarikun Nazhar fi As-Siyasah karya Asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani; dan kitab Tanwiiruzh Zhulumat bi Kasyfi Mafasidi wa Syubuhati Al-Intikhabaat oleh Asy-Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdullah Al-Imam.
2. Ucapan ini dinyatakan di Universitas Khurthum, seperti dinukil oleh Ahmad bin Malik dalam Ash-Sharimul Maslul fi Raddi ‘ala At-Turabi Syaatimir Rasul, hal 12.
3. Tiga tokoh terakhir ini yang banyak berpengaruh dan sangat dikagumi oleh seorang teroris muda berasal dari Indonesia, bernama Imam Samudra.

(Dikutip dari majalah Asy Syariah, Vol. II/No. 17/1426 H/2005, judul asli "Cara-Cara Batil Menegakkan Daulah Islamiyah, karya Al-Ustadz Abu Abdillah Luqman Ba’abduh, url http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=289)